Saya percaya bahwa “keadilan”—sebagaimana juga “ketidakadilan”—selalu merupakan sebuah tujuan yang akan menyangkut “keberpihakan”. Oleh karena “keadilan” merupakan tujuan yang hanya akan dimungkinkan dengan adanya “keberpihakan”, “netralitas” dalam hal memperjuangkan visi luhur tersebut akan dengan sendirinya terbaca sebagai sikap yang justru melanggengkan antipodenya: ketidakadilan.
Dengan ideologi yang mereka imani, pada titik inilah seorang feminis memosisikan diri. Menjadi “feminis”, dengan kata lain, adalah berdiri sebagai seseorang yang tegas berpihak dalam rangka memperjuangkan hak-hak “kaum perempuan” yang selama ini dipandang liyan, dalam arti, objek yang disubordinasi dan/atau didominasi, terutama oleh subjek “maskulin” sehingga hak-hak tersebut terenggut. Mereka lumrah menyebut subjek yang mensubordinasi dan/atau mendominasi itu sebagai “patriarki”. Sebetulnya, hal ini masih patut dipertanyakan mengingat subordinasi dan/atau dominasi pada perempuan nyatanya tak selalu dikonstruksi institusi yang maskulin. Disadari atau tidak, tak jarang, konstruksi tersebut justru juga ditegakkan institusi feminin sendiri.
Gugatan feminisme, misalnya, mengenai kesetaraan yang menyangkut akses perempuan di ruang-ruang publik sebagai antitesis paham tradisional tentang teritori perempuan nan terbatas di lingkup domestik (kasur, pupur, dan dapur), pada saat yang sama juga mengandaikan lahirnya tabu dan mitos baru mengenai kebebasan perempuan dalam memilih ruang eksisnya. Ia mengalienasi perempuan di lingkup domestik ke dalam bingkai yang mereka bikin seraya mengesampingkan berbagai hal yang patut dipertimbangkan. Di Jawa, misalnya, perempuan—di balik berbagai kritik atas keterbatasan ruang lingkup mereka—justru memegang peran penting sebagai pengendali, bukan hanya hasrat mereka sendiri, melainkan hasrat suaminya, terutama relasinya dengan uang dan seks. Hasrat yang tak dikendalikan dengan benar akan berdampak pada goyahnya stabilitas ekonomi dan sosial secara keseluruhan. Itulah mengapa, di Laweyan, Brenner menunjukkan bagaimana peran perempuan dalam memproduksi dan melestarikan kekayaan untuk keluarga mereka—dengan mengubah uang menjadi objek bernilai budaya—betapa pentingnya membangun dan mempertahankan kedudukan keluarga dalam masyarakat Jawa. Perempuan membawa uang keluar dari ranah hasrat dan nafsu—yang kerap tak dapat diatasi laki-laki—dan membawanya pulang ke rumah. Uang tersebut dapat digunakan untuk menghasilkan status bagi keluarga.
Cukuplah hal di atas menjadi contoh. Saya tak ingin tulisan ini jatuh sebagai makalah antropologis dan memang bukan untuk tujuan tersebut esai ini dikerjakan. Mari kembali ke persoalan.
Keberpihakan demi mancapai visi terciptanya sebuah tatanan yang adil dan inklusif (tanpa memandang gender, misalnya) tentu merupakan sikap penting, bahkan mendesak untuk ditegaskan. Sebab, tanpa ketegasan dalam keberpihakan, tatanan adil dan inklusif tersebut hampir mustahil dicegakkan. Kendati demikian, keberpihakan—sebagaimana juga netralitas—pun riskan mengandung problem.
Baru-baru ini, jagat X sedang ramai debat-kusir antara aktivis feminis dengan sesama warga X lain yang tampak tak serujuk dengan argumen dan penilaian mereka terhadap bakal buku Perempuan dalam Bibliografi Pembaca yang akan diterbitkan Velodrom. Calon buku tersebut merupakan buah pembacaan seorang kritikus sastra yang notabene berjenis kelamin laki-laki, Cep Subhan. Problem sentral yang dipersoalkan dalam debat tersebut spesifiknya menyangkut “otoritas” yang dinilai berhak merepresentasikan “perempuan”. Saya akan menyebut problem tersebut “bias representasi”.
Apa maksud “bias representasi”?
Merujuk pada judulnya, Perempuan dalam Bibliografi Pembaca, kita duga merupakan buku yang akan menyoal “perempuan”, sedangkan penulisnya laki-laki. Atas dasar itulah bakal buku tersebut dicurigai akan menghasilkan representasi yang “bias”. Bias representasi menjadi satu problem dalam tindakan merepresentasikan karena akan rawan stereotipe. Alasannya jelas, “siapa” yang merepresentasikan “siapa” akan selalu mengandaikan—bahkan meniscayakan—turut andilnya sang representator dalam konstruksi posisi subjek yang direpresentasikan. Itulah mengapa seorang warga X dengan akun @_gladhys berkata, “Nggak ada pembacaan yang netral karena pembaca dan penulis sama-sama punya posisi.”
Apa yang disampaikan @_gladhys sebetulnya benar belaka. Saya tak hendak membantahnya. Dalam wacana subaltern, tindakan merepresentasikan memang akan senantiasa dibayang-bayangi bias representasi. Hal ini terjadi lantaran dalam tindakan merepresentasikan (speaking for/about others), senantiasa melibatkan siapa yang bertutur, siapa yang mendengar, dan dalam konteks apa tuturan tersebut diujarkan. Ketiga aspek ini selalu bertaut-kelindan.
Konkretnya, ketika, misalnya, seorang pengarang berlatar belakang Jawa menulis tentang etnis lain (Y.B. Mangunwijaya satu contoh, mengarang novel tentang kebudayaan masyarakat Halmahera, Maluku Utara, berjudul Ikan-Ikan Hiu, Ido, Homa), berarti Romo Mangun sedang melihat tentang masyarakat Halmahera, Maluku Utara dalam kacamata ke-Jawa-annya. Ketika hasil pembacaan (penulis juga seorang pembaca) tersebut dibaca “pembaca” yang berasal dari kelompok yang direpresentasikan si pengarang, bukan tidak mungkin mereka akan menganggap apa yang si pengarang sampaikan tak mewakili suara mereka. Artinya, sebagai novel yang menjadikan kebudayaan masyarakat Halmahera sebagai substansi atau apa pun di dalam novelnya, ia mungkin justru dinilai tak cukup representatif oleh masyarakatnya sendiri. Walhasil, pembacaan berjarak tersebut berpotensi terjerembap di kubang stereotipe. Dalam pola yang sama, hal itu juga bisa berlaku bagi pengarang laki-laki ketika menulis persoalan perempuan.
Konsekuensinya, ketika @_gladhys menuntut dengan berkata, “Kalau enggak merepresentasikan topik tapi tertarik membahas; sadari posisi dulu aja dulu, mulai dari sana. Tunjukkan ketulusan. Sadari privilese; atau apa yang mudah digunakan kalangan tertentu untuk melanggengkan pemikiran yang bakal enggak nyaman oleh kelompok yang ingin dibicarakan,” pernyataan tersebut dapat menjadi bumerang bagi dirinya sendiri. Sebab, apa yang ia suarakan bisa jadi dinilai “tak representatif” oleh perempuan lain, tak peduli betapapun ia feminis. Di cuitannya yang lain, ia berkata bahwa kunci menepis bias tersebut adalah “ketulusan” dan “konsistensi”.
Kita tampaknya sedang menyaksikan optimisme bahwa “ketulusan” dan “konsistensi” seolah-olah dapat diukur dengan skala pasti. Kita boleh bertanya, “Benarkah seorang perempuan menyuarakan pandangan yang tampak ‘profeminisme’ selalu berangkat dari ‘ketulusan’?”
Nyatanya, tak ada yang sepenuhnya dapat mengukur derajat “ketulusan” persis yang dituntut @_gladhys. Itulah mengapa Alcoff mewanti-wanti, lokasi penutur sama sekali bukan ukuran mengenai “boleh-tidak” atau “halal-haram”-nya tindakan menyuarakan. Berpijak pada Alcoff dapatlah kita tarik satu pertanyaan penting untuk kita ajukan kepada @_gladhys, terutama sebagai tanggapan atas cuitan awalnya saat ia menulis, “This smell like a male gaze reek to me @bukuvelodrom, (dan gue literally bergidik saja tiap kali ada lakik ‘kritikus’ viewing women’s work).”
Bayangkan pertanyaan yang kita lontarkan ini disampaikan Alcoff yang merupakan seorang perempuan. “Apakah Anda merasa sangat yakin bahwa apa yang selama ini Anda suarakan dengan mengatasnamakan ‘suara perempuan’ itu cukup representatif bagi perempuan secara keseluruhan?”
Nyatanya, beberapa hari yang lalu, ketika perdebatan ini sedang riuh-riuhnya, seorang mahasiswi secara personal menyampaikan ketidaksepakatannya terhadap suara @_gladhys kepada saya. Sampai di titik ini, kita pada akhirnya memang tak bisa sepenuhnya mengerti. Siapakah yang sebetulnya layak menyuarakan persoalan perempuan? Siapakah yang amatannya dapat dinilai cukup representatif dalam menyampaikan persoalan perempuan? Sementara itu, Alcoff justru mewanti-wanti persis seperti yang saya sampaikan sebelumnya bahwa lokasi sosial bukanlah ukuran presisi untuk melegitimasi tindakan merepresentasikan.
Kita boleh sepakat bahwa kritikus—lebih-lebih sekaliber Cep Subhan—jelas merupakan sosok yang memiliki privilese. Apakah kemudian, dengan posisinya sebagai laki-laki dan kritikus kenamaan, Cep Subhan haram jadah menulis hasil pembacaannya terhadap kerja-kerja perempuan sebagaimana yang mungkin akan kita temui dalam bakal bukunya?
Kendati pertanyaan-pertanyaan tersebut terbilang kompleks, saya kira representatif atau tidaknya pembacaan seseorang bukan berarti tak dapat dimistar. Maka, pada titik ini, memahami konteks tindakan menyuarakan menjadi genting. Oleh sebab itu, akan lebih terasa pas jika kita bertanya, “Dalam situasi bagaimana seseorang dapat terhindar dari potensi bias representasi?”
Mengenai pertanyaan-pertanyaan tersebut, saya memandang bahwa “pengarang” dan “kritikus” memiliki posisi yang berbeda. Kerja kritikus bukanlah kerja seorang pengarang. Jika pengarang menghasilkan karangan, kritikus membaca hasil kerja pengarang. Dalam pembacaan kritisnya, seorang kritikus mengamati teks, misalnya tentang bagaimana makna dipolakan dalam teks dengan menggunakan bahasa. Terhadap pola-makna tersebut, seorang kritikus mewedarkan teks kritik kepada pembaca sehingga dapat dipahami logika bahasa seseorang. Dengan kata lain, sesungguhnya apa yang diwedarkan hanya “fenomena” yang ia dapati dari teks. Oleh karena itu, kecurigaan @_gladhys, saya kira, akan jauh lebih tepat jika disasarkan kepada pengarang yang menganggit teks yang dikaji kritikus, alih-alih kepada kritikusnya.
“Ketulusan”—yang telah saya singgung—merupakan kualitas yang susah diukur dengan skala pasti. Meski begitu, bukan berarti tidak ada kaifiyah yang bisa dipakai untuk meninjaunya. Alcoff menyodorkan empat langkah interogatif untuk menyelidiki bias representasi. Pertama, penting bagi kita untuk menganalisis motif mengapa seseorang ingin berbicara, baik mengenai orang lain maupun kelompok dan/atau “budayanya sendiri”. Kedua, selain motif, Alcoff juga menyarankan supaya kita mesti menganalisis latar belakang sosial si pembicara, terutama menyangkut: Bagaimana relasi antara si penutur dengan kelompok yang dituturkan? Privilese apa yang ia miliki? Dalam posisi bagaimana pengamatan dan penyampaian itu diartikulasikan? Apakah, misalnya, si kritikus memang menulis atas dorongan ketertarikan pribadi terhadap persoalan perempuan? Atau, katakanlah, justru diminta seorang pengarang perempuan untuk mengulas kerja kepengarangannya?
Ketiga, kita juga perlu menyelidiki akuntabilitas si kritikus. Apakah hasil pembacaannya dijalankan dengan tanggung jawab intelektualitas berbasis riset yang tak semenjana, misalnya. Akan jadi persoalan kompleks ketika si penutur menjadi bagian masyarakat yang ia suarakan. Pada situasi demikian, bias representasi sesungguhnya lebih rawan terjadi. Sebab, si penutur akan mudah merasa bahwa ia lebih paham mengenai kelompoknya ketimbang orang di luar lingkaran. Walhasil, ia pun terjebak pada sikap antikritik—untuk tak menyebut antiintelektual. Keempat, Alcoff juga menekankan pentingnya meninjau implikasi yang mungkin dihasilkan dari tulisan/pernyataan seseorang mengenai kelompok yang disuarakannya.
Keempat introgasi tersebut bisa dijalankan ketika kita sudah betul-betul membaca secara cermat Perempuan dalam Bibliografi Pembaca yang masih bersemayam dalam rahim Velodrom. Saya sendiri belum membaca bakal buku Cep Subhan. Maka, saya cenderung sepakat dengan sikap @suhairi4hmad. Menanggapi penilaian yang terasa sepihak, @suhairi4hmad menulis, “Apakah Cep termasuk pengusung intelektual yang menindas saat membahas karya-karya penulis perempuan? Tentu saja ini bisa dibuktikan kalau bukunya sudah terbit dan dibaca.”
Apa yang disampaikan @suhairi4hmad terasa menggaungkan kembali idiom klise, Don’t judge book by its cover! Sayang, di jagat yang kian sesak oleh pemikir progresif, yang klise-klise gampang diabaikan. Lebih disayangkan, @_gladhys menolak membeli buku belum lahir yang sudah dikeluhkannya itu. “Ogah beli,” tulisnya membalas tanggapan @edoy___.
Memperkuat pandangan @_gladhys sekaligus membantah @suhairi4hmad yang menulis “Lucu sekali kalau karya-karya perempuan hanya boleh dibahas perempuan. Anti-malegaze dan anti-patriarki, tapi intelektual? Di KUPI, isu perempuan tidak hanya dibacarakan dan ditulis perempuan,” seorang warga X @justitoadi membalas, “Bukan tidak boleh. Tapi posisionalitasnya mirip dengan bagaimana penulis/institusi pengetahuan barat yang terus dominan dlm mendefinisikan yang ada di Global South/non-kulit putih. Laki2, lanjutnya, sudah terlampau dominan dalam sejarah pengetahuan tentang perempuan. Tahu diri itu penting.” Sejalan dengan @justitoadi, warga X @andinrm pun berkata, “Gak ada larangan kok laki2 membahas perempuan, tp syaratnya jelas, hrs pro perempuan/feminis. Aliansi Laki-Laki Baru, misalnya, mrk pro feminis & saya dukung kerja mereka. Yg jd masalah, banyak penulis laki2 yg ga jelas keberpihakannya ke perempuan, tapi tulis ttg perempuan.”
Apa yang saya dapat katakan, baik mengenai sikap @_gladhys, @justitoadi, maupun @andinrm adalah sebuah eksklusivisme. Feminisme, sejauh ini memang jamak dimaknai sebagai gerakan untuk perempuan. Logis bila banyak feminis menolak ide untuk melibatkan pria dalam gerakan mereka. Bias representasi menjadi momok manakala laki-laki terlibat gerakan yang mereka inisiasi. Namun, secara teoretis, hal ini paradoks.
Jika eksklusivisme membuat pria bisa menentang ketidakadilan (untuk turut menyoal isu perempuan) sebagaimana yang dialami wanita, mereka mestinya dapat dianggap “feminis”. Kendati demikian, saya pun tak membantah bahwa penerimaan pria sebagai feminis tidak lantas membuat mereka “harus” terlibat dalam semua aktivitas feminis. Feminisme yang merasa laki-laki telah terlalu lama menentukan apa yang mereka inginkan memang berhak melakukan penyelidikannya sendiri tanpa harus menerima saran laki-laki. Memang perlu diakui, di titik tertentu, laki-laki yang mengklaim diri sebagai feminis mesti dipandang hati-hati. Sebab, banyak yang telah membuktikan bahwa pretensi terhadap feminisme dijadikan senjata baru dan berharga dalam perjuangan supremasi laki-laki sebagaimana syak wasangka @_gladhys dan para pendukungnya.
Eksklusivisme dalam pernyataan-pernyataan @_gladhys juga dapat menimbulkan potensi bergesernya perjuangan untuk menegakkan keadilan, tatanan dunia yang inklusif, di mana “perempuan” dan “laki-laki” telah setara. Kita agaknya perlu mempertimbangkan gagasan Fromm bahwa feminis kiwari cenderung mengartikan “kesetaraan” sebagai “kesamaan” alih-alih “kesatuan”.
Memahami “kesetaraan” sebagai “kesatuan” berarti menerima setiap individu sebagai dua kutub yang berbeda, entitas-entitas unik. Dengan keunikan dan keotentikan itu, individu membentuk kosmos masing-masing. Memandang “kesetaraan” sebagai “kesatuan” berarti memosisikan konformitas sebagai suatu kebenaran yang tidak diukur (hanya) dari konsensus. “Kesatuan” terbentuk tanpa memusnahkan kebutuhan manusia akan individualitas. Sebaliknya, “kesetaraan” sebagai “kesamaan” adalah kesetaraan yang menolak polaritas tanpa mau melihat bahwa tidak selamanya polarisasi berdampak negatif. Memahami “kesetaraan” sebagai “kesamaan”, dengan demikian, menghendaki “standardisasi”. Standardisasi atawa pembakuan menolak manusia dengan segala keunikannya sebagai individu.
Oleh sebab itu, jika yang dikehendaki adalah cegaknya tatanan dunia yang adil, yang setara, yang inklusif tanpa hierarki gender, hemat saya, yang perlu diupayakan, yaitu menjembatani dualisme langgeng antara “yang feminin” dan “yang maskulin”, antara “perempuan” dan “laki-laki”, terutama menyangkut klaim tentang siapakah yang boleh mempersoalkan isu satu terhadap yang lain. Tentu saja akan selalu ada risiko yang akan dipertaruhkan. Pendapat @justitoadi memang benar meski pandangan tersebut menafikan gerak laju sejarah. Bukan tidak mungkin—persis disebut Janed Radcliff Richards—jika laki-laki menjadi sekutu politik berharga (guna mengupayakan visi kemanusiaan yang diusung feminisme) sebagaimana pengalaman para feminis awal yang dalam mencapai kemajuannya diwujudkan bersama kaum laki-laki.
Diakui atau tidak, beberapa laki-laki memiliki kemampuan berpikir logis dan melakukan investigasi ilmiah yang sama baiknya dengan perempuan. Jika feminis menjauhkan kaum laki-laki dari persoalan mengenai perempuan—yang dianggap feminis sebagai zona mereka semata-mata—sikap tersebut, seperti yang saya singgung sebelumnya, akan berisiko membuat penegakan keadilan justru menjadi pertarungan antarjenis kelamin belaka. Ketika Ruthven menyebut bahwa anggapan mengenai pemahaman sahih tentang kritik feminis membutuhkan kedalaman yang tak kuasa dijangkau laki-laki mana pun, pada saat yang sama, kita seperti mengandaikan sebuah gerak mundur menuju masa lalu kelam, masa di mana “perempuan” dan “laki-laki” selalu dibedakan—selain oleh jenis kelamin—berdasarkan kemampuan dalam “intuisi” dan “logika”. Walhasil, eksklusivisme demikian makin menabalkan steoretipe basi yang senantiasa ingin mereka enyahkan hingga detik ini. Maka, siapa pun patut bertanya, “Benarkah suara feminis untuk perempuan?”
Yohan Fikri adalah penyair dan kritikus sastra.
Editor: Ikrar Izzul Haq







