Hal pertama yang disampaikan Nabil Sabanta Manzil yaitu kekagumannya pada suasana baru yang dia rasa tatkala berdiri di mimbar panas Sivitas Kothèka. Bagaimana tidak, guru sosiologi itu sudah lima kali mengisi Koloman Budaya! Di depan layar televisi yang menampilkan salindia, Nabil duduk santai mengenakan kaos berkerah marun. Laptop yang penuh stiker terbuka di hadapannya, siap menemani sang pemateri pada Koloman Budaya ke-110.
Kuliah umum sukses terlaksana pada Senin, 17 November 2025 dengan tema “Melankolia Poskolonial Paul Gilroy”. Puluhan mahasiswa dan penonton dari berbagai kalangan duduk menyimak. Beberapa di antaranya tampak serius mencatat poin-poin penting materi.

Nabil membuka diskusi pada pukul 19:45 WIB dengan membedah pemikiran Paul Gilroy lewat bukunya yang berjudul After Empire, Postcolonial Melancholia, the Black Atlantic, Race and the Right to be Human. Ia menjelaskan fenomena Postcolonial Melancholia atau kegalauan pascakolonial yang melanda negara-negara bekas penjajah macam Inggris. Mereka, kata Nabil, gagal move on dari kejayaan masa lalu dan terus terjebak dalam nostalgia imperium yang sudah runtuh. Perasaan kehilangan ini berubah menjadi patologi sosial berupa kecemasan dan ketakutan terhadap para imigran yang dianggap mengancam identitas asli mereka.

Penjelasan Nabil bergerak lebih jauh ke konsep “cermin kaca poskolonial”. Ia menekankan bahwa penyakit melankolia tersebut tidak hanya milik penjajah, tapi juga memantul ke negara bekas jajahan seperti Indonesia. Kita sering terbuai dengan nostalgia “tempo doeloe” dan mengagumi estetika bangunan kolonial, tapi lupa pada sejarah kelam di baliknya. Inilah yang disebut Nabil sebagai “amnesia historis”. Kita merayakan masa lalu yang indah-indah saja sambil melupakan brutalitas dan hierarki rasial yang pernah terjadi di masa itu.

Di tengah penjelasan tentang bahaya civilizationism dan absolutisme etnis, Nabil menawarkan jalan keluar yang disebut Gilroy sebagai conviviality. Berbeda dengan multikulturalisme yang kaku dan diatur negara, conviviality adalah kemampuan manusia untuk hidup bersama secara wajar, cair, dan spontan di tengah perbedaan. Nabil mengajak audiens untuk melihat perbedaan ras atau etnis sebagai hal yang biasa dan membosankan, bukan ancaman yang harus ditakuti atau diagung-agungkan secara berlebih.
Diskusi malam itu ditutup dengan refleksi mendalam tentang masa depan. Nabil mengingatkan agar kita tidak terus-menerus terjebak dalam perasaan menjadi korban atau victimage. Sebaliknya, kita perlu mengubah rasa trauma itu menjadi kesadaran baru untuk membangun interaksi sosial yang lebih sehat, di mana manusia bisa hidup berdampingan tanpa sekat-sekat kecurigaan dan xenofobia.
Editor: Asief Abdi
Foto: Mahrus Shofi









