Menu

Mode Gelap
Kearifan Lokal dan Kepercayaan Palsu Otoritas Foto di Hadapan AI Antara Kompleksitas dan Intensitas Ironi Ulang-alik Spiritualitas Pascateologi Melankolia Poskolonial

Kritik Seni

Jejak Gaib Biodiversitas


					Foto oleh Ikrar Izzul Haq/Sivitas Kothèka Perbesar

Foto oleh Ikrar Izzul Haq/Sivitas Kothèka

Sains yang maha esa benar-benar menduduki rantai logis dan metodologis paling puncak dalam struktur kerasionalan. Mitos bahkan tidak berada di tatanan paling dasar, ia terkucil. Inferior. Maka bukan perkara basi ketika Claude Lévi-Strauss membobol pertahanan sains dengan mengatakan bahwa mitos adalah bagian dari taksonomi ilmu pengetahuan alam dan sosial yang harus dilegitimasi. 

Dalam tatanan dan semesta ekosistem, sains menunjukkan sisi lemahnya. Ada berbagai alasan yang tidak terpecahkan menggunakan talenan epistemologi. Sains terdesak berjibun masalah, sehingga dedemit, batara, dan batari ikut campur dalam kosmologi ini. Hikayat Mitobotani, 21 kumpulan esai perjalanan karya Asief Abdi memenuhi hajat ilmu pengetahuan sejati ala Claude Lévi-Strauss yang revolusioner. Kumpulan esai ini adalah spesimen langka yang berani mendobrak superioritas sains. Ia, misalnya, menerangkan bahwa biota dalam habitat tertentu berhasil melintasi masa sebab mitos yang melatarinya. 

Salah satunya mengakar pada esai yang bertajuk Di Bawah Naungan Kepuh dan Randu Alas. Keberhasilan randu alas melintasi masa dan dilindungi oleh masyarakat setempat, faktanya, bukan karena subsidi pupuk dari pemerintah atau kerja sains yang selalu mutakhir. Randu alas yang terpacak di bentangan alam Lembana, di pelosok Sumenep, sanggup dengan kekar melindungi ekosistem di sekitarnya karena memiliki jejak magis. 

Untuk meneropong jejak magis itu, pembaca diajak meramban ke Setragandamayit (dunia bawah, sarang setan, singgasana Sang Durga). Pembaca mampir ke lumbung Calon Arang, lalu melipir barang sejenak ke India. Semua dijabarkan selepas nama famili dan habitat tetumbuhan disebut. Dalam banyak genre yang sama, umumnya esai perjalanan punya kodrat yang sekadar informatif atau semata menerangkan. Hikayat Mitobotani, dengan gaya dan pemetaan konsep yang khas membawa pembaca pada ranah yang tak hanya edukatif tapi juga transenden. 

Kalau boleh menebak, dapur narasi Asief Abdi tampaknya mengolah peleburan oposisi biner ke dalam sistem simbolik wacana. Ramuan ini juga gamblang terpanggang dalam gagasan Claude Lévi-Strauss The Savage Mind. Tak sekadar tendensi, ketika menyoal Mata Air Sumberawan di kaki Gunung Arjuna, penulis tak merasa cukup dengan menjelaskan obsesi dan ketakziman manusia tentang purifikasi dan keabadian yang terkandung dalam tirta amerta hanya karena kemujaraban senyawa air H2O.

Penulis membawa resolusi atas obsesi tirta amerta tersebut dengan sistem simbolik mite. Ia menyodorkan Serat Dewa Ruci, kisah Nabi Khidir ainul hayat, air abadi di Tanah Kegelapan dalam cerita lisan Alexander Agung, hingga komoditas film Pirates of The Carribean. Gugusan data ini, bukan hanya berfungsi sebagai keanekaragaman cita rasa, atau bahkan menggendutkan takhayul omong kosong. Mitos, bagi Asief Abdi, memiliki peran ekologis, apabila alpa, manusia akan ingkar terhadap kebutuhannya atas alam. 

Tentunya bakal menggelitik, kira-kira mengapa keberimbangan antara yang mistis dan logis diperlukan, ketika segala penjelasan bisa diterima asalkan masuk akal, tidak perlu menyeluruh? Setelah memeras gagasan Lévi-Strauss, usaha simbolik dan metafisik (sebagaimana yang dilakukan Asief Abdi) dapat membentangkan pola semantik yang koheren. 

Lévi-Strauss mengungkapkan analogi penangkapan elang yang bukan hanya kegiatan berburu tapi juga ritual yang menggunakan darah mens. Hal yang tabu seperti darah mens akhirnya menjadi alasan mengapa habitat elang bisa terjaga. Asief Abdi juga menayangkan gua dengan sandingan gua garba atau rahim, muara penciptaan, jati diri, juga hawa nafsu dalam esai Di Rahim Selomangleng

Mitos adalah bagian vital dalam kenyataan terstruktur, ia bahkan menjadi mediasi untuk akar pemikiran tertentu. Utamanya dalam Hikayat Mitobotani, mitos menjadi aksis konservasi. Penulis tidak memasung narasi Gunung Kelud dengan dogma kajian vulkanik, ia membawa serumpun cerita lisan, zoomorfis simbolik dari siluman manusia berkepala kerbau, dan lain sebagainya. Asiknya, penulis tidak berhenti pada penyuguhan, perspektif akan cerita tertentu kadang tidak disetujui olehnya. Ini yang membuat Hikayat Mitobotani bukan hidangan yang sekadar memenuhi keranjang referensi.  

“Awal kemunculan hantu-hantu Kelud sepertinya akan tetap menjadi misteri dalam khazabah sastra lisan Nusantara. Akan tetapi, legenda yang masih hidup hingga kini dan ritual yang terus dilakukan menunjukkan bahwa mereka masih gentayangan, menjaga siapapun tetap takzim terhadap alam.” (Hal. 107).

Esai ini bukan esai baper yang menyerang sains habis-habisan dengan serumpun mitos. Sebaliknya, semua esai mengemban misi penyelarasan dan keberimbangan. Penulis menggelontorkan kerja biota dalam habitat tertentu. Penjelasan ini tidak kaku seperti yang tertera dalam lembar kerja siswa. 

Cara penulis menjabarkan siklus hidrologi gundukan karst di Desa Sentol Laok, Sumenep misalnya, diperhalus dengan analogi galon raksasa. Jadi bisa dibayangkan, berapa kali penulis melucu dalam adegan serius, membuat semua esainya selain sarat informasi juga menghibur. 

Sarkasme alpa dalam seluruh esainya, bukan karena ada tendensi mengesampingkan isu pelik, tapi penulis sudah teramat blak-blakan. Sarkasme dan gaya dilematis lainnya, mungkin takkan sempat melintas di benak penulis karena penulis mengusung Elizabeth Kolbert Kepunahan Keenam. Agaknya, penulis terobsesi dengan Elizabeth Kolbert karena buku yang sama muncul dua kali dengan gema yang sama. 

Tentu saja penulis tak sempat sarkas, dalam esai Suara Kerang di Hutan Mangrove misalnya, penulis ketar-ketir menanggapi krisis iklim. Bagi penulis, siklus biogeokimia lingkungan aquatik sudah gawat. Kepunahan Keenam yang sangsi akan tingginya kadar CO2 menyebabkan pengasaman samudra. Itu berarti, kalsifikasi moluska terhambat pH air laut. Maka, “bivalvia atau hewan lunak lainnya,” sambar penulis, “kesulitan membuat cangkang.” (hal. 59).

Gravitasi penulis yang bukan kebetulan adalah seorang naturalis sangat mirip dengan pola eksperimentalisme babak merebaknya Revolusi Industri Inggris sekitar abad 20-an. D. H. Lawrence misalnya, gemar menggambarkan mesin sebagai mulut yang kelaparan, penulis juga seperti itu, di salah satu esai Sekarat di Tanah Kapur, ia membubuhkan, “mesin giling siap dinyalakan dan menelan setiap bongkah kapur yang dijejalkan ke mulutnya” (hal. 23).

Intinya, dalam belenggu oposisi biner fiksi dan non-fiksi, akhir-akhir ini penggabungan antara sains, mitos, dan ekologi ke dalam medan wacana jarang ada. Mitos adalah bagian dari kosmologi yang konkret untuk pelestarian budaya dan konservasi hayati, khususnya. Asief Abdi dalam Hikayat Mitobotani, dengan radikal, menunjukkan bahwa mitos bukan lawan sains, mitos membuka ruang transenden untuk menumbuhkan kesadaran ekologi, sebuah pemahaman holistik terhadap alam. 

Logika empiris yang tidak menafikan metafisika nyatanya menjadi penuntun moral dan spiritual akan keseimbangan hidup, bukan sekadar dongeng arkais yang kedaluwarsa. Sebagaimana kutipan berikut:

“Saat mata air mengering dan sungai tak lagi mengalir, ketika sawah-sawah sekarat dan dunia di ambang kiamat, barangkali kita akan sama kalapnya dengan Werkudara. Di bawah bayang-bayang krisis iklim, masihkah kita sudi hidup abadi?” (hal. 115).

Putriyana Asmarani adalah seorang bookstagrammer. Risetnya, “Identitas Raja-Raja Melayu”, mendapatkan beasiswa di National University of Singapore.

Editor: Ikrar Izzul Haq

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Antara Kompleksitas dan Intensitas

26 November 2025 - 17:40 WIB

Ironi Ulang-alik

22 November 2025 - 16:00 WIB

Kesaksian Puisi Pinggiran

5 November 2025 - 13:00 WIB

Banyak dibaca di Kritik Seni