Menu

Mode Gelap
Kearifan Lokal dan Kepercayaan Palsu Otoritas Foto di Hadapan AI Antara Kompleksitas dan Intensitas Ironi Ulang-alik Spiritualitas Pascateologi Melankolia Poskolonial

Kritik Seni

Ironi Ulang-alik


					Foto oleh Ikrar Izzul Haq/Sivitas Kothèka Perbesar

Foto oleh Ikrar Izzul Haq/Sivitas Kothèka

Mungkin aku memang sok tahu. Tapi, sejak 2013, aku nyaris berhenti membaca cerpen koran Indonesia karena merasa bahwa cerpen koran berkutat di wilayah itu-itu saja: etnisitas, eksploitasi kenyataan orang susah, stile yang jumud, dan volume kata yang membuat cerita tampak seperti sinopsis. Apakah cerpen-cerpen dengan problem akar rumput mesti dilanggamkan dengan cara yang amat verbal? 

Barangkali kita tahu, eksperimen cerpen-cerpen koran Indonesia terjadi ketika Orde Baru menggilas kebebasan dalam menggugat rezim. Itulah mengapa, tatkala jurnalisme dibungkam, sastra dituntut bicara. Sastra harus bicara karena ia memiliki peranti untuk menyembunyikan maksud, untuk berkata dengan cara yang tak lugas. 

Maka, mengkritik otoritas tangan besi tidak dilancarkan dengan format realisme. Mereka, para jurnalis yang menjelma sastrawan tersebut, memilih bentuk lain: surealisme atau absurdisme. Seno Gumira Ajidarma boleh dimasukkan ke dalam daftar sastrawan yang mengartikulasikan karya-karyanya dengan jalan demikian. 

Tapi, aku tidak menemukan watak koranisme dalam karya Ratri Ninditya, Hantu Ulang-alik, terbitan baNANA, 2025. Aku bersyukur, sebab tidak membeli kucing dalam karung. Ratri tidak membentangkan dunia yang rumpang dalam aksen koran Indonesia. Hantu Ulang-alik tidak berpretensi “kesastra-sastraan” untuk membuat kisah-kisahnya jadi memikat tanpa kehilangan “isu berat” yang tengah digemakan. 

Dalam Hantu Ulang-alik, dunia rumpang itu hadir sebagai ironi. Ironi inilah makanan para seniman. Dan melalui muslihat bahasa, seorang pesastra akan mempertajam ironi yang merupakan tabiat inheren bumi manusia. Mestinya memang begitu, kan? 

Maksudku, jika dalam keseharian kita harus menyembunyikan—kupinjam istilah Carl Gustav Jung—bayangan sembari menampakkan persona agar diterima sebagai anggota masyarakat yang berbudi pekerti luhur, berkepribadian Pancasila, dan semacam itu, sebaliknya, sastra menjadi “aula pesta” di mana segala norma bisa dilanggar. Sebab, jika disopan-sopankan, dengan tokoh utama berperangai ideal demi obsesi menjadi suri teladan serta nutrisi moral bagi pembaca, sastra akan jatuh sebagai khotbah dan tak jujur menyingkap hidup manusia yang amat kompleks. 

Akhirnya, aku menarik simpulan, Hantu Ulang-alik menampilkan ironi yang kental. Ironi tersebut terpiuh dalam kehidupan urban. Ironi muncul karena manusia terlalu banyak berekspektasi, tapi ternyata dunia menutup akses pada ekspektasi. Orang-orang suka menyebutnya: Kenyataan tak sesuai harapan. Yang ideal tak sesuai dengan yang ada. Hantu Ulang-alik menolak petuah klise para motivator bahwa “tak ada yang tak mungkin”. Hantu Ulang-alik malah bilang, “Ada kok yang tidak mungkin.” 

Kumpulan cerpen ini memperjelas ihwal keniscayaan hidup manusia modern yang babak belur. Dan yang babak belur tak mesti dibungkus dengan fiksi distopia, sastra katastrofik, atau genre-genre seram semacam itu. Ratri membawa realitas babak belur tersebut ke ruang paling personal tokoh-tokohnya, episode remeh kehidupan karakter-karakternya, katakanlah dalam kisah paling bernas kumpulan cerpen ini, “Mi Instan”. 

Jangan salah. Judul yang tampak junkies tak lantas membuat isu cerpen ini jadi junkies—seperti wajah sampul buku ini yang bisa jadi mendorong kita mengira bahwa Hantu Ulang-alik adalah cerita anak tentang “asyiknya liburan ke pantai” atau lite fiction tentang “alien baik hati yang terperangkap dalam stoples”. 

Menurut opiniku yang rendah hati, “Mi Instan” merupakan karya ironis par excellence. Ironi, dalam “Mi Instan”, tak sekadar menjadi bahan mentah premis. Ironi bahkan dikelola dari kelindan antara premis dan stile yang dipilih penulis untuk menuturkan ceritanya. Ketika Friedrich Schlegel bilang bahwa ironi adalah keindahan yang lahir dari disonansi, dalam konteks Hantu Ulang-alik, izinkan aku memaknai “disonansi” sebagai kesenjangan antara tema dengan bentuk bahasa.  

Maksudku begini, lazimnya, persoalan eksistensial manusia kerap—untuk tidak bilang “hampir semuanya”—dibawakan dengan gaya “adiluhung”, “sastrawi”, dengan bahasa yang mampu menegakkan bulu kuduk. Ada korespondensi satu-satu antara isu berat dengan wujudnya yang juga berat. Tapi, dalam cerpen “Mi Instan”, aku-narator tidak butuh meratap “aku ini binatang jalang dalam kumpulannya terbuang” untuk memajankan eksistensinya. Justru dengan langgam kolokial, “Mi Instan” mendesak pembaca melihat absurditas hidup dengan lebih jernih. Sebab, dengan gaya tuturnya yang ngeslang, “Mi Instan” jadi terasa amat dekat.

Hal ini tak berarti bahwa penggunaan bahasa kolokial membuat cerpen ini terkesan avant-gardis (atau apalah) karena “keberaniannya mendobrak konvensi”. Sama sekali bukan. Aku hanya merasa, bahasa informal semacam ini padu dengan nada cerpen yang begitu nyinyir—seperti tokoh Holden Caulfield dalam The Catcher in the Rye J.D. Salinger atau karakter sejumlah cerita Budi Darma. Kenyinyiran itu menyibak perangai sesungguhnya kemanusiaan kita yang acap ditutup-tutupi supaya tidak mencederai moral baik yang dijunjung masyarakat. Watak nyinyir yang diutarakan dengan bahasa pasar dalam sudut pandang orang pertama, apa yang lebih kuat dari keputusan artistik semacam ini?

Sebenarnya, ide cerita “Mi Instan” sangat sederhana—sesederhana mi instan. Tentang seorang perempuan yang bertemu sang mantan sekaligus sahabat lamanya. Tapi, di balik lapis kesahajaan itu, aku melihat pergumulan batin yang tak simpel. Konflik internal ini menyebabkan kerusakan permanen, laten, dan melempar si aku pada realitas eksistensial yang getir, bahwa di dunia ini, ia adalah sosok yang tak diinginkan kedua orang tuanya. “Lalu, Ibu memujinya dan menyuruh aku mencontoh ketelatenannya,“ ucap si aku. “Hal kecil itu sedikit demi sedikit menghapusku, membuatku transparan sebelum benar-benar menghilang.” Kita bisa membaca ironi di dua kalimat itu: Hal kecil, tapi mampu menghapus, bahkan melenyapkan keberadaan.  

Di kali lain, si aku mengungkapkan tragi-eksistensinya dengan lebih intens: Perasaanku campur aduk. Dulu, aku menganggapnya seperti perpanjangan diriku. Aku merasa kehilangan saat dia tak ada. Sebaliknya, jika kami bersama-sama, aku menganggapnya sebuah keniscayaan, seperti aku menganggap dua kaki dan dua tanganku sebuah keniscayaan. Jadi, ketika kami berdua lagi seperti ini, aku merasa diriku sedikit memuai dan membumbung, seperti balon gas. Namun selalu, setelah itu, kehadirannya perlahan mencekik dan mencengkeram, membuatku lupa dengan tangan dan kakiku dan tubuhku sendiri, membuatku bertanya: Bertahun-tahun kemudian setelah kita putus kontak, sebenarnya siapa yang perpanjangan dari siapa? Tubuh siapa yang sedang memuai dan tubuh siapa yang sekadar dilekatkan di bagian luar, seperti cangkang pelindung?

Apa masalahnya sederhana?

Cerpen “Mi Instan” memang diawali peristiwa belanja mi instan yang remeh, lalu ketemu bekas pacar, tiba-tiba jadi drama eksistensial. Tensinya dibikin mendaki dengan lembut, di lereng bukit konflik yang landai. Lantas, ironi eksistensial itu dipungkas ledakan momen dalam kejadian dramatis di mana si aku melempar barang-barang si mantan dengan koda yang ditulis berabjad kapital: AKU CUMA INGIN MASAK MI. SENDIRIAN. 

Tanpa mesin statistik, aku menduga “Mi Instan” adalah cerpen yang paling banyak memamerkan kalimat ironis ketimbang dua belas cerpen Hantu Ulang-alik lainnya. Kita bisa menemukannya dari tingkat frasa, klausa, kalimat, hingga wacana. Tapi, kemudian aku sangsi, sebab sekujur tubuh sebuah cerpen lainnya juga dipenuhi bahasa ironi. Cerpen itu berjudul “Preloved”. 

Dalam “Preloved”, ironi yang pekat dan gamblang misalnya muncul dalam kalimat “Tante Swandy yang selalu terlihat tersesat di sarangnya sendiri”, “keluargamu punya terlalu banyak barang dan terlalu sedikit perhatian”, “kartunya sakti, tapi dianya enggak”, dan seterusnya. 

“Preloved” punya nuansa agak serupa dengan “Mi Instan”. Ada elemen persahabatan, cinta, keluarga, pengabaian, dengan perspektif dan fokalisasi yang sama, pun gaya tutur tokoh utama yang ngeslang. Bedanya, protagonis “Mi Instan” ditikam tuntutan keluarga, sedangkan tokoh utama “Preloved” dicekik tuntutan zaman. Zaman modern di latar urban.

Ironi “Preloved” salah satunya dihadirkan melalui kohesi sosial yang retak dari dalam. Cerpen ini membeberkan hipokrisis persahabatan yang kerap ditutupi bedak dan gincu tebal. Barangkali begitulah potret jejaring manusia di kehidupan kota. Sebuah relasi yang tidak bertumpu pada hubungan kalis, tapi berdasarkan kepentingan, jalur strategis ke sumber daya. Dramawan Romawi Plautus akan mendikte ikatan palsu Asa-Felin “Preloved” dengan kalimat, “Manusia adalah serigala bagi manusia yang lain ketika ia tak mengenal siapa lawannya.”

Berbeda dengan si aku “Mi Instan” yang blak-blakan, kadangkala Felin menyembunyikan kompleks inferioritasnya dengan mekanisme pertahanan verbal. Di sepanjang alur, Felin mengisahkan bagaimana ia acap menerima benda-benda yang tak lagi diinginkan. Bahkan, ia “menerima” Asa, sahabatnya, sebagai “barang” yang tak dikehendaki ibunya sendiri, Tante Swandy. Dan Felin sadar, ia memiliki bakat menerima barang lungsuran. Termasuk pacar second hand dari sahabatnya sendiri. 

Felin selalu mengandalkan jurus verbal untuk menenangkan rasa jiper yang bercokol  di hatinya, seperti kalimat “Gapapa, santay aja, Sa, aku biasa pake make-up kedaluwarsa kok, kayak mayat.” Gapapa banget. Untungnya, Felin punya bakat lain: menyulap barang-barang bekas jadi bernilai. Misal, ”skill pakai merek-merek murahan,” seperti, “gimana caranya supaya bedak lima belas ribuan bisa nempel tanpa jadi kayak topeng.” Ia juga mendaku sebagai cewek multifungsi dan multitalenta. Bisa jadi “pembimbing skripsi (setelah dosen), supplier baks, sekaligus bisa dipake-pake.”

Ironi kehidupan kota, yang suka menawarkan janji manis tapi buas, Felin atasi dengan siasat ironi. Sepanjang tuturannya, kukira Felin insaf bahwa panggung urban mengepungnya dengan atmosfer ironi yang pekat. Tapi, ia memilih tidak bertekuk lutut di telapak kaki takdir yang ganas. Itulah mengapa ia perlu menguasai panggung dengan senjata lawan. Karena cerdas (multitalenta, kan?), barangkali diam-diam ia mengamalkan semacam wu wei, prinsip Taoisme yang mengajarinya untuk tidak melawan arus, tetapi menunggangi energi yang sudah bergerak. 

Singkatnya, nasib itu ironi dan harus disusuri dengan cara yang ironi. Maka, Felin turut bermain di atas panggung ironi itu beserta logika-logikanya. Dalam kelas sosialnya yang underdog, arena itu adalah panggung marginal. Bagaimanapun, agar sintas, ia mesti menguasainya—meski hanya sebuah pojokan di panggung gelap. Panggung gelap itu rupanya juga menjadi gelanggang bagi sepotong tubuh. Dalam cerpen “Panggung”, tokoh kau senantiasa menarikan tubuhnya di jantung malam. 

Dalam cerpen ini, si kau terpaksa menyingkir ke desa karena kota tak lagi memberinya tempat. Ia kesandung kasus pornografi ketika video indehoi yang menampilkan tubuhnya tersebar di jagat maya. “Tubuh yang sebelumnya dijanjikan akan diabadikan dalam kerahasiaan lewat kata-kata yang manis.” Itulah mengapa kau “sudah tidak percaya lagi dengan kata-kata”, satu kalimat yang mempertegas ironi Paul de Man sebagai pembatalan makna harfiah, momen saat bahasa menunjukkan ketidakandalannya sendiri. 

Tubuh, bagi moral umum, merupakan ruang paling personal dan otonomis. Ia hanya boleh dikomodifikasi atas legitimasi pemiliknya. Ironi terjadi bila “misteri” tubuh diungkap di ruang publik tanpa sepengetahuan empunya. Konflik cerpen “Panggung” berkisar dalam ironi tersebut. Ia memainkan jukstaposisi tokoh utama dalam latar urban yang bersanding dengan latar rural. Kedua latar tersebut memiliki sentimennya sendiri tentang tubuh manusia. Kedua sentimen itu melenggang dalam koreografi yang bertolak belakang. 

“Panggung” barangkali memang tidak bertabur anasir verbal yang ironis. Namun, kosmologi cerpen ini menari di antara dua semesta yang sama-sama ironis. Pertama, ruang urban mewedarkan rahasia tubuh di hadapan mata penonton yang tak kasat dalam jumlah tak tepermana. Kedua, ruang rural mempertontonkan kebebasan tubuh di hadapan mata penonton yang tak ada. 

Karena kasus video bokep, si kau memandang tubuhnya sebagai bongkahan daging di pasar yang siap diperdagangkan, dimanipulasi, dan disantap. Tubuh yang mulanya terra incognita bagi liyan, mendadak terkuak sebagai borok dan “sudah tidak terasa punyamu melainkan menjadi secuplik video streaming yang selalu buffering karena koneksi buruk.”

Lalu, alih-ruang dipakai cerpen ini sebagai siasat untuk merebut kembali tubuh yang telah dirampas. Maka, translokasi tokoh utama, dari ruang urban ke ruang rural, tidak semata-mata menandakan pergantian babak, tetapi menunjukkan kedua “panggung” tersebut sebagai geografi moral yang beroposisi biner dengan tubuh manusia sebagai tolok ukurnya. 

Menurutku, cerpen ini menggaungkan kembali wacana eksotisme desa dengan modus yang subtil. Berbanding terbalik dengan kota yang dinilai banal, bising, sarat tekanan, serbacepat sebagaimana kecepatan video porno menyebar, secara implisit desa diilustrasikan sebagai lukisan Hindia elok yang damai, reflektif, kontemplatif, dan cenderung mandek sebagaimana otoritas tokoh Bude yang enggan diganti. Di “panggung” nan hening itulah si kau menjalani healing dan berharap spiritualitas ketenangan menuntaskan masalah besar yang tengah menimpanya. 

Jadi, masuk akal jika di ruang rural, si kau menciptakan tariannya sendiri—yang asal-asalan—dengan audiens benda-benda mati: traso penuh debu, pilar ukir, dan udara malam. Mereka dianggap penonton setia yang tak pernah protes, tak menghakimi, dan tak seperti manusia, bisa menjaga rahasia. Si kau “berharap bisa merenggut kembali potongan-potongan tubuh yang telah dicuri.” Mestinya memang begitu, kan? Seperti tokoh Emak dalam cerpen “Anarkocheng” yang tak membiarkan orang-orang membajak iman atas tubuhnya sendiri. 

Bagiku, “Anarkocheng” adalah cerpen paling epik dalam Hantu Ulang-alik. Cerpen ini sudah menipuku, setidaknya tiga kali. Diawali lagak cerpen kekoran-koranan dengan mengangkat kisah orang susah di sebuah perkampungan—kita akan mudah mendapatkan cerpen bertokoh marginal dengan latar perkampungan semacam ini di Jawa Pos atau Kompas. Tapi, akhir cerpen membuatku kecele. 

Ceritanya sederhana. Tentang penjahit serba-kekurangan yang tinggal di sebuah indekos. Jika ia berhasil mengatasi tantangan-tantangan hidup yang agaknya sulit diatasi, kita boleh menyebutnya pahlawan. Persoalannya, masalah-masalah itu datang silih berganti. Kita akan menduga, kesulitan terbesar yang melanda hidup Emak—penjahit itu—adalah problem ekonomi, sampai kita terkejut bahwa tokoh yang dipanggil Emak ternyata tidak diterima warga dengan hati lapang. Pasalnya, “tubuh Emak tidak mau menuruti kehendak Emak.” Sampai di sini, kita tahu, ternyata Emak adalah seorang wadam. 

Menjadi tokoh Emak dalam cerpen ini terasa dilematis. Maju kena, mundur kena. Ikut pengajian dengan busana muslimah bikin ibu-ibu pada risi, mengambil jarak tempat duduk dengan Emak, dan saling melirik satu sama lain. Namun, ketika memakai peci dan baju koko di pengajian bapak-bapak, Emak dikeroyok preman religius. Gerombolan remaja brutal itu meneriakinya “banci”.

Menjadi wadam di sebuah negeri kuasireligius tentu bukan perkara mudah. Untuk sementara, Emak mesti menahan diri agar tidak melawan penindasan fisik dan kultural yang merundung dirinya, demi keselamatan bisnisnya, kendatipun kesal dan marah. Sebab, “jika ia terlibat ribut-ribut di sekitar masjid, mau siapa pun yang memulai keonaran, Emak pasti yang akan disalahkan.” Rene Girard menyebutnya scapegoat, “kambing hitam”, yaitu individu atau kelompok yang akan menjadi korban penebus jika sebuah tatanan sedang mengalami krisis. Sebagai individu dengan gender ambigu yang berdiri di pinggiran sosial, tokoh Emak tepat sekali menyandang status kambing hitam. 

Tapi, kata orang, kesabaran ada batasnya. Dan Emak, agaknya setuju dengan kata-kata itu. Bisa dipastikan, Emak telah jemu menimbun rasa gusar yang menindih hidupnya. 

Maka, malam itu, tiba-tiba ribuan kucing riuh meraung-raung, memasuki gang di mana Emak tinggal, menyibak jendela indekosnya. Kala itu, “Emak berdiri di depan kaca rias, dengan leotard ketat menutup seluruh badan, berlapiskan bulu-bulu hitam metalik. Topeng kulit berkuping runcing menutup seluruh kepala, menyisakan mata yang berkilau kuning memecah kegelapan.” Lalu, cerpen ini ditutup kalimat yang amat nendang: “Dengan tubuh baru yang Emak pinjam ini, ia akan memporak-porandakan dunia.” 

Membicarakan tubuh queer berarti menyinggung tubuh yang ironis—sekaligus tubuh yang anarkis. Ia adalah tubuh yang menolak tatanan. Bahkan, queerness tokoh Emak kian berganda-ganda ketika tubuhnya memfusikan diri dengan tenaga nonmanusiawi. Dalam hal ini, Ratri memilih kucing—yang akan mengingatkan kita pada pahlawan wanita-separuh-kucing komik Saras 008—yang menjelmakan sosok Emak sebagai Cat Woman, atau Cat Bencong (atau gimana?)

Tapi, mengapa harus kucing? Pertama, kucing adalah hewan domestik yang akrab dengan manusia. Kucing akan cocok dengan latar perkampungan cerpen ini. Kedua, kucing merupakan hewan nokturnal. Rencana penaklukan warga dan negara akan tepat jika dioperasikan ketika dunia sedang terlelap. Ketiga, kucing kerap dimitoskan sebagai hewan nyaris imortal yang memiliki sembilan nyawa. Bila harus mampus karena apes digebuk ramai-ramai jemaah FPI, paling tidak emak masih punya delapan nyawa. Pahlawan fiksi yang cepat mati agaknya kurang pantas menyandang predikat pahlawan. Keempat, kucing adalah hewan yang bertindak-tanduk dalam gestur anggun—bahasa Inggris mengenal kata catwalk—sedangkan waria acap distereotipekan sebagai sosok dengan gerak-gerik kenes seperti perempuan. Cerpen ini akan berhasil jika dalam imaji pembaca, Emak yang banci dapat dibayangkan sebagai pendekar lincah, kemayu, megah, dan elegan dalam gelora kekucingannya. Dengan seluruh alasan itu, logis bila Ratri memberi judul cerpen ini “Anarkocheng”, bukan “Anarkodok”, apalagi “Anarkambing”. 

Tak pelak, kejutan alur di akhir cerita meruntuhkan prasangkaku bahwa “Anarkocheng” berwatak kekoran-koranan—walaupun berjudul tidak kekoran-koranan. Plot twist yang begitu fantasional ini bukan sejenis deus ex machina sebagaimana Dewi Kwan Im yang mendadak datang ketika rombongan Biksu Tong terjebak dalam situasi genting. Dari awal, Ratri sudah memberi petunjuk terkait visi kostum kucing bahwa pakaian tersebut adalah “kulit kedua, akan mentransformasi dirimu menjadi sesuatu yang berbeda, tak terduga, tak masuk akal.” Pakaian ini akan “mengeluarkan hasrat-hasrat ketubuhanmu yang kaulipat rapi di sebuah relung kedap suara dan udara dari hatimu yang rapuh itu.” 

Jadi, misi kepahlawan Emak bukan momen bimsalabim dan sekonyong-konyong yang dipantik kebuntuan kreatif pengarangnya. Kelahiran sang “ratu adil” sudah ada naga-naganya sejak peristiwa pembuka cerpen ini. Tapi, superhero sejenis Emak ada baiknya tidak jadi pahlawan kesiangan dalam cerpen “Film Sadis”. Sebab, tokoh Ibu akan menuding metamorfosis hibrid kucing-insani itu sebagai alien titisan Dajjal. 

Tokohnya diperankan seorang ibu yang termakan teori konspirasi akhir zaman. Dalam delusinya yang absurd, ia curiga, dunia sudah digenggam persekutuan jahat yang dipimpin Dajjal. (Si Ibu butuh “Fortune Cookie” JKT48 agar tahu bahwa “masa depan tidak akan seburuk itu”. Bisa lebih buruk, kan?)

Bagi Ibu, Dajjal beserta para asistennya telah mengendalikan seluruh media informasi, mengontrol makhluk-makhluk luar angkasa, bersembunyi di kerak Bumi dan dasar candi yang terkubur, melancarkan genosida-perampasan-pemerkosaan, melangsungkan bencana alam, meracuni tanah dengan nutrisi dajjal sehingga makanan yang tumbuh di atasnya tercemar, serta sederet citra suram tentang kondisi masyarakat di detik-detik terakhir menjelang kiamat. 

Paragraf panjang demi paragraf panjang cerpen ini merupakan “pidato” sang Ibu tentang gelapnya era Armageddon. Komentar atau narasi tokoh aku—yang merupakan anak si Ibu—hanya menjadi sisipan singkat di antara pepatah-petitih panjang itu. Namun, sebagaimana ramalan profetik mana pun tentang gonjang-ganjing akhir zaman yang akan tiba sebentar lagi, kehancuran dunia tidak pernah tiba. “Aku mengambil sapu sambil menghitung hari kapan ancaman-ancaman Ibu akan menjadi kenyataan,” pungkas tokoh aku. 

Kuanggap cerpen “Film Sadis” sebagai kritik kepada generasi ledakan bayi yang mengalami gegar-grup-WhatsApp. Angkatan gagap teknologi yang gampang percaya berita tak terverifikasi, bercampur keyakinan teologis yang telanjur mengakar. Kira-kira ironisnya begini: Banjir bandang informasi tidak lantas membuat orang-orang menjadi pintar dan fanatisme religius tidak lalu membikin manusia jadi tecerahkan. 

Tapi, tentu saja, dunia ironi tidak hanya dialami tokoh baby boomer “Film Sadis”. Semua tokoh dalam Hantu Ulang-alik dikenai kenyataan ironis dengan takaran serupa meski dalam warna yang berbeda. Cerpen “Cari Jodoh”, misalnya, berkisah tentang seorang perempuan yang pandai menjodohkan kucing tapi mengalami kegagalan rumah tangga. Cerpen “Setengah” adalah cerita ironi ihwal para karyawan burnout yang memompa semangat kerjanya dengan obat-obatan. Cerpen “Boneka” menarasikan seorang gadis yang menerima pelecehan seksual dari sosok yang semestinya melindunginya. Dan seterusnya, dan seterusnya. 

Hingga kini aku masih bertanya-tanya, mengapa buku ini punya merek Hantu Ulang-alik, padahal tak satu pun cerpen di dalamnya berjudul demikian. Tapi, kita boleh menerkanya macam-macam, sebagaimana judul esai ini, “Ironi Ulang-alik”. Sebab, dalam buku ini, kita akan mendapati ironi berbolak-balik, ke sana kemari, melintasi satu cerpen ke cerpen lainnya. Ironi-ironi tersebut tampil dalam nuansa yang beragam. Ia kadang berwajah jenaka, kadang sarkas, kadang tragis, kadang sinis. Menciptakan tegangan pada alur, memperkuat karakter, mengontraskan latar, mempertegas suara pengarang. Dan sebagainya, dan sebagainya.  

Royyan Julian menulis prosa dan puisi.

Editor: Ikrar Izzul Haq

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Antara Kompleksitas dan Intensitas

26 November 2025 - 17:40 WIB

Jejak Gaib Biodiversitas

12 November 2025 - 18:00 WIB

Kesaksian Puisi Pinggiran

5 November 2025 - 13:00 WIB

Banyak dibaca di Kritik Seni