Menu

Mode Gelap
Kearifan Lokal dan Kepercayaan Palsu Otoritas Foto di Hadapan AI Antara Kompleksitas dan Intensitas Ironi Ulang-alik Spiritualitas Pascateologi Melankolia Poskolonial

Esai Budaya

Balada yang Muluk-Muluk


					Foto oleh Ikrar Izzul Haq/Sivitas Kothèka Perbesar

Foto oleh Ikrar Izzul Haq/Sivitas Kothèka

Seseorang bertanya, “Adakah toko buku selain tempatmu kerja di Pamekasan?” Saya bingung. Dan saya putuskan bilang, “Kalau seperti Balada, enggak ada.” Sebenarnya ada toko buku lain, tetapi saya paham “toko buku” yang kawan saya maksud itu seperti apa. Saya bisa menyebut Al-Huda, toko kitab legendaris di Pamekasan, kalau saya mau. Namun, agaknya tidak relevan dengan kawan saya itu.

Ketika menjawab “enggak ada”, saya merasa bangga, tapi hanya sebentar. Selanjutnya, sedih, khawatir, dan bahkan malu. Betapa menyedihkan iklim literasi dan bebukuan di kota ini. Beberapa toko buku pernah ada di Pamekasan, tetapi beberapa tahun belakangan gulung tikar adalah pilihan paling rasional. Tradisi membaca yang belum terbentuk, infrastruktur literasi yang tak memadai, pemerintah yang tidak bisa diandalkan. Paling tidak, tiga hal tersebut yang bisa saya sorot dari persoalan ini.

Dari sekian banyak toko-toko buku, yang bisa bertahan sampai sekarang adalah Al-Huda, toko kitab itu. Mengapa? Orang-orang Pamekasan, atau Madura secara umum dikenal sebagai manusia-manusia religius. Hampir seluruh anak-anak di sini belajar agama di madrasah. Dari setingkat taman kanak-kanak sampai kelas enam sekolah dasar. Di situ mereka butuh kitab dan toko macam Al-Huda menyiapkannya, berikut buku-buku pendukung yang juga bertemakan agama. Target pasar Al-Huda jelas: orang-orang yang belajar agama, entah murid madrasah, santri, atau para ustaz dari institusi informal. Dan Pamekasan belum perlu merasa khawatir soal jumlah santri dan ustaz. 

Jika Al-Huda punya target yang jelas dan didukung institusi-institusi yang juga sudah mapan berdiri, bagaimana dengan toko buku “konvensional”? Lebih cair—untuk tidak mengatakan gaje. Mari kita bandingkan dengan institusi pendidikan formal, yang mestinya menjadi salah satu target pasar toko buku. 

Institusi pendidikan formal yang hanya terpaku pada buku-buku paket dan LKS, ditambah mayoritas siswa dan guru yang tidak membaca cukup menjadi petunjuk mengapa toko buku tidak bisa bertahan lama di sini. Ini berdasarkan pengalaman pribadi saya sendiri, tidak ada daftar bacaan yang direkomendasikan guru untuk membantu siswa memperdalam pemahaman. Jangan dulu kita bicara rekomendasi untuk membeli, anjuran untuk membaca buku-buku di perpustakaan saja tidak pernah saya dengar. Jika dipikir-pikir, ini terasa seperti sebentuk kecongkakan, bahwa kita merasa cukup dengan bahan ajar yang begitu-begitu saja, di ruang itu-itu saja.

Di tengah situasi seperti inilah Balada dibangun. Membuka toko buku di lingkungan jamet terdengar seperti rencana bunuh diri. Bukan saya membenci jamet. Bebaslah mereka mau apa, berkawan dengan siapa, main di mana. Tapi, satu hal yang hampir bisa dipastikan, begitu kecil kemungkinan mereka akan mampir ke Balada jika kami hanya menjual buku. Harus ada pancingan yang bisa menarik orang-orang secara umum untuk berkunjung. Kami putuskan kopi dan jadilah Balada: Kopi dan Buku. Benar saja, orang-orang pergi mampir dengan semangat ngopi dan nongkrong. Bukan hal yang buruk.

Mencari untung besar dari penjualan kopi apalagi buku bukan satu hal yang menapak tanah, alias tak masuk akal. Tentang buku sudah saya beri gambaran di paragraf-paragraf sebelumnya. Sedangkan kopi, sudah terlalu banyak kedai kopi di sini. Dalam jangka waktu enam bulan terakhir saja, paling tidak ada empat kafe yang resmi dibuka. Belum yang tidak saya ketahui atau yang menunggu dibuka. 

Dari situ saya yakin, ketika membangun atau menjalankan toko, si pemilik pernah merasa dia sedang dalam misi “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Ambisius. Namun, yang selalu dikatakan Ra Afnan sebagai pemilik tempat, tidak semenggebu-gebu itu. “Terminal komunitas,” katanya. Balada sebagai ruang. Terdengar lebih realistis ketimbang ujug-ujug mau mencerdaskan kehidupan bangsa.

Kami sepakat, komunitas-komunitas kecil yang tersebar di berbagai penjuru punya signifikansi lebih daripada hanya terpusat pada satu lingkaran besar. Balada tidak sedang ingin membangun sebuah pusat. Karenanya, istilah yang dipilih adalah terminal, sebuah ruang temporal di mana komunitas singgah dan membangun percakapan, merencanakan sesuatu yang lebih besar, menghimpun lebih banyak orang, hingga akhirnya menciptakan iklim baru.

Boleh dibilang, toko ini adalah laboratorium bersama. Bahkan di luar perkara literasi-literasian (yang kerap dipahami dekat dengan buku-buku), kami juga terbuka dengan berbagai ajakan kerja sama, sepanjang tidak keluar dari arus ideologi kami. Musik, film, ekonomi, olahraga, apa pun. Kami percaya, keberagaman bisa jadi bahan bakar untuk ruang ini tumbuh. Dan kerja-kerja kolaborasi merupakan modus paling sangkil yang bisa kami bayangkan saat ini. 

Namun, rasa pesimis terkadang muncul tiba-tiba. Bahkan ketika kami sudah mematok ekspektasi seminimal mungkin. Betulkah apa yang kami lakukan realistis? Mungkinkan iklim baru itu terbentuk? Pertanyaan-pertanyaan semacam itu masih terus menghantui, paling tidak pada diri saya sendiri. Barangkali suatu saat tanda tanya itu akan terjawab, ketika semua yang sudah kami ikhtiarkan terlaksana dengan baik. Dan kami tidak sedang buru-buru ingin tahu. 

Ikrar Izzul Haq adalah pekerja di Balada.

Editor: Putri Tariza

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Kearifan Lokal dan Kepercayaan Palsu

3 Desember 2025 - 13:00 WIB

Foto oleh Asief Abdi/Sivitas Kothèka

Otoritas Foto di Hadapan AI

29 November 2025 - 13:00 WIB

Spiritualitas Pascateologi

22 November 2025 - 13:00 WIB

Foto oleh Asief Abdi/Sivitas Kothèka
Banyak dibaca di Esai Budaya