Begitu tahu Clementine telah menghapus semua kenangan kisah cinta mereka di Lacuna Inc, Joel, sang mantan, bertekad mempraktikkan laku serupa. Apa yang dilakukan kedua tokoh itu, yang diperankan Jim Carrey dan Kate Winslet di film Eternal Sunshine of the Spotless Mind, agaknya menjadi impian setiap korban putus cinta: menghapus total kenangan bersama bekas kekasih.
Sayangnya, kita berhadapan dengan kabar buruk: manusia dilatih untuk mengingat sepanjang hidupnya. Semenjak sekolah, kita diminta mengingat abjad, perkalian, bahkan nama-nama ikan ibu kota negara. Bangsa Yunani mewariskan teknik ars memoriae, bukan ars oblivionis. Perusahaan farmasi berlomba-lomba menciptakan suplemen dan obat-obatan, dari vitamin B kompleks hingga ekstrak Ginkgo biloba, demi meningkatkan daya ingat.
Secara linguistik, kita punya istilah untuk pernik-pernik yang kita ingat: kenangan, hafalan, ingatan, memori, dan lain sebagainya. Namun, apa sebutan dari segala hal yang kita lupakan? Sepanjang ingatan saya, tidak ada. Betapa pilih kasih manusia dalam memperlakukan keduanya.
Manusia baru sadar betapa penting caranya lupa tatkala mereka menghadapi situasi traumatis. Salah satunya yaitu ketika kontrak cinta berakhir. Akan tetapi, lantaran cuma terlatih mengingat, sewaktu tiba masanya seseorang berusaha melupakan kisah cinta yang pedih, upayanya bakal sia-sia belaka. Sebab, kita tak pernah diajari cara melupakan.
Sebetulnya, tanpa dipaksa, otak kita sudah melupakan banyak hal. Kamu pasti tak lagi mengingat apa yang masuk ke perutmu suatu siang delapan hari yang lalu. Kamu juga pasti sudah lupa mimpi yang mewarnai tidurmu lusa lalu—jangankan dua hari, begitu bangun pun ingatan itu telah musnah. Dan kamu juga melupakan masa-masa ketika kamu berlumur ketuban dan baru keluar dari liang garba ibumu. Mengapa memori tersebut pudar dengan mudah, sedangkan tidak dengan mantan kekasih?
Untuk tahu mengapa, kita perlu melihat bagaimana ingatan bekerja. Saat kamu mengalami sesuatu, reseptor di setiap organ indramu merespons. Misalnya, tatkala kamu pertama kali melihat si dia yang tengah termenung memandangi lautan. Matamu melihat sosoknya, telingamu mendengar desau angin, sedang hidungmu mencium samar aroma tiram. Sistem indra meneruskan semua informasi itu ke bagian otak bernama hipokampus.
Namun, hipokampus bukan ruang simpan permanen. Ia lebih mirip meja sortir, tempat pengalaman yang baru kamu cecap diproses dan disiapkan sebelum dipindahkan ke ruang simpan jangka panjang. Di sini, informasi dari pancaindra dikonsolidasikan menjadi satu ingatan yang utuh dan bermakna. Bayangkan, data stimulus tersebut dijilid jadi satu buku bersampul si doi. Lantas, dalam hitungan jam hingga hari, buku itu dipindahkan ke gudang penyimpanan jangka panjang. Kamu bisa membayangkannya seperti rak-rak perpustakaan tempat kamu menaruh buku. Zona itu bernama neokorteks.
Sekarang, bagaimana kenangan jangka panjangmu tentang doi terbentuk? Mulanya, ujung-ujung sel saraf, atau yang disebut dendrit, melepaskan neurotransmiter. Senyawa kimia itu berenang menyeberangi sinaps (celah antara sel saraf), lalu ditangkap oleh neuron sebelahnya. Agar lebih mudah, bayangkan mekanisme tersebut layaknya kapal-kapal penuh muatan surat yang berlayar dari satu pulau ke pulau lain. Para ilmuwan sepakat kalau komunikasi antarsel saraf tersebut, kerja-kerja “kapal-kapal” itu, merupakan muasal lahirnya kenangan.
Neurotransmiter yang berperan dalam konstruksi memori antara lain: epinefrin, dopamin, serotonin, glutamat, dan asetilkolin. Saat kamu mengalami kejadian emosional—jatuh cinta, misalnya, zat-zat kimia saraf tersebut begitu melimpah, seolah otakmu bisa-bisa terendam. Akibatnya, peristiwa yang menggugah emosi akan lebih membekas ketimbang kejadian biasa seperti berapa detik kamu menyikat gigi pagi ini atau berapa banyak kamu mengupil siang tadi.
Di sisi lain, sinyal yang ditangkap sistem indra juga memicu produksi protein-protein spesifik. Senyawa tersebut tak hanya membangun sinaps, tapi juga mengode kenangan. Bayangkan, seluruh mekanisme itu membentuk jaringan memori di otak yang plastis dan selalu berubah. Tiap kamu mengingat kembali doi, makin banyak jumlah koneksi sinaps dan makin kuat sirkuit sel saraf tersebut. Analoginya mirip latihan otot lengan dengan barbel—makin sering angkat beban, otot makin kekar. Ketika kamu mengingat kembali si doi, jaringan sinaps dalam kepalamu kian kokoh.
Celakanya, ada kabar buruk lain. Kamu mungkin beranggapan ingatan yang kamu simpan itu seperti buku yang tak akan berubah isi maupun jumlah halamannya. Sayangnya, tidak. Ingatan tersebut tidak ajek. Setiap kamu mengingat kembali doi, kamu seolah membuka data itu kembali dan merevisinya. Tanpa sadar, kamu bisa mengubah detail atau bahkan menambahi hal-hal subtil lainnya. Kamu seolah membuat versi baru kenangan. Semakin kamu bucin, semakin banyak revisi yang kamu lakukan. Misalnya, dia ternyata tak termenung menatap langit biru, tapi menoleh ke arahmu, tersenyum lebar, dan berkata lautan yang menghampar di depan sana tak seindah dirimu. Dan ingat, tak hanya revisi, tiap kamu memanggil kenangan itu kembali, kamu semakin menguatkan jaring-jaring sinaps dan membuat “otot” kenanganmu makin kekar dan sukar tumbang. Jadi, sudah tahu, kan, mengapa susah melupakan dia?
Lantas bagaimana teknik melupakan? Seperti saya sebutkan di atas: tidak ada. Akan tetapi, mari kita analisis lagi. Apa yang sebetulnya menghancurkan kita saat putus cinta? Sebenarnya, yang jadi masalah bukan kenangan—kenangan bersifat netral—melainkan emosi yang kita lekatkan pada ingatan tersebut. Coba bayangkan, misalnya, kamu pernah makan lele bareng di warteg atau mengunjungi perpustakaan komik bersama mantanmu. Sekarang, tiap melihat lele atau komik, kamu bisa menangis tersedu-sedu. Sebab, dua benda tersebut menjadi simbol, perlambang kelekatan antara kalian. Akan tetapi, jangan salahkan lele dan komik. Reaksi melankolia tersebut muncul akibat oplosan neurotransmiter yang menciptakan sensasi jatuh cinta saat kamu berhadapan dengan keduanya, yang sayangnya, kini bagai mengetuk pintu rumah yang tak lagi dihuni si dia.
Lantas, mana yang lebih penting: melupakan kenangan nongkrong bareng di warteg—dan lele tak bersalah itu—atau tetap mengenang prosesi makan tersebut tanpa rasa sakit? Saya yakin kamu memilih yang kedua.
Ada dua hal yang dapat kamu lakukan. Ternyata kabar buruk di atas, secara paradoksal, bisa jadi kabar baik: tentang neuroplastisitas sel saraf. Bukankah otak kita punya kemampuan merevisi ingatan? Saat kamu bucin, kamu melakukan revisi berulang-ulang seolah si dia begitu istimewa. Salim untuk Mbak Bernadya yang mengingatkan kita bahwa “sifat baikmu yang orang tahu, itu karanganku”. Kamu menciptakan versi si dia begitu sempurna di benak, hingga mengabaikan sikap menyebalkan doi. Sisi emosional yang kamu ciptakan, tentang dia yang nyaris tanpa cela dan tak ada seorang pun yang bisa menggantikannya, dapat kamu ubah. Tak harus membenci, cukup sadari bahwa dia tak sesempurna itu.
Hal lain yang patut kamu lakukan yaitu tidak memperkuat jejaring sinaps itu. Bukankah setiap upaya mengais kembali kenangan hanya akan menguatkan ingatan? Kalau kamu masih ingat esai saya sebelumnya, Helen Fisher telah membuat penelitian terkait kenangan menggunakan MRI dan foto mantan pasangan. Maka yang bisa kamu lakukan: berhenti stalking mantan dan melihat-lihat fotonya lagi—apalagi terus-terusan komunikasi.
Meski begitu, ketika mengingat kembali kisah Clementine dan Joel, saya bertanya-tanya, apa urgensinya melupakan rasa sakit akibat putus cinta? Bukankah pada akhirnya Joel menyadari, rasa sakitlah yang membuat jiwanya bertransformasi? Dari rasa sakit, ia belajar makna hidup. Dan rasa sakit pula yang menjadikannya seperti sekarang. Bukankah karena luka kita dewasa? Lantas, bila hal-hal yang membuat rasa sakit itu dihapus dari ingatan, tidakkah makna yang bisa kita pelajari juga akan pergi?
Sasti Gotama adalah dokter dan penulis. Ia menerima penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa, Hadiah Sastra Rasa, dan Anugerah Sabda Budaya.
Editor: Asief Abdi







