Menu

Mode Gelap
Kearifan Lokal dan Kepercayaan Palsu Otoritas Foto di Hadapan AI Antara Kompleksitas dan Intensitas Ironi Ulang-alik Spiritualitas Pascateologi Melankolia Poskolonial

Kritik Seni

Antara Kompleksitas dan Intensitas


					Foto oleh Ikrar Izzul Haq/Sivitas Kothèka Perbesar

Foto oleh Ikrar Izzul Haq/Sivitas Kothèka

Setelah keterpukauan saya terhadap 4 Months 3 Weeks and 2 Days (selanjutnya disebut 4 Months) besutan Cristian Mungiu, saya selalu menunggu kejutan apa lagi yang datang dari tangan sineas asal Rumania tersebut. Di 4 Months, Mungiu tangkas memainkan intensitas lewat dialog-dialog argumentatif yang mengalir deras dan didukung oleh pembentukan suasana yang gereget. Tak ayal, 4 Months menjadi film unggulan dan menyabet Palme D’or pada perayaan Festival Cannes 2007 saat itu. Kali ini saya mencicipi Graduation, garapannya setelah 9 tahun perilisan 4 Months, dengan kesiapan yang matang dan titik fokus yang terkumpul. Apakah Graduation juga memiliki perang dialog sebagaimana yang diciptakan Mungiu dalam 4 Months? Atau, adakah eksplorasi-eksplorasi baru yang akan kita jumpai?

Naskah Graduation ditulis dan diarahkan oleh Cristian Mungiu sendiri serta ditayangkan di Festival Cannes 2016. Film ini dibintangi oleh Adrien Titieni, Maria Victoria Lia Bugnar, Malina Manovici, dan aktor yang selalu menjadi kolaborator dalam setiap film garapan Mungiu, Vlad Ivanov. Dalam film ini, saya melihat setidaknya 3 masalah di setiap lini narasi, yaitu kejahatan, perjuangan, dan perselingkuhan. Ketiganya saling bersilangan dalam satu balutan plot utama, yakni perjuangan.

Romeo (Adrien Titieni), berprofesi sebagai dokter sekaligus ayah yang selalu awas terhadap putri semata wayangnya, Eliza (Maria Victoria). Sebagaimana orang tua pada umumnya, Romeo dan sang istri, Magda (Lia Bugnar), menginginkan yang terbaik bagi anak gadisnya yang telah menginjak usia remaja. Eliza mendapatkan beasiswa kuliah di kampus ternama di Inggris. Namun ia harus tetap mengikuti tes akhir dengan pencapaian nilai rata-rata yang ditentukan. Romeo, sosok ayah yang diidamkan semua anak di dunia, selalu meluangkan waktunya untuk Eliza, sampai-sampai adegannya sebagai dokter hanya terlihat sesekali saja. Selepas mengantarkan Eliza untuk tes akhir dan mengunjungi selingkuhannya, Sandra (Malina Manovici), Romeo mendapat panggilan. Sekelompok orang tak dikenal menyerang anaknya hingga tangan kanannya terluka dan harus digotong ke rumah sakit.

Kisah-kisah perjuangan seorang ayah bisa kita temukan di film-film lainnya, seperti The Pursuit of Happyness, Fatherhood, I am Sam, dan sebagainya. Namun, Graduation tidak hanya mempertontonkan perjuangan Romeo yang mengkhianati moralnya dengan berlaku curang demi memenuhi persyaratan beasiswa sang anak. Lebih dari itu. Tragedi jatuh bangun meminta sang anak untuk tidak tetap tumbuh besar di kotanya, mempertahankan rumah tangga, merawat sang ibu, memberi perhatian lebih kepada selingkuhan, dan pencarian pelaku kejahatan yang merugikan dirinya, juga anaknya. Film ini bergulir dengan segala hal-hal yang saya sebutkan di atas. Herannya, rajutan serta penjalinan kisahnya sama sekali tak semrawut, tidak menjadi rumit. Semuanya seolah memiliki rel masing-masing yang kemudian dipertemukan di stasiun yang sama.

Graduation masih memampang wajah yang sama seperti film-film Cristian Mungiu lainnya. Handheld, long take, dan tone yang tenggelam–untuk tidak mengatakan mencekam. Memikirkan produksi, mungkin saya harus mengagumi lagi bagaimana Mungiu mengambil gambar dalam karya-karyanya. Bagaimana ia selalu menggunakan long take dan tak pernah ada cut to cut yang menampilkan wajah satu ke wajah yang lainnya dalam dialog. Dialog selalu berawal dan berakhir di dalam satu bingkai di mana adegan itu diambil. Semuanya seperti itu, semuanya. Setiap adegan, setiap perang dialog, diambil menggunakan long take.Sebagaimana 4 Months Mungiu masih menempatkan beberapa perang dialog. Hanya saja, tidak senendang 4 Months. Akhirnya, intensitas ketegangan yang dibangun pun kurang maksimal dan di beberapa lini terasa mentah. Saya menduga, barangkali kelemahan Graduation adalah konsekuensi narasi yang kurang maksimal.

Memang, rajutan alur film ini sangat rapi, tidak menunjukkan tanda-tanda kesemrawutan. Namun, banyaknya permasalahan yang Mungiu rajut justru menenggelamkan efek ketegangan itu sendiri. Pun ada yang menghilang di dalamnya, yaitu pencarian pelaku penyerangan yang minim eksplorasi. Jadinya, saya sebagai penonton sering menaruh kecurigaan kepada Marius (pacar Eliza), karakter yang justru minor kehadirannya. Harusnya, pencarian tersebut tetap didalami dan dimanfaatkan untuk membangun ketegangan film, alih-alih cuma memasang wajah kekalutan seorang ayah. Perihal sinematografi, saya tak perlu lagi meragukan. Akting para pemain juga tidak menjadi tanda tanya. Mereka totalitas menghafal dialog-dialog panjang sehingga terlihat sangat orisinil. Adrian Titieni, sebagai karakter utama, setidaknya berhasil menjadi pondasi kuat untuk keroposnya Graduation. Ia mampu mengisi setiap alurnya dengan keseruan-keseruan yang tidak boleh dilewatkan. 

Azman Bahbereh adalah penyair dan sinefil yang tinggal di Singaraja. Ia pernah belajar di Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.

Editor: Ikrar Izzul Haq

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Ironi Ulang-alik

22 November 2025 - 16:00 WIB

Jejak Gaib Biodiversitas

12 November 2025 - 18:00 WIB

Kesaksian Puisi Pinggiran

5 November 2025 - 13:00 WIB

Banyak dibaca di Kritik Seni