Menu

Mode Gelap
Festival Sastra-Sains 2025, Epistemologi Maut dan Cinta Tentang Roh dan Seks Park dan Roman Klise Mencari Surga dalam Peta Perihal Puisi dan Gejala Kematian Sejarah One Piece, Nika, dan Genderang Pembebasan

Esai Budaya

Ziarah ke Makam Sapiens


					Foto oleh Ikrar Izzul Haq/Sivitas Kothèka Perbesar

Foto oleh Ikrar Izzul Haq/Sivitas Kothèka

Saya berkunjung ke makam bapak di suatu sore, sendiri. Namun, entah mengapa bayangan Yuval Noah Harari ikut dan menghantui pikiran. Barangkali, karena Sapiens-nya belum selesai saya baca. Andai ia benar-benar ikut saat saya duduk di samping makam bapak, mungkin ia akan geleng-geleng kepala. Sambil tersenyum tipis, kemudian bergumam, “Homo sapiens satu ini, bicara sama batu.”

Katanya, Homo sapiens adalah makhluk yang paling jago menciptakan fiksi: Tuhan, negara, agama, hingga cinta. Maka, doa yang saya bisikkan, bunga yang saya taruh pelan-pelan, mungkin cuma dianggap bagian dari “cerita kolektif” yang diwariskan turun-temurun. Produk budaya. Imajinasi massal. Tapi, saya tidak sedang menciptakan cerita fiksi. Saya sedang pulang. Bukan pulang ke rumah, melainkan ke sesuatu yang bersifat spiritual. Saya tidak berbicara kepada batu. Saya berbicara kepada ingatan. Dan entah mengapa, ini melegakan.

Harari tak mengenal kiai dan sebuah langgar di kampung saya. Sosok dan tempat saya pertama kali belajar huruf hijaiah. Huruf-huruf kecil yang diajarkan dengan lidi dan suara lembut. Huruf yang kelak membentuk lafaz dan kalimat, yang kemudian saya sebut sebagai doa.

Kiai saya tak pernah mengajarkan bahwa doa itu imajinasi. Yang beliau ajarkan adalah, “Bacaan itu sampai. Bahkan sebelum kamu selesai menyebut nama.” Saya percaya. Bukan karena sudah terbukti secara ilmiah, tapi karena keyakinan itu diwariskan dengan penuh kasih dan tanggung jawab.Harari barangkali akan menganggapnya sebagai “konstruksi sosial”. Tapi bagi saya, perkara ini meruoakan warisan spiritual. Dan saat saya berdiri di samping makam Bapak, saya tidak sedang melanjutkan tradisi semata. Saya sedang menyambung hubungan. Hubungan yang tak terputus hanya karena tubuh sudah terkubur tanah.

Saya tahu, Bapak tak perlu menyahut. Saya justru akan kaget jika tiba-tiba mendengar suaranya. Saya hanya ingin bercerita tentang banyak hal. Tentang hidup yang kadang macet, seperti terhalang pawai musik daul; tentang pekerjaan yang tak kunjung pasti; juga tentang mimpi-mimpi kecil yang belum sempat diwujudkan. Bapak mendengarkan saat saya bercerita sepulang sekolah. Meski sering kali tidak ada tanggapan, perasaan saya jadi lega. Kini, di hadapan nisan Bapak, saya mengulang masa-masa yang telah lewat itu. Bagi kami, santri kiai kampung, ziarah bukan hanya tentang mereka yang sudah tiada, melainkan juga tentang kita yang masih hidup. Ini semacam pengingat, bahwa hidup tidaklah tentang diri sendiri. Bahwa ada cerita yang mesti diteruskan. Ada nama yang mesti dijaga.

Sosiolog Maurice Halbwachs pernah bilang, memori itu bukan sesuatu yang pribadi. Ia hidup dalam masyarakat. Dan makam Bapak, barangkali, adalah salah satu wujud memori kolektif bagi saya, ibu, dan kaka yang kami dihidupkan ulang. Di sini, kami tidak hanya menaruh bunga. Kami menaruh ingatan. Menaruh rasa hormat. Menaruh harapan, bahwa yang telah wafat tak benar-benar pergi dari hidup kami.

Saya jadi ingat petuah kiai kampung yang dulu mengajari saya sholat. Katanya, “Doa anak saleh untuk orang tua yang wafat, itu amal yang tak terputus.” Belakangan saya tahu, itu bunyi hadis nabi. Meskipun saya tidak saleh-saleh betul seperti redaksi hadis tersebut, saya datang. Saya berdoa. Dan semoga itu cukup.Sebab ziarah, bagi saya, bukan hanya urusan pahala. Ia adalah cara paling sederhana untuk berkata, “Bapak, aku tidak lupa keringatmu.”

Saya tidak setiap hari ingat wajah Bapak. Tapi, dengan datang ke makamnya, saya merasa terhubung. Seolah ada sesuatu yang mengikat saya pada masa kecil; pada keringatnya yang mengalir sebab matahari sawah; napasnya yang terengah sebab mengayuh sepeda; dan pada ajakannya untuk ikut ziarah. Barangkali, ini yang dimaksud Pierre Bourdieu, bahwa kebiasaan yang ditanam sejak kecil akan menjadi bagian dari tubuh kita, dari cara kita hidup. Cara kita memaknai hidup. Pada kasus saya, ziarah adalah salah satunya. Ia tidak menuntut banyak untuk dipahami. Cukup dibiasakan sejak kecil. Seperti ajakan Bapak dahulu saat kami berkunjung ke rumah nenek. Tak ada penjelasan apa pun. Cuma baca Al-Fatihah, kadang dengan Yasin, lalu pulang. Tapi dari situ saya tahu, ada cara untuk menghormati orang yang sudah tiada. Dengan datang ke makam dan mendoakan. Itu yang saat ini saya teruskan: saya sering membawa keponakan saat ziarah ke makam Bapak. Saya tidak minta mereka paham, saya cuma ingin mereka terbiasa. Karena barangkali, begitulah cara agar ingatan bisa hidup lebih lama.

Tapi, mungkin Harari tak tahu itu. Dia tak hidup di kampung saya. Jika iya, barangkali dia akan dititipkan oleh ibunya ke kiai. Sama seperti saya dan kawan-kawan lain. Di musalanya, kami tidak belajar teori sosiologi atau filsafat sejarah. Kami belajar alif, ba, ta, dengan bantuan lidi. Kami membaca doa salat, doa sebelum makan, doa sebelum tidur. Bukan karena kami tahu artinya, melainkan karena kiai menyuruh kami hafal. Di sana, cerita tentang Tuhan bukan fiksi. Ia adalah bagian dari keseharian. Sebelum makan, sebelum jalan, sebelum tidur, ahkan, sebelum masuk toilet, semua ada doanya. Kalau Harari duduk di barisan kami waktu itu, mungkin ia akan berpikir dua kali sebelum menyebut agama hanya sebagai “produk imajinasi”. Karena bagi kami, ziarah bukan sekadar tradisi. Ia adalah cara pulang paling jujur yang kami punya. Pulang ke akar, ke nama keluarga, ke suara Bapak yang mengeraskan suara, “Al-Fatihah”, di hadapan nisan orang-orang yang kami cintai.

Harari barangkali tak mengerti mengapa kami menyapu rumput di makam dengan pelan, mengapa ibu-ibu membawa bunga yang terbungkus plastik tahu, duduk lama di samping pusara, berdoa, dan mungkin berbicara seakan ada yang mendengar dari balik tanah. Barangkali, ia akan menyebut semua itu bagian dari “kebudayaan agraris” yang memelihara mitos. Tapi bagi kami, itu bagian dari adab. Karena doa yang baik, harus diawali dengan sikap yang baik. 

Saya tumbuh dengan ajaran itu. Bahwa orang mati tak benar-benar mati. Hanya pindah alam. Harus terus didoakan keselamatannya. Bahwa hidup ini bukan garis lurus ke depan. Tapi lingkaran yang senantiasi menemui ujung yang sama. Kepada keluarga. Kepada tanah. Kepada doa yang dipelajari sejak kecil. Dan, kepada Pencipta.

Maka, saat saya duduk sendiri di depan makam Bapak, saya tidak merasa sedang melakukan hal kuno. Saya merasa sedang menyambung sesuatu yang tak terlihat, tapi dapat dirasa. Sebuah ikatan yang tak bisa dijelaskan lewat grafik atau model sejarah. Ia hidup dalam bisikan dan tetes air mata kecil di samping makam. Kadang saya tidak membawa banyak doa. Hanya cerita. Tentang hidup yang makin rumit, tentang dunia yang berubah cepat, tentang bagaimana saya ragu pada banyak hal, kecuali satu: kerinduan kepada Bapak. Dan itu cukup jadi alasan saya untuk datang.

Namun, Harari juga tak harus tahu tentang ini dan sebaiknya ia tak usah ikut mengaji sore di musala kampung kami. Saya khawatir ia harus menulis ulang Sapiens dari halaman pertama. Dimulai dari Adam dan Hawa. Dan saya, mungkin tak akan pernah menyelesaikan Sapiens-nya. Sebab bagi saya, karya Harari adalah sesuatu yang luar biasa dan patut di apresiasi. Ia “berimajinasi” dengan pengetahuan, tentang manusia dan tentang asal muasal.

Tapi, saya tidak.

Saya tidak sedang berimajinasi. Saya sedang mengingat. Dalam bahasa Halbwachs, ini memori kolektif. Dalam bahasa Bourdieu, ini habitus. Dalam bahasa kiai kampung kami, ini ngabdi. Ini, cinta.

Baitur Rahman adalah relawan di Compok Literasi.

Editor: Ikrar Izzul Haq

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Tentang Roh dan Seks

27 September 2025 - 11:52 WIB

Foto oleh Asief Abdi/Sivitas Kothèka

Mencari Surga dalam Peta

20 September 2025 - 13:00 WIB

Foto oleh Asief Abdi/Sivitas Kothèka

Perihal Puisi dan Gejala Kematian Sejarah

17 September 2025 - 12:00 WIB

Banyak dibaca di Esai Budaya