Menu

Mode Gelap
Festival Sastra-Sains 2025, Epistemologi Maut dan Cinta Tentang Roh dan Seks Park dan Roman Klise Mencari Surga dalam Peta Perihal Puisi dan Gejala Kematian Sejarah One Piece, Nika, dan Genderang Pembebasan

Kritik Seni

Uroboro Maut dan Cinta


					Foto oleh Ikrar Izzul Haq/Sivitas Kothèka Perbesar

Foto oleh Ikrar Izzul Haq/Sivitas Kothèka

Membaca ulang Uroboro Syekh Kholil Bangkalani (selanjutnya akan disebut Uroboro) karya Royyan Julian, saya melihat sejumlah kecenderungan yang baru saya sadari. Pada pembacaan pertama, berbulan-bulan lalu, yang tampak begitu jelas adalah hipogram-hipogram narasi puisi. Bahkan ketika mata saya masih mengeja judul. Beberapa nama tokoh yang disematkan sebagai tajuk puisi, mau tidak mau membawa pembaca pada teks yang lebih lampau. Dengan begitu, saya segera menerka, puisi-puisi ini bermain-main di lintasan sejarah dan legenda. Dari narasi yang terlacak hingga yang masih kita raba-raba.

Uroboro jadi semacam ensiklopedia ringkas untuk membaca khazanah kemaduraan. Kisah-kisah yang terbentang dari ujung timur Sumenep hingga Bangkalan di barat terekam dalam sudut pandang yang unik. Puisi-puisi ditulis dalam perspektif yang mungkin tak seorang pun menerka bahwa yang demikian bisa saja terjadi.

Baik yang telah tertulis sebagai sejarah ataupun mengawang-awang sebagai legenda, sebuah narasi niscaya memiliki ruang-ruang kosong yang luput ditulis pujangga atau terlewat dari cerita kakek-nenek kita. Di sana, puisi-puisi dalam Uroboro menggarap lahan. Membentuk kisah baru, atau sekadar menggambar suasana pada satu titik peristiwa spesifik, seraya tetap berada dalam gambaran besar di sisi yang lain. Puisi memperketat plot dan memperjelas citra.

Meski tak mutlak, sejarah dan legenda sering kali ditulis dalam langgam heroisme. Begitupun narasi-narasi lampau tentang Madura. Formula kisah heroik akan membawa pembaca pada pertempuran-pertempuran, baik secara metaforis maupun literal. Dari situ, kita akan menjumpai pertarungan fisik dan pergulatan batin para pahlawan yang acap berlandaskan cinta. Yang tak jarang menyeret mereka ke hadapan maut.

Kisah tentang Trunajaya, misalnya. Bangsawan Madura itu memilih memberontak kepada Raja Mataram, Amangkurat I, sebab mencium busuk persekongkolan Kesultanan Mataram dengan VOC. Makar itu berujung pada penangkapan Trunajaya oleh pasukan VOC dan tikaman keris Amangkurat II kepadanya. Bolehlah kita sebut apa yang dilakukan oleh Trunajaya adalah sebuah bentuk kecintaan atas tanah dan bangsanya. Atau, jika ternyata Trunajaya memiliki maksud lain dari pemberontakan itu, maka ia telah terlampau mencintai dirinya sendiri.

Kematian Trunajaya “terekam” dalam puisi yang berjudul “Kematian Trunajaya”. Tentu puisi ini tak ditulis berdasarkan pengalaman indrawi. Barangkali juga telah terpiuh oleh interpretasi pribadi. Namun, sejauh peristiwa tersebut masih berada dalam garis besar peristiwa, gambar suasana yang diciptakan puisi justru akan memperkaya peristiwa itu sendiri. Dan pada puisi ini, pembaca diberikan satu gambar yang memperjelas, bahwa rasa tak sudi Trunajaya untuk tunduk kepada VOC mengantarnya pada pengkhianatan dan kematian.

Kisah cinta seringkali berakhir pada peristiwa-peristiwa kematian. Lebih-lebih yang eros. Tidak hanya kisah Romeo dan Juliet, salah satu kisah asmara dari Madura, Bangsacara dan Ragapadmi juga tak kalah tragis. Uroboro sekali lagi menggambar tragedi. Lewat puisi “Kematian Bangsacara dan Ragapadmi”, puisi menghadirkan adegan demi adegan dari perspektif Ragapadmi. Aku bermimpi / langit magenta ditaburi / ribuan toh saga. Dari bait pertama inilah puisi memberi imaji firasat buruk Ragapadmi dengan menghadirkan mimpi langit sore yang bertabur bercak serupa warna darah. Firasat kematian Bangsacara dan (entah Ragapadmi sadari atau tidak) juga mautnya sendiri. Sekali lagi, cinta menggiring manusia pada ajal.

Kematian (juga cinta pada akhirnya), kita tahu, adalah perkara yang niscaya, paling tidak untuk manusia (saya belum bisa memastikan apakah pohon-pohon juga saling mencintai). Namun, cinta juga senantiasa menuntut kata “setia”, sesuatu yang dekat dengan “abadi”. Barangkali di sinilah titik retak antara visi cinta dan takdir manusia sehingga kerap menarik insan ke jurang tragedi. Atribut “setia” kemudian seolah menjadi liang kubur yang diciptakan manusia untuk cinta itu sendiri.

Akan tetapi, hal ini berbeda ketika kita menarik konteks maut dan cinta ke ranah yang bersifat religius, spiritual, dan lebih-lebih mistik. Sifat Tuhan yang Maha Kekal dan kehidupan akhirat yang abadi barangkali menjadi dua alasan kuat bagaimana mereka memandang kematian. Bagi mereka maut bukan lagi menjadi sesuatu yang tragis, melainkan bagian dari perjalanan “cinta”. “Surga” mungkin istilah yang paling akrab untuk membayangkan titik akhir dalam perjalanan itu. Dan surga hanya dipersembahkan untuk para pecinta.

Beberapa puisi dalam Uroboro menangkap respons terhadap kematian dari sudut pandang spiritual dan mistik, seperti pada bait terakhir puisi “Tajul Muluk (2)”. Di pengasingan ini / dendam hangus oleh panas cinta / yang berkabut dalam bokor malam / dan menyepuh selembar kafan / yang membalut tubuh kami / untuk kaubangkitkan / di ufuk Hari Pembalasan.

Pada bagian puisi ini kita bisa melihat bagaimana cinta dan kematian beroperasi. Cinta yang mereka amini mencakup wilayah yang lebih luas. Tak semata-mata pada Yang Satu atau junjungan tertentu, tetapi mengembang dan berdampak pada hal-hal yang ada di sekitar mereka. Cara pandang atas kematian juga hadir pada bait ini. Mereka percaya bahwa yang telah mati akan segera bangkit kembali. Kematian tak dianggap sebagai sesuatu yang perlu diratapi.

Dari sejumlah puisi berbingkai sejarah dan legenda dalam Uroboro, kita bisa paham perbedaan perspektif terhadap maut dari beberapa “metode” cinta.

Ikrar Izzul Haq adalah seorang pecinta.

Editor: Putri Tariza

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Park dan Roman Klise

24 September 2025 - 20:31 WIB

Anastomosis Maut dan Cinta

6 September 2025 - 13:00 WIB

Memandang Cinta dari Jauh

3 September 2025 - 16:00 WIB

Banyak dibaca di Kritik Seni