“Bukankah kita mencintai puisi karena kita menemukan keindahan? Lantas mengapa ia menuliskannya dengan kata-kata kotor?” Dikutip dengan tidak sempurna dari ucapan Mija dalam film Poetry (2010). Tetapi, Mija, bukankah puisi yang indah dan kerap bikin melayang-layang itu kadang belum cukup jujur atas realitas yang menghantam kita di dunia ini?
Melalui interaksi Pan kepada Tek dan Tek kepada Pan, dua persona dalam tiga sajak, “pan & tek i”, “pan & tek ii”, dan “pan & tek iii” di kumpulan puisi Selamat Malam, Kawan! gubahan Muhaimin Nurrizqy, seolah-olah menyapa pembaca laiknya kawan karib. Dalam tiga sajak itu, Pan dan Tek dihubungkan dalam sebuah relasi kawan karib. Keduanya kompak tampil dalam peristiwa miris-meringis, tetapi dari sanalah solidaritas antara keduanya menjadi tebal.
Dalam “pan & tek i”, mula-mula relasi keduanya dibangun lewat rencana minum tuak sambil menulis puisi. Namun, rencana kerap kali hanya rencana. Tuak tetap ditenggak, tetapi puisi luput ditulis. Boleh jadi malam itu puisi tak lebih kuat menampung emosi mereka ketimbang tinju, joget, atau menghambur ke sungai dan berak berdua. Di tengah suasana berak itu, sekonyong-konyong mayat bayi hanyut di hadapan mereka berikut bangkai satwa dan tahi manusia. Peristiwa ini saya baca sebagai yang subtil, sebab mayat bayi itu mendaku sebagai puisi. Puisi yang tak kunjung selesai. Dan mengingatkan saya pada rencana awal Pan dan Tek yang juga belum menulis puisi barang sekata. Dengan demikian, tampaklah satu pertalian antara mayat bayi dan puisi dalam teks. Keduanya sama-sama tak selesai.
Ketika mayat bayi, bangkai satwa, dan tahi manusia itu semakin jauh, pan & tek tertawa melihat jawab hanyut menjauh dari tanya,/mengetahui bahwa hidup ternyata masih begitu juga./. Mengapa puisi yang tak kunjung selesai dipadupadankan dengan mayat bayi? Benarkah yang tak kunjung selesai itu sama dengan mati? Pertanyaan ini, sebagaimana dalam tawa Pan dan Tek, jawab telah hanyut dari tanya dan hidup barangkali juga adalah pertanyaan itu sendiri. Tanya hanyalah tanya, sedang tuak boleh jadi habis tak bersisa. aza/nsub/uhpun/berkum/andang dan menutup kisah keduanya pada sesi pertama.
Kemudian Pan dan Tek kembali dalam “pan & tek ii”. Mereka tengah memanen jamur ajaib dari beronggok-onggok cirit sapi matang: mukjizat cirit sapi mampu mengacaukan iklim/dan menenggelamkan dunia dengan pasang laut. tapi tidak bagi pan & tek./. Sungguh mantap hubungan keduanya sampai dapat mengelabui iklim dan pasang laut! Jika sebelumnya kisah Pan dan Tek menghadirkan tuak suling sebagai unsur gastronomi, kali ini ialah jamur ajaib dan madu surga—yang boleh jadi tuak suling yang sama atau minuman keras memabukkan lainnya—sebagai makanan dan minuman di luar logika negara. Selain unsur gastronomi, unsur kesenian juga hadir dalam bentuknya yang lain: himne pujangga hippie.
Seturut itu, di gubuk yang berdinding spanduk, Pan dan Tek mengadali potret bersenyum robek itu. Senyum yang robek itu, boleh jadi representasi dari banyak omong, dan banyak omong kerap berarti sedikit mendengar. Di sini kisah Pan dan Tek mendapat imbuhan unsur baru: politik elektoral. Spanduk baliho kampanye lima tahun sekali dipampang untuk menempati posisi penting dalam struktur organisasi negara. Spanduk itu berada di luar logika Pan dan Tek atau barangkali karena mereka tak peduli sama sekali. Sebab, jamur ajaib yang keduanya santap dengan jiwa setenang angin malam membelai mata itu, menggenapi kehendak untuk memaksimalkan efeknya. Alhasil, cakra mereka telah berlepasan ke angkasa,/menjadi udara, menyatu dengan semesta./ sehingga membuat keduanya mencapai puncak spiritual dan menyatu dengan alam. Terdengar napas hutan tersengal-sengal dalam jargon “go green” yang mendukung tambang penghancur alam.
Berangsur dalam “pan & tek iii”, tak ada puisi atau himne pujangga hippie, spanduk tampil dalam wujudnya yang lain, sedangkan unsur gastronomi masih senantiasa hadir dalam kisah mereka; kali ini berwujud kelapa. Setelah malam-malam yang kurang makan, Pan dan Tek kembali bertemu di Kota Pantek. Keduanya menolak untuk menulis puisi atau bernyanyi, ”tidak kenyang perutku dengan bernyanyi.”/”apalagi berpuisi.”/. Mereka memutuskan untuk ke pantai dan memanjat batang kelapa. Di tengah upaya mengatasi lapar, baliho wali kota tersenyum: ”senantiasa sejahterakan rakyat”./. Apakah sejahtera berarti kurang makan, asam lambung, gigi berlubang, dan influenza? Tak masuk akal. Pan dan Tek melempari kepala wali kota dengan batok kelapa. Peristiwa ini menyatakan alasan lain kehadiran kelapa sebagai unsur gastronomi. Terdapat semacam permainan kata antara “kelapa” dan baliho milik calon “kepala” suatu kota.
Memang kisah Pan dan Tek dalam kumpulan puisi ini terbatas pada tiga episode, tetapi pada suatu malam,/mereka akan bertemu lagi di kota pantek yang lain./tunggu saja./.
Kisah-kisah Pan dan Tek yang dibalut beberapa unsur menjadikannya cukup kaya. Katakan saja unsur seni (puisi dan himne pujangga hippie) dan politik (spanduk dan baliho) hadir berjalin kelindan dalam kisah mereka, menjadikannya utuh sebagai satu rangkaian. Lalu, unsur gastronomi yang hadir secara konsisten menempati posisi sentral dalam peristiwa teks. Sebab, andai kata unsur itu dicabut, pembacaan atas teks mungkin akan gonjang-ganjing dan peristiwa menjadi rumpang. Lewat tuak, jamur ajaib, dan kelapa, Pan dan Tek mendaras persoalan-persoalan fundamental, bahkan kerap kali pada taraf yang filosofis. Boleh jadi dialog dengan mayat bayi takkan terjadi tanpa tuak suling; mungkin saja napas pohon yang tersengal tak sekali pun dapat terdengar tanpa jamur ajaib; barangkali mereka tak akan melempar kelapa ke kepala wali kota jika apa yang tertulis di baliho itu benar belaka. Akhirnya, gastronomi tak hanya sekadar gastronomi, ia menjelma gastrosofi yang reflektif sekaligus kontemplatif, jujur juga bijaksana.
Mija, kadang aku merasa bahwa puisi yang bergelimang sumpah serapah adalah kejujuran yang pahit, juga keindahan yang membuatku melayang tanpa lupa daratan.
Muhammad Jibril atau Jai menamatkan studi Sastra Indonesia di Universitas Airlangga. Saat ini bergiat di komunitas Titik Nol.
Editor: Ikrar Izzul Haq