Menu

Mode Gelap
Festival Sastra-Sains 2025, Epistemologi Maut dan Cinta Tentang Roh dan Seks Park dan Roman Klise Mencari Surga dalam Peta Perihal Puisi dan Gejala Kematian Sejarah One Piece, Nika, dan Genderang Pembebasan

Esai Budaya

Taoisme dan Politik Indonesia


					Foto oleh Ikrar Izzul Haq/Sivitas Kothèka Perbesar

Foto oleh Ikrar Izzul Haq/Sivitas Kothèka

Suatu kali, di sebuah warung kopi, di tengah-tengah para penikmat kopi turkish, saya pernah mendengar ungkapan “nihil sub sole novum” dari Bung Royyan. Kala itu, saya tidak begitu peduli sebelum ia menerjemahkannya sendiri. Namun, selang beberapa hari, ungkapan itu kembali disampaikan di depan tiga puluh lima mahasiswa ketika Bung Royyan mengajar di kelas kritik sastra. Saya ingat betul. Entah pembaca akan menyebut ini tulisan apa. Jika tulisan Fatris M.F. dan Asief Abdi digolongkan sebagai catatan perjalanan, atau berjalan sambil mencatat seperti M. Faizi, saya menyebut tulisan ini sebagai catatan pribadi. Seperti yang dikatakan Bung Royyan beberapa hari lalu di tengah-tengah percakapannya dengan Mbak Sasti Gotama melalui gawai: Esai harus bersifat personal.

Alasan saya mengutip nihil sub sole novum bukan tanpa alasan. Sebab, saya sedang membaca buku Sejarah Filsafat Cina. Nihil sub sole novum kurasa sesuai dengan filsafat Cina. Dalam buku tersebut saya menemukan polemik antara dua mazhab. Bertentangan, tapi juga kerap beriringan, baik secara ideologi maupun praktis-politis. Dalam ideologi kedua mazhab tersebut, saya juga kerap menemukan persamaan. Katakanlah salah satu mazhab tersebut, Konfusianisme, yang memang cukup terkenal di kalangan intelektual. Ideologi yang diwartakan Konfusianisme menitikberatkan pada hubungan sesama manusia. Hal ini sama dengan mazhab yang lain, yaitu Taoisme. Saya akan membincangkan kedua mazhab tersebut, dari perspektif politis yang akan saya tarik ke arah keindonesiaan. 

Pengikut Konfusius lebih mengedepankan ajaran tentang hubungan sosial yang baik dan cara menjadi pemimpin yang bijaksana—sama halnya dengan Taoisme. Dalam semboyan Konfusianisme, khususnya Mensius, manusia harus mengedepankan hubungan yang baik  dengan manusia lain. Dari hubungan baik itulah kesatuan dapat terjalin. Lalu, dalam hal kepemimpinan, bagi Mensius, seorang pemimpin harus bijaksana, dan kebijaksanaan tersebut terbentuk dari hubungan yang dijalin baik dengan orang lain. Ideologi yang tidak jelas dan kepemimpinan yang absurd seperti di Indonesia cenderung bertolak belakang sebagaimana ideologi Konfusianisme bertabrakan dengan Taoisme dalam segi praktis-politis. 

Sementara itu, Mazhab Mao Tzu memperoleh kepemimpinan dengan cara menundukkan orang-orang dengan kekerasan, atau istilah para aktivis: tunduk kepada atasan. Saya pikir Mazhab ini menarik diperkenalkan karena sistem kepemimpinan di Indonesia dan Mao Tzu nyaris sama. Sama-sama kolot. 

Mazhab Mo Tzu dikenal dengan istilah yu hsieh yang berarti “satria kelana.” Para pengikut Mo Tzu merupakan prajurit-prajurit Dinasti Chou—dikenal sebagai dinasti feodal yang runtuh sejak abad ke-3 M—yang kehilangan kedudukan serta gelarnya. Setelah kehilangan segalanya, mereka menyebar dan siap menjadi pelayan siapa pun yang sudi mempekerjakannya. Selain itu, dalam konsep sebuah negara, Mo Tzu mengajarkan, lebih kurang: sebuah negara harus totaliter dan otoritas penguasanya bersifat mutlak. Bagi Mo Tzu, fungsi utama sebuah negara—sekaligus pemimpinnya—adalah untuk menyatukan standar. Terkesan memaksa. Tapi tak apa. Namanya juga bekas pendidikan feodal. 

Jika sebelumnya saya sudah bilang bahwa ajaran Konfusianisme menitikberatkan pada hubungan antara sesama manusia dan kepemimpinan, sekarang saya akan memaparkan ajaran Taoisme karena bagi saya unik, atau lebih tepatnya lucu dalam konsep kepemimpinan. 

Bagi Konfusianisme, ketika menjadi penguasa, seorang bijaksana harus melakukan banyak hal untuk rakyatnya. Hal ini berbanding terbalik dengan Taoisme. Bagi aliran Taoisme, khususnya bagi Lao Tzu, kewajiban penguasa bijaksana bukan melakukan banyak hal, tetapi sama sekali tidak melakukan apa pun. Mau ikut yang mana? Konfusianisme atau Taoisme? Kalau saya sendiri, tidak tahu.

Taoisme menganjurkan penguasa tak melakukan apa pun bukan tanpa sebab. Ia berkata bahwa sebuah masalah muncul bukan karena kita tidak melakukan apa-apa. Masalah hadir karena terlalu banyak hal yang kita kerjakan. Lao Tzu juga berkata bahwa semakin banyak rakyatnya memiliki senjata tajam, sebuah negara akan semakin kacau. Makin banyak terdapat perajin yang cerdik, makin banyak pula rekayasa busuk.

Saya setuju dengan dua ilustrasi Lao Tzu tersebut. Saya membayangkan, ketika menulis karyanya, Lao Tzu sedang meramalkan masa depan dunia yang penuh dengan peperangan. Di Indonesia? Aparat bersenjata menggilis habis rakyat yang melawan—ingat Mazhab Mo Tzu. 

Lalu, pendapat kedua Lao Tzu tentang rekayasa busuk kini kian marak terjadi seiring berkembangnya zaman. Saya curiga, serial Doraemon terinspirasi dari filsafat Lao Tzu. Rekayasa busuk sepertinya tidak hanya berdampak terhadap perajin yang ahli, tetapi juga pada ranah akademik. Lihat saja kasus-kasus plagiasi di kalangan akademisi saat ini, bahkan di ranah seni yang konon disayang Tuhan karena indah, juga terkena dampak ramalan Lao Tzu. Katakanlah dalam dunia sastra, atau lebih khusus lagi, puisi. Penyair masyhur seperti Chairil Anwar pun pernah terjerat kasus plagiasi. Sesuai ramalan Lao Tzu, bukan?

Selain itu, saya juga menemukan kutipan Lao Tzu di karya Fung Yu-Lan yang bagi saya begitu menyakitkan karena mirip situasi kepemimpinan di Indonesia. Kutipan ini seakan-akan memberi standar bahwa sosok pemimpin harus memiliki watak seperti anak-anak. Karena baginya, anak-anak lebih dekat dengan kehidupan yang ideal. “Manusia bijaksana seperti anak-anak.” Pemimpin bijaksana “tidak menjadikan mereka memperoleh pencerahan, melainkan membuat mereka tetap dalam keadaan tidak berpengetahuan.” 

Ngeri, kan? Sama dengan keadaan di Indonesia, kan? Coba saja lihat harga buku yang mahal karena pajaknya yang tinggi. Jadi ingat ucapan Bung Royyan saat di warung kopi, “Rakyat Indonesia memang sengaja dibuat bodoh karena tidak bisa beli buku yang mehong karena pajaknya yang melambung tinggi.” Akhirnya, pemimpin yang sok bijak datang menawarkan makan siang gratis—yang bagi saya cuma modus baru untuk menundukkan rakyat, bahkan dengan kekuatan militer, seperti Dinasti Chou yang terkenal feodal.

Wardedy Rosi merupakan mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia di Universitas Madura dan Koordinator Koloman Budaya di Sivitas Kothèka. 

Editor: Ikrar Izzul Haq

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Tentang Roh dan Seks

27 September 2025 - 11:52 WIB

Foto oleh Asief Abdi/Sivitas Kothèka

Mencari Surga dalam Peta

20 September 2025 - 13:00 WIB

Foto oleh Asief Abdi/Sivitas Kothèka

Perihal Puisi dan Gejala Kematian Sejarah

17 September 2025 - 12:00 WIB

Banyak dibaca di Esai Budaya