Menu

Mode Gelap
Festival Sastra-Sains 2025, Epistemologi Maut dan Cinta Tentang Roh dan Seks Park dan Roman Klise Mencari Surga dalam Peta Perihal Puisi dan Gejala Kematian Sejarah One Piece, Nika, dan Genderang Pembebasan

Esai Budaya

Taman Nara, Tua dan Perkasa


					Foto oleh Sasti Gotama/Sivitas Kothèka Perbesar

Foto oleh Sasti Gotama/Sivitas Kothèka

“Shisigami” desis saya, begitu disambut rusa besar yang membungkuk anggun di hadapan saya. Makhluk anggun berwarna cokelat penghuni Taman Nara itu memang mengingatkan saya kepada Shisigami, sang dewa rusa di film Mononoke Hime produksi Studio Ghibli. Namun, tiba-tiba si rusa berubah agresif, menyeruduk ke arah saya, seperti Shisigami ketika kepalanya terpenggal yang membuatnya menjadi nightwalker kejam. Rupanya si rusa berusaha merebut es krim dalam genggaman saya.

“Nggak boleh kasih es krim, lo, Mbak,” cetus Putri, adik saya, dengan kalem. Tanpa dia bilang, saya juga tak sudi menyerahkan es krim lezat itu. “Kalau Mbak mau kasih makan, bisa beli di sana,” lanjutnya sambil menunjuk sudut taman, tempat seorang nenek bertopi biru menjual kerupuk rusa atau shika senbei.

Namun, nenek itu menggeleng, menolak setumpuk uang logam yang saya bayarkan untuk sepaket shika senbei.  Rupanya di antara uang logam itu terselip koin yuan sisa dari Fuzhou kemarin. Ia baru menyodorkan sepaket kerupuk rusa bulat berwarna cokelat—yang terbuat dari beras dan gandum—setelah hitungan koin itu pas sejumlah 200 yen.

Sembari merapatkan mantel usai diendus udara kaki Gunung Wakakusa bertemperatur 13 derajat, saya menebarkan pandangan ke segala penjuru taman yang telah berdiri sejak tahun 1300-an itu. Padang rumput yang belum sepenuhnya tertutupi hijau rumput musim semi itu berhias pokok-pokok sakura yang memekarkan mahkota putih hingga merah muda. Rusa-rusa jinak, berkeliaran dengan santai sambil sesekali menebarkan tahi bulat di rerumputan. Bila melihat pengunjung mendekat, sebagaimana rusa yang menyambut saya di gerbang taman, mereka akan membungkuk dengan khidmat.

Rusa yang membungkuk ketika meminta shika senbei 

Rusa-rusa itu memang terlatih untuk membungkuk ketika meminta shika senbei dari para pengunjung. Meski begitu, selalu ada anomali terkait perilaku anggota kingdom animalia. Sebetulnya, sebelum itu, ketika berada di kereta Yamatoji Line yang mengantarkan saya dari Shin Imamiya ke Nara, saya telah diperingatkan. “Jangan langsung menunjukkan setumpuk shika senbei ke rusa-rusa itu. Ada kalanya mereka langsung menubrukmu. Potong saja menjadi beberapa bagian. Dan nanti, jika kerupukmu telah habis, angkat kedua tanganmu, dan perlihatkan kedua telapakmu kepada si rusa,” ucap pemuda berambut pirang yang duduk di seberang saya dengan bahasa Inggris beraksen Australia. “Jika tidak, rusa-rusa itu akan terus mengejarmu,” pungkasnya sambil nyengir. Dan ketika sampai Taman Nara, saya melupakan sepenuhnya petuah yang pertama. 

Begitu melihat setumpuk shika senbei—yang rasanya seperti krepes gosong—di tangan saya, sepasang rusa berhidung basah mengejar-ngejar saya. Salah seekornya berhasil merebut kerupuk dari tangan saya sekaligus memberi sedikit bonus berupa jilatan lidah basah, padahal ia belum membungkukkan badan seperti rekan-rekan rusa lainnya ketika memohon shika senbei.  Walhasil, dalam sekejap, shika senbei saya habis. Untungnya saya ingat untuk mengangkat telapak tangan sehingga rusa-rusa itu pun menjauh sambil mendongakkan kepala seolah tidak butuh.

Keangkuhan si rusa itu sangat beralasan. Menurut hikayat setempat, dewa Takemikazuchi no Mikoto datang ke Nara dengan menunggangi rusa putih. Karena rusa-rusa putih di taman Nara itu dianggap keturunan sang rusa putih dewa, maka mereka pun dianggap suci. Bila ada yang berani membunuh rusa-rusa itu, akibatnya pun fatal: hukuman mati. Untungnya, aturan itu hanya berlaku sampai tahun 1637. 

Namun sejujurnya, bukan perkara rusa yang paling menarik perhatian saya di Taman Nara. Akan tetapi keberadaan para petugas penjual shika senbei—setidaknya yang saya temui—telah lanjut usia. Tak hanya di sana, di tempat-tempat lain pun dengan mudah saya menemui pegawai lanjut usia, seperti di bus, di stasiun, di pusat informasi turis, hingga di supermarket-supermarket. Padahal, saya yakin, bila eyang-eyang tersebut berada di Indonesia, besar kemungkinan mereka dianggap kedaluwarsa dan bakal susah mendapatkan pekerjaan resmi seperti yang mereka dapatkan sekarang. 

Di negara kita, lowongan kerja seringkali diisi pekerja muda, berpenampilan menarik, belum menikah, punya beking orang dalam, mahir tali-temali, dan menguasai elemen api. Orang-orang tua diminta minggir dari gelanggang kekaryaan. Kalaupun ada yang masih nekat bekerja, biasanya menimbulkan pertanyaan dari khalayak: mengapa masih tega disuruh bekerja oleh anak-anaknya, bukannya beristirahat di rumah dan fokus beribadah demi mempersiapkan diri menghadapi malaikat maut.  

Inklusivitas agaknya tak hanya menjadi slogan di Jepang. Semua bisa berkarya, tanpa dibatasi usia. Sesuatu yang agaknya sulit dilaksanakan di negara kita. Namun, bagaimana lagi? Negara kita surplus penduduk yang tak diimbangi dengan surplus kualitas. Jadi, mau tak mau, harus ada seleksi alam ala Darwin di belantara kekaryaan. Sayangnya, kesintasan tak berpijak pada kesetaraan, tetapi sebatas penampilan, koneksi orang dalam, dan usia muda.

Namun, memang harus diakui, orang-orang tua di sana, sebagaimana juga sang nenek penjual shika senbei, masih tampak begitu bugar. Bahkan, saya tak melihat ia duduk selama berjualan. Ia memilih berdiri, sebagaimana Hemingway yang melakukan hal serupa selama menulis. Saya jadi teringat seorang kakek yang saya temui di kereta lokal menuju Shin-Osaka.  Ia menolak dengan halus ketika saya persilahkan duduk di tempat saya. Berdiri baginya bukan keterpaksaan, tetapi pilihan. 

Nenek penjual shika senbei/Sasti Gotama

Sama halnya ketika para eyang ini memilih tetap bekerja. Agaknya itu mereka pilih dengan sadar. Dan niat ini disambut dengan baik oleh pemerintah karena saat ini Jepang kekurangan tenaga kerja bersebab menurunnya angka kelahiran. Akibatnya, seperempat tenaga kerja Jepang diisi kelompok pensiunan. 

Dugaan saya terjawab tuntas oleh Kakek Muto—begitu ia memperkenalkan diri—yang kala itu ber-hanami-ria di bawah pokok sakura. “Di sini, selama kita sehat, kita boleh bekerja, dan dengan bekerja, kita tetap sehat,” ucapnya dalam bahasa Jepang, yang diakhiri dengan senyum lebar yang menampakkan gigi-giginya yang renggang. Saya mengangguk-angguk mengamini ucapannya, karena memang, dengan terus bekerja, itu berarti kita terus memaksa sel-sel kelabu otak kita terus bekerja dan dengan demikian mencegah demensia. Saya jadi teringat Hayao Miyazaki, pendiri Studio Ghibli, yang masih terus berkarya di usia 84 tahun. 

Kakek Muto berkisah, bahwa di usia 77 tahun ini, ia memilih tinggal sendiri di Okayama. Di waktu luangnya, ia memilih berjalan-jalan menikmati keindahan alam, apalagi di musim semi seperti ini, kala sakura mekar sempurna. Sehari-hari ia tidak ingin membebani anak-anaknya, apalagi menjadikan mereka generasi sandwich. Sebisa mungkin ia hidup mandiri. Karena itu, kesehatan adalah syarat nomor satu, sebagaimana yang ia doakan kepada saya ketika berpisah: “Sayonara. Ogenki desu,” yang berarti selamat tinggal, semoga sehat selalu. 

Ucapan kakek Muto terus terngiang di telinga sepanjang saya melangkah menuju Gerbang Besar Selatan atau Nandaimon yang konon merupakan pintu gerbang terbesar di Jepang. Saya tak berbelok ke arah Kuil Todaiji karena kaki saya sudah pegal dan saya ingin segera pulang lewat gerbang selatan. Untung, adik saya sempat mengabadikan kuil tersebut. 

Saya jadi malu, membandingkan diri sendiri dengan para lansia Jepang. Kesehatan agaknya menjadi harta paling berharga bagi mereka. Karena itu, berjalan atau bersepeda menjadi kebiasaan demi mencapai kebugaran. Anak tangga puluhan jenjang tak menjadikan nyali mereka ciut. Tak jarang saya saksikan eyang-eyang bertongkat dengan mantap menaiki satu demi satu anak tangga kuil tanpa mengeluh.

Ketika sampai di pelataran Nandaimon, saya berhadapan dengan gerbang besar yang dibangun pada periode Kamakura. Meski terbuat dari kayu-kayu tua berusia ribuan tahun, gerbang itu tak terlihat rapuh, malah sebaliknya, tampak perkasa. Apalagi di kanan kiri gerbang, yang memiliki tiga pintu besar itu, berdiri kokoh sepasang patung kayu dewa pelindung berukuran 8,4 meter yang disebut Kongo Rikishi atau Nio-sama. Patung dengan mulut tertutup disebut patung Ungyo, sedang yang mulutnya terbuka disebut patung Agyo. Keduanya menambah kegagahan Gerbang Besar Selatan. 

Saya mendongak, sekali lagi takjub dengan sambungan balok-balok kayu besar yang menembus tiang kolom. Kuda-kuda kayu tua terlihat kokoh di langit-langit yang terbuka. Meski semua kayu penyusun gerbang terlihat antik dan tua, saya tak takut berdiri tegak di bawahnya. Entah mengapa, gerbang itu mengingatkan saya kepada para lansia di Jepang, yang bugar, kuat, dan berdaya. Kelak, saya ingin seperti mereka.

Sasti Gotama adalah dokter sekaligus penulis prosa fiksi. Karya-karyanya pernah menjadi buku sastra pilihan Tempo 2024 dan 2020, pemenang pertama hadiah sastra RASA 2022, cerpen pilihan Kompas 2020 dan 2023, pilihan juri sayembara novel DKJ 2023, dan pemenang kedua sayembara naskah teater DKJ 2024.

Editor: Putri Tariza

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Tentang Roh dan Seks

27 September 2025 - 11:52 WIB

Foto oleh Asief Abdi/Sivitas Kothèka

Mencari Surga dalam Peta

20 September 2025 - 13:00 WIB

Foto oleh Asief Abdi/Sivitas Kothèka

Perihal Puisi dan Gejala Kematian Sejarah

17 September 2025 - 12:00 WIB

Banyak dibaca di Esai Budaya