Dalam kerja kreatifnya, ludruk tidak sebatas menampilkan sandiwara panggung. Ludruk juga menyuguhkan kidung, tari-tarian, musik gamelan, hingga lukisan dekorasi dan desain panggung itu sendiri. Dengan demikian, daya pikat teater rakyat Jawa Timur yang beraliran realis ini menjadi komplet dan harmonis. Tak heran bila ludruk masih jadi tontonan primadona bagi masyarakat, kendatipun keberadaannya kini mulai langka.
Secara garis besar, pertunjukan ludruk identik dengan tiga segmen penampilan. Dibuka dengan tarian tradisional, dilanjutkan sesi dagelan, kemudian dipungkasi sebuah drama tragedi-komedi yang lakonnya diangkat dari legenda, sejarah, ataupun cerita sehari-hari yang tak lain representasi dari kebiasaan/kehidupan masyarakat. James L. Peacock, Antropolog Amerika yang pernah meneliti ludruk pada tahun 1963-1964, mengafirmasi bahwa ludruk adalah cermin akurat kehidupan warga setempat dibandingkan film-film Amerika terhadap penduduknya (Ismail, dkk., 2023).
Di luar naskah lakon yang dipentaskan, lazimnya ludruk juga menawarkan babak cerita lain apabila pementasan itu diadakan dalam rangka perayaan tradisi tertentu, seperti rokat pandhaba (ruwat pandawa?) dan rokat tase’ (petik laut). Maka, isi cerita dari penampilan apendiks itu beririsan dengan tradisi yang tengah dirayakan dengan bertumpu pada akar historisnya. Ini menjadi nilai plus bagi ludruk yang turut mengapresiasi pelestarian tradisi, sekaligus membuktikan bahwa ludruk tampak sangat merawat warisan kultural Jawa Timur.
Selain itu, lawakan dan sandiwara ludruk cenderung menyodorkan pelajaran atau hikmah kepada penontonnya. Di sini ludruk hadir tidak semata memberi hiburan, tapi—mengutip parafrasa usang—ia hadir sebagai tontonan sekaligus tuntunan. Tak jarang bahkan, sepenggal ungkapan tertentu yang pernah diucapkan seorang pelawak/aktor ludruk dijadikan pemeo oleh masyarakat dalam percakapan sehari-hari, yang demikian punya kekuatan makna atau menimbulkan pengaruh tersendiri (Umam, 2022).
Kilas Sejarah Ludruk
Disaring dari Jawoto & Sunarno (2010) dan Bayu (2013), Depdikbud Jawa Timur mencatat jumlah grup ludruk pernah mencapai angka 789. Mulanya ludruk lahir di Jombang pada tahun 1890 dan mengalami pendewasaan pesat di Surabaya. Sebelumnya cuma berupa ngamen dan jogetan, kemudian ditransformasikan menjadi bentuk seni yang berisi parikan dan dialog spontan. Barulah di almanak 1922 kian berkembang dengan masuknya unsur-unsur cerita.
Digandrungi semua strata kelas sosial, ludruk juga didirikan sekaligus dimainkan oleh berbagai kalangan. Mulai dari rakyat kecil, anak sekolah, mahasiswa, hingga orang-orang partai. Dalam perjalanannya, ludruk telah melintasi era penjajahan, Orde Lama, Orde Baru, dan masih tegak mencagak sampai hari ini. Suka-duka tentu saja tak lepas dari petualangan panjangnya itu. Terlebih, di samping menjalankan fungsi utamanya sebagai hiburan rakyat, ludruk diperalat sejumlah pihak untuk mencapai kepentingan-kepentingan politis.
Di masa kolonial, misalnya, ludruk dikenal sebagai jembatan kritik sosial terhadap pemerintah. Salah satunya dilakukan oleh ludruk yang didirikan Cak Durasim pada tahun 1933. Ludruk berlakon ini terdengar berani, kritis, dan berupaya menanamkan rasa nasionalisme di jiwa para penontonnya untuk mempersiapkan kemerdekaan. Puncaknya, Cak Durasim bersama kawan-kawannya ditangkap serdadu Jepang, sebelum akhirnya diketahui bahwa Cak Durasim meninggal dalam tahanan pada 7 Agustus 1944 (Jawoto & Sunarno, 2010).
Ludruk juga pernah dijadikan corong PKI untuk menggalang massa dan menyuarakan pemberontakan. Sampai-sampai PKI mendirikan ludruk sebagai alat propaganda kekuatan politik di mana kemunculannya sengaja dipertentangkan dengan ludruk binaan tentara (ABRI). Lalu, setelah peristiwa G30S, anggota ludruk asuhan partai komunis itu ditangkap, dipenjara atau bahkan dilenyapkan. Bersamaan dengan itu ludruk pun dicap komunis. Inilah yang membuat ludruk mati suri dalam rentang waktu 1965-1968 (Jawoto & Sunarno, 2010).
Barangkali memang belum saatnya untuk ditelan bumi, ludruk kembali dibangkitkan oleh pemerintah Orde Baru dengan terlebih dahulu mencari para seniman secara selektif, yang dianggap bersih dari pengaruh PKI/Lekra. Di sini fungsi ludruk lagi-lagi bergeser. Upaya menghibur tentu tetap ditonjolkan sebagai fungsi utama seni. Tetapi yang tak kalah penting, ludruk menjadi sarana signifikan guna menyosialisasikan program-program pemerintah, seperti Keluarga Berencana (KB), swasembada pangan, proyek pembangunan, dan lain-lain (Bayu, 2013).
Menghadapi Tantangan Zaman
Bagaimanapun, dari tahun ke tahun populasi grup ludruk terus menyusut. Masa keemasannya perlahan pudar seiring kemajuan zaman dan teknologi digital. Kehadiran ludruk yang tersisa sebisa mungkin mempertahankan diri di tengah kepungan industri budaya pop dan hiburan Barat. Lantaran itulah, dalam sejumlah literatur, para pemerhati ludruk merasa gamang, khawatir jika kesenian yang turut mewarnai peradaban ini harus punah di kemudian hari.
Saya sendiri masih menyimpan prasangka baik. Berdasarkan apa yang saya amati di Madura, nyatanya ludruk masih tetap eksis dan tidak pernah sepi peminat. Setidaknya ada empat grup ludruk di Sumenep yang dapat dijadikan objek tontonan sebagai pelarian dari kemonotonan hidup. Salah satunya, yang tertua, berdiri sejak 1945. Dengan kata lain, perbawa ludruk belum sepenuhnya redup. Walaupun terbilang minim secara kuantitas, tetapi masih sangat digemari masyarakat dan laris-manis secara komersial.
Jika di masa lampau ludruk menggelar pertunjukan dengan memungut penghasilan dari karcis yang diperjualbelikan kepada penonton, sekarang tidak lagi. Ludruk hanya menerapkan sistem tanggapan dan dari situlah para senimannya mendapatkan upah. Musim kemarau merupakan waktu yang gemilang bagi ludruk. Karena sepanjang masa beringsang itu, jadwal manggung begitu padat. Bahkan, mungkin, (nyaris) tiada hari tanpa pentas.
Baik di Madura maupun di wilayah Tapal Kuda, ludruk masih sangat percaya diri menebar pesona. Di pelosok-pelosok desa yang saya kunjungi, di mana seni pertunjukan itu digelar, penonton selalu tumpah ruah. Masyarakat dengan semua tingkat usia berkumpul di atas sebidang tanah terbuka, dipersatukan oleh hawa dingin malam dan hangatnya jamuan kesenian yang barangkali kelak bakal mereka rindukan.
Melihat fenomena tersebut, ludruk belum dililit mimpi buruk. Apalagi ludruk sadar akan perkembangan teknologi. Ini tampak dalam aktivitasnya saat manggung, misalnya penggunaan alat musik modern seperti piano, gitar akustik, dan ketipung elektrik sebagai pelengkap sekaligus pendukung bunyi gamelan. Selain itu ludruk tidak pula menutup mata terhadap peran media sosial. Kalau dulu ludruk mendokumentasikan pementasannya dalam kaset CD untuk dipasarkan, kini ludruk cukup mengunggah hasil rekamannya ke kanal YouTube dan TikTok.
Dengan pemanfaatan beberapa sarana modern itu, sadar atau tidak, ludruk tengah melakukan perlawanan terhadap serangan aneka hiburan kontemporer. Namun tidak cukup sampai di situ. Seiring perguliran waktu, ludruk harus terus berbenah, memperbarui atau menambah properti dan perlengkapan lainnya, meningkatkan kualitas penampilan, serta tak ragu untuk terus beradaptasi dengan perkembangan zaman.
Yang perlu menjadi koreksi kemudian adalah posisi kita selaku penonton, penggiat seni, pemangku budaya, pemerintah setempat, serta masyarakat secara umum. Kebertahanan ludruk sampai hari ini seyogianya menjadi kesadaran kolektif untuk mendukung dan merawat kelestariannya. Sebab, tanpa dukungan serius dari berbagai pihak, eksistensi ludruk bisa jadi terkucil dan umurnya akan memendek. Maka tidak berlebihan kiranya, bila saya membayangkan kepunahan ludruk bukan karena tergerus oleh industri budaya populer, melainkan karena kelalaian masyarakatnya sendiri.
Senarai Pustaka
Bayu, Eveline Y. 2013. Jejak-Jejak Ludruk. Surabaya: CV. Garuda Mas Sejahtera.
Ismail, dkk. 2023. Pentas Ludruk yang Menolak Mati. Jakarta: TEMPO Publishing.
Jawoto dan Sunarno. 2010. Mengenal Kesenian Nasional 4 Ludruk. Semarang: ALPRIN.
Umam, Daviatul. 2022, 1 September. Ludruk, Tetap Lestari di Tengah Kepungan Modernisasi. Diakses dari https://alif.id/read/davu/ludruk-tetap-lestari-di-tengah-kepungan-modernisasi-b245199p/
Daviatul Umam menulis puisi dan prosa. Bergiat di Komunitas Damar Korong, Sumenep.
Editor: Asief Abdi