“Lihatlah apa yang telah kuciptakan. Aku telah membuat api!” teriak lantang Chuck Noland (Tom Hanks) di salah satu adegan film Cast Away saat ia berhasil menyalakan api dalam keterasingan. Di sebuah pulau tak berpenghuni, setelah berhari-hari terdampar seorang diri, ia girang bukan main, bahkan mengabadikan wajah api tersebut dengan bekas darah di telapak tangannya pada sebuah bola voli yang juga bernasib sial seperti dirinya.
Pada abad ke-6 SM, Heraclitus mengatakan dalam fragmen filsafatnya, “Tatanan dunia ini sama bagi semua orang. Tidak diciptakan oleh Tuhan atau manusia mana pun, namun selalu ada dan akan selalu menjadi api; menyala sesuai batas tertentu dan padam sesuai batas tertentu.” Pernyataan ini setidaknya menandakan bahwa api bukan sekadar penemuan teknis, melainkan juga metaforis. Artinya, dalam kronik kehidupan, api tidak menegaskan fungsi material semata, tapi juga makna filosofis dan esensial.
Api tak hanya menandai kesadaran Homo erectus atas transformasi zat dan tekstur makanan oleh energi panas, tetapi juga menandai babak baru evolusi pemikiran dan kebudayaan. Di balik nyala api yang telah berkobar selama lebih dari sejuta tahun, ada sebuah kronik panjang manusia dalam menata alam, memahami kosmos, dan menegaskan identitasnya. Keberadaan api telah mengilhami manusia untuk menciptakan teknologi, seni, dan ritual. Ia merefleksikan perjalanan intelektual dan spiritual anak Adam.
Dalam tradisi purba, api menjadi penghubung antara alam material dan spiritual. Dalam mitologi Yunani, Prometheus mencuri api dari para dewa dan memberikannya kepada manusia—sebuah tindakan visioner pemberdayaan manusia oleh teknologi dan akal budi. Demikian pula dalam tradisi Hindu, api menjadi sarana utama dalam upacara yajna, yang menghubungkan jagat manusia (sekala) dengan jagat para dewa (niskala). Api dianggap sebagai wahana doa dan persembahan, mengantar roh-roh murni menuju dimensi yang lebih tinggi. Tradisi ini menekankan peran api sebagai mediator, tidak cuma dalam ranah material seperti memasak, tetapi juga dalam ritus spiritual yang menjaga keseimbangan kosmos.
Tradisi dan Gastronomi
Api, sebagaimana Homo erectus memanfaatkannya pertama kali, menunjukkan vitalitasnya pada setiap langkah besar dalam sejarah manusia, dari pembangunan kota-kota kuno hingga industri modern. Ia mengubah batu menjadi logam yang kemudian digunakan orang untuk menaklukkan alam. Api menjadi sarana transformatif, baik dalam konteks kebudayaan spesifik seperti di dapur, maupun dalam peradaban secara luas.
Vitalitas api dalam kronik peradaban manusia juga sejajar dengan potensi destruktif yang dimilikinya. Api dapat merusak dan menghancurkan, sebagaimana bencana alam yang mampu meluluhlantakkan peradaban. Kebakaran hutan, letusan vulkanik, dan kecelakaan industri yang melibatkan si jago merah memperingatkan umat manusia bahwa unsur liar yang satu ini, meskipun bisa dijinakkan dan dikuasai, selalu menyimpan ancaman kehancuran. Oleh karenanya, antroposentrisme tetap percaya bahwa api dan segala energi di bumi butuh kendali manusia.
Api berwajah paradoks: menciptakan sekaligus menghancurkan, memelihara sekaligus merusak. Dalam aspek-aspek yang lebih dalam, api sering dipuja sebagai simbol kehidupan dan kematian, semangat yang tidak pernah padam, juga ancaman yang menghantui. Kaum Zoroaster melihat api sebagai kebenaran dan kemurnian. Api yang terus menyala di altar-altar mereka sejak lebih dari 1.500 tahun silam bukan sekadar wujud fisik, melainkan juga sasmita kehadiran Tuhan, Zat Yang Maha Terang-benderang.
Di zaman modern, api tetap eksis sebagai unsur tak tergantikan dalam praktik gastronomi. Api memperhalus rasa, tekstur, dan menyempurnakan nutrisi dari bahan pangan yang disediakan alam. Memasak, pada dasarnya, merupakan proses alkimia di mana api menjadi elemen transformatif yang mengubah bahan mentah menjadi hidangan yang menggugah indra. Sejak manusia sadar bahwa api sanggup membunuh bakteri serta membuat makanan lebih mudah dicerna, hubungan antara api dan makanan telah menjelma simbiosis tak terpisahkan.
Dalam tatapan gastronomi kiwari, api tak lagi sekadar wahana memasak, tapi juga bagian dari seni. Para koki kontemporer mengeksplorasi cara-cara baru menggunakan api, entah melalui teknik pengasapan, pemanggangan, atau flambé, demi menciptakan pengalaman kuliner yang kompleks dan persuasif. Api, meski sederhana dan primitif, mampu menciptakan harmoni serta kemewahan dalam setiap hidangan; membangkitkan cita rasa yang tak cuma memanjakan perut, tapi juga merangsang memori. Sebagai medium bagi makanan, api menjembatani kebutuhan fisiologis manusia sekaligus mewujud metafora kuasa dan kehendak manusia untuk memaknai alam.
Pada implikasinya, api bukan hanya soal panas yang dimanfaatkan. Ia adalah kekuatan primordial yang menjalin benang merah dari ritus kuno hingga gastronomi modern, dari masa lalu hingga kini. Dengannya, manusia menemukan cara hidup, berkembang, dan berkreasi, sembari terus diingatkan akan kekuatan besar yang dikandungnya: kekuatan untuk menata sekaligus melahap dunia dalam sekejap.
Masa Depan Api
Dalam sains masa kini, api bukan lagi terbatas pada energi kalor yang membakar kayu atau arang. Ia bertransformasi menjadi sumber energi yang lebih halus dan canggih, seperti tenaga nuklir dan fusi termonuklir, membawa peradaban manusia ke tahap yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Pengendalian api pada skala yang lebih mikro melalui teknologi laser, plasma, hingga pembakaran berbasis energi terbarukan memberi kita kesempatan untuk menciptakan dunia yang lebih hijau serta maju. Maka kita tak cukup memandang api sebagai warisan alam belaka, yang dipelihara di dapur dan tradisi.
Api di masa depan mungkin tak lagi berwujud seperti yang kita kenal sekarang. Ia bisa hadir dalam bentuk energi ramah lingkungan yang membuka ruang bagi inovasi baru di bidang gastronomi, kesehatan, hingga eksplorasi ekstraterestrial. Para ilmuwan bekerja tanpa henti, berusaha menjinakkan api bintang di inti matahari, berharap kelak kita bisa memanen energi dari fusi hidrogen, energi yang sangat bersih dan nyaris tak terbatas.
Sementara itu, di lingkup budaya, api akan terus menjadi sarana penting dalam ritus-ritus keyakinan dan memperkuat hubungan manusia dengan alam semesta. Ritual api di berbagai budaya, dari Hinduisme hingga Zoroastrianisme, akan terus berkobar, membuktikan bahwa elemen sakral ini merupakan penghubung manusia dengan yang transenden. Nyala api yang dibebat doa dan mantra akan mengingatkan umat manusia bahwa imortalitas api tidak melulu soal materi, tetapi juga iman dan esensi.
Maka, di masa depan yang serba digital dan berteknologi tinggi, api–dalam berbagai bentuknya–tetap menjadi elemen vital di jantung peradaban. Meski teknologi melesat maju, manusia akan selalu terhubung dengan kuasa primordial yang telah membimbing peradaban mereka sejak mula. Api yang pernah dicuri dari gunung oleh Prometheus, masih dan bakal terus menggiring perjalanan kompleks manusia dengan mengusung tajuk-tajuk peradaban, penciptaan, dan ketidakterbatasan.
Ajun Nimbara adalah alumnus magister sastra Universitas Gadjah Mada kelahiran Sumenep. Saat ini mengajar sastra Indonesia di Universitas Negeri Malang.
Editor: Asief Abdi