“Kijing buat Mbah Canggahmu yang ada di Desa Pintu itu, Le, tak jadi dipersoalkan perangkat desa,” ucap Bapak membuka obrolan. “Tapi Bapak sejak awal juga tak pernah memaksakannya. Itu, toh, Bapak lakukan hanya supaya mudah saja kalau kita ingin berziarah ke sana. Kan, kamu tahu sendiri, nisan awalnya cuma dari batu wungkul. Kalau memang bertentangan dengan peraturan desa setempat, Bapak mempersilakan saja supaya dicabut lagi kijing yang sudah dipasang itu.”
Saya segera paham mengapa pemasangan kijing Mbah Canggah saya sempat memicu kegaduhan. Hari-hari ini, masyarakat memang kerap dikagetkan dengan munculnya makam dadakan. Terlebih, banyak kabar serupa juga beredar di berbagai stasiun berita, juga di sejumlah laman jagat maya. Sebuah desa yang terletak cukup jauh dari daerah saya, misalnya, sempat juga digegerkan oleh kemunculan makam dadakan, yang disebut-sebut sebagai makam seorang keturunan nabi.
“Lalu?” tanyaku, menagih lanjutan.
“Lalu, begitu orang-orang sana tahu kalau makam, yang menurut cerita warga konon sering memancar sinar berwarna hijau itu adalah makam buyutnya Bapak, juga karena Bapak kebetulan pernah memimpin dzikir iftida’ di sana, izinnya pun diberikan. Syukurlah.” Sementara saya masih sigap menyimak kelanjutannya, ditutupnya Risalah al-Qusyairiyah yang sejak tadi dibacanya.
“Mbah Mangun Petruk,” katanya lagi, “dulunya orang keplayon. Situasi politik-pemerintahan keraton Jawa saat itu sedang tak baik-baik saja. Banyak keluarga keraton dekat dengan kolonial. Dan karena Jawa Timur bukanlah pusat kekuasaan, melarikan diri ke daerah-daerah kecil seperti di Ponorogo, adalah langkah strategis untuk menepi. Ya, dia kabarnya memang pemberontak. Bekas pengikutnya Pangeran Diponegoro.”
“Karena itulah hidup Mbah Canggahmu kerap berpindah-pindah. Kalau di suatu daerah jejaknya ditemukan, dia akan mencelat ke daerah lain yang lebih aman,” lanjutnya lagi. Kali ini, sambil menyulut sebatang kretek dari bungkus hitam Dji Sam Soe Refill. “Di setiap daerah itu, kadang Mangun Petruk menikah dengan perempuan setempat. Makanya, kamu jangan kaget kalau punya sedulur yang mungkin selama ini kamu belum pernah merasa kenal. Bahkan bertemu pun belum. Adapun menurut riwayat orang-orang, juga didukung buku silsilah yang dipegang salah satu cantrik Mangun Petruk yang pernah bermukim di Nglengkong, Sukorejo, Ponorogo, dia itu anak seorang tokoh di Ngawi bernama Jogorogo. Entahlah.”
“Kok, entahlah, Pak?”
“Ya, lagi pula, Bapak sebetulnya tak begitu ambil peduli dengan silsilah-silsilahan. Persis Bapak katakan, pemasangan kijing itu sekadar supaya mempermudah kalau ingin berziarah. Satu-satunya silsilah yang menurut Bapak penting adalah silsilah keilmuan. Itulah kenapa ketika suatu kali, adik bungsu dari Mbah Buyutmu tahu-tahu berangkat naik dokar dari Madiun sampai ke mari, lalu berpesan supaya menemui si cantrik yang pegang buku silsilah itu. Bapak bilang kalau tak tertarik untuk memilikinya. Biarlah buku silsilah itu tetap di sana.”
Mendengar sekelumit kisah yang dituturkan Bapak, saya sontak teringat dengan seorang mubalig yang sempat viral, lalu menjadi bulan-bulanan publik di jagat maya karena menggoblokkan seorang penjual es teh di pengajiannya. Pasalnya, si penceramah semprul itu pernah juga suatu kali mengklaim bahwa ia merupakan keturunan dari kiai besar pada zamannya. Tak tanggung-tanggung, yang ia klaim sebagai leluhurnya adalah Kiai Ageng Hasan Besari. Seorang kiai, bangsawan, dan pendiri salah satu pesantren tertua di nusantara, yakni Pesantren Tegalsari atau juga dikenal dengan Pesantren Gebang Tinatar. Pesantren yang telah banyak diketahui, menjadi masyhur karena pernah menjadi tempat mbegurunya seorang pujangga besar Jawa dari Kasunanan Surakarta: Raden Mas Burhan alias Raden Ngabehi Ranggawarsita.
Sebetulnya, kait mengait silsilah seorang tokoh yang hidup di suatu masa, dengan nama-nama tokoh tertentu yang hidup jauh di masa silam, bukanlah praktik yang dapat disebut baru. Praktik ini bahkan telah dilakukan sejak era raja-raja. Seakan menjadi sunah atas yang wajib, ungkit-mengungkit silsilah leluhur adalah siasat penegasan ulang atas kekuasaan yang telah dilegitimasi baik secara de jure maupun de facto. Vlekke, dalam catatan sejarahnya pun menyebut, bukanlah sebuah kepantasan bagi seorang raja baru untuk menyatakan diri kepada rakyatnya sebagai Homo Novus (orang baru), bahkan bila pun itu merupakan kenyataan. Itulah mengapa ketika seorang raja Homo Novus naik takhta karena sukses menumbangkan penguasa yang bertakhta sebelumnya, ia akan mengklaim bahwa dirinya merupakan trah-lanjutan dari dinasti yang pernah ada, persis sebelum rezim yang ditumbangkannya itu.
Akan tetapi, ungkit-mengungkit silsilah rupanya tak hanya bergerak dari sumbu horizontal, melainkan juga sumbu vertikal. Persis juga disebut Vlekke, ukuran penghormatan populer untuk kekuasaan seorang raja juga berkait erat dengan ukuran kekuatan gaib yang dianggap dimilikinya. Walhasil, ungkit-mengungkit silsilah pun, tak hanya terhenti pada tataran mata rantai biologis. Terbukti, raja-raja Jawa sering menghubungkan diri mereka sebagai titisan dewa-dewa tertentu. Sebagai permisalan, kita mungkin tak asing dengan sosok Ken Angrok. Seorang raja yang bertakhta di Singasari. Pararaton memberi tahu kita bahwa sosok eksentrik, yang kisahnya pertama saya kenal melalui sinema laga besutan Djun Saptohadi itu, merupakan manusia hasil senggama-silang antara Dewa Brahma dengan istri seorang tani bernama Gajah Para.
Dalam fragmen awal Pararaton dikisahkan, Brahma yang sedang mupeng kelimpungan mencari perempuan untuk menjadi temannya bersepasang. Singkat kisah, usai menuntaskan kama di Ladang Lalaten, Dewa yang sudah lega itu pun mengijab perjanjian dengan perempuan yang sudah disetubuhinya. “Jangan kamu berhubungan badan dengan lelakimu lagi,” titahnya. “Sebab, jika kamu bersebadan dengan suamimu, ia akan mati. Lagi pula, akan tercampur anakku itu jika kamu bersebadan dengannya. Nama anakku adalah Ken Angrok, dan dialah yang kelak akan memerintah tanah Jawa”. Satu contoh lain, dalam Prasasti Pucangan (1041), Airlangga yang mengaku masih titisan Wisnu juga membeberkan sambung-silsilahnya dengan Raja Medang Kamulan, Mpu Sindok. Mpu Sindok sendiri adalah raja yang juga mengklaim dirinya sebagai keturunan dinasti Mataram, sehingga ia menyandangkan gelar raja Mataram pada namanya, walaupun kita mungkin tahu, kekuasaannya bahkan tak sampai mencangkup wilayah Jawa bagian tengah.
Sejarah lalu menyodori kita fakta, bahwa bahkan ketika era telah berganti, persisnya ketika Islam mulai masuk dan berkembang di nusantara, praktik ungkit-mengungkit silsilah—baik dalam wujud sambung-menyambung silsilah biologis maupun kekuatan supranatural—masih terus berlanjut. Penguasa Muslim besar pertama, Sultan Agung dari abad ke-17 misalnya pernah mengklaim dirinya sebagai pewaris sah dari raja-raja Majapahit. Sementara itu, Pangeran Diponegoro, seorang penganut agama Islam yang terbilang kaffah, tak sekali dua kali mengidentifikasi dirinya dengan memperhubungkan laku-lampah kehidupannya dengan salah satu figur di jagat pewayangan Jawa, Raden Arjuna.
Dalam gambaran pengalaman gaib saat sang Pangeran berziarah ke pantai Laut Kidul pada kisaran 1805—persisnya setelah sang Pangeran bermalam di Parangkusumo—ia mengaku telah menerima wangsit dari Sunan Kalijaga tentang tugasnya di masa depan. Menariknya, wangsit tersebut digambarkan sang Pangeran sebagai Panah Sarotama—sebuah pusaka yang, kita tahu, adalah milik Raden Arjuna. Dalam risalahnya, Carey menjelaskan bahwa kisah yang digambarkan oleh Pangeran Diponegoro, di mana ia menerima Sarotama dari Sang Sunan itu, mengingatkan pada bagaimana cara Raden Arjuna menerima Pasopati, dari tangan Dewa Siwa.
Tilas dari praktik kait-mengait, ungkit-mengungkit silsilah sebagaimana telah dicontohkan, rupa-rupanya juga masih dapat kita jumpai hingga dewasa ini. Pada Minggu, 25 Februari 2018, di hadapan Kader Partai Demokrat, di Stadion Redjoagung, Tulungagung misalnya—sama seperti Miftah Maulana Habiburrahman yang mengklaim keturunan Kyai Ageng Hasan Besari—Susilo Bambang Yudhoyono pernah menyebut bahwa dirinya adalah keturunan Raden Wijaya. Sementara itu, mendiang Soeharto meyakini bahwa kekuasaan yang berada di genggamannya merupakan pulung keprabon, wahyu makuta rama yang secara khusus dimandatkan kepadanya, guna menyelamatkan bangsa dan negara ini dari kebangkrutan Orde Lama.
Terbaru, polemik nasab habib yang memicu perdebatan dan polarisasi di kalangan muslim tanah air, saya kira juga memiliki benang merah dengan praktik ungkit-mengungkit silsilah, yang sejatinya merupakan tinggalan alam pikir monarkis. Betapa, misalnya, para pemuja nasab itu melek sejarah, mereka akan malu sendiri. Sebab, mereka akan mendapati bahwa apa yang mereka gaung-gaungkan justru praktik yang berusaha dihapus oleh sang Pembawa Ajaran Islam itu sendiri. Pasalnya, Muhammad, yang lama diasuh dalam kultur egaliterian masyarakat Badui, memandang bahwa setiap manusia mestilah duduk sama rata dan berdiri sama tinggi. Di mata seorang yatim dari Bani Hasyim itu, derajat semua manusia mestilah setara. Satu-satunya ketidaksetaraan yang ia halalkan, hanyalah menyangkut urusan takwa. Tak ayal jika sang Rasul bahkan pernah menegaskan kepada umatnya, Anaa basyarun mitslukum (Aku adalah manusia selumrahnya kamu sekalian).
Gagasan kesetaraan yang radikal dan revolusioner itu, jelas merupakan sesuatu yang bertolak belakang dengan budaya masyarakat Arab pada masanya. Dalam konteks suksesi kepemimpinan suku misalnya, masyarakat Quraisy saat itu cenderung menitikberatkan pertimbangan pada aspek keturunan alih-alih kapasitas personal. Tak peduli seorang pemuda yang bahkan tak memiliki kapasitas memimpin sekalipun, selagi mendiang kakeknya merupakan figur terpandang, pemuda itu dapat dipastikan mengalahkan pemuda lain paling berprestasi sekalipun dan naik ke tampuk kepemimpinan. Maka keadilan dan kesetaraan, penting untuk dicatat, merupakan visi awal mengapa agama Islam dirisalahkan. Itulah mengapa saya menilai, penggunaan hubungan pertalian darah sebagai mistar ukur penghormatan terhadap seseorang (kepada sosok habib, misalnya) justru merupakan praktik yang menggaungkan ulang jejak kejahiliyahan yang susah-payah dienyahkan Rasulullah Muhammad.
Apa pun itu, yang bisa kita simpulkan dari segala hal di atas adalah bahwa ungkit-mengungkit mata rantai silsilah tak lebih sebuah “suksesi sah”. Semacam legalisasi sekaligus legitimasi kekuasaan—apa pun nama dan wujudnya. Kita tahu, tanpa pun adanya mata rantai silsilah sedemikian rupa itu, seorang raja, seorang pemimpin, atau figur sejenisnya, mungkin saja tetap dapat eksis. Masyarakatnya pun barangkali tak akan mempersoalkan, juga tak ambil pusing, tertaut kepada siapakah pemimpin yang ia ugemi memiliki pertalian darah di masa silam. Serta kepada dewa yang bertakhta di langit dan gunung manakah kepribadiannya dititiskan.
Namun, persis saya katakan, praktik tersebut menjadi penting karena tak lain merupakan ritus penegasan ulang, juga suksesi penabalan dan pelanggengan kekuasaan. Yang juga perlu untuk selalu kita garis bawahi adalah, dalam setiap taut-menaut, sambung-menyambung mata rantai silsilah itu, kita akan sering berhadapan dengan sebuah “anakronisme” historis. Dan anakronisme, dengan sendirinya, bakal meniscayakan adanya “inkoherensi”: antara yang silam dan kiwari, antara kebenaran sejarah dan pengakuan mengenainya. Sayangnya, di hadapan fetisisme kekuasaan, baik anakronisme historis maupun inkoherensi, serta potensi kebohongan yang ditimbulkan keduanya, tak akan pernah menjadi pertimbangan barang secuil pun. Selagi “mata rantai” itu dapat disambung-sambungkan menghasilkan sebuah narasi yang amat meyakinkan, maka saya sepakat dengan Bapak bahwa satu-satunya mata rantai silsilah yang penting untuk dijaga, barangkali adalah silsilah keilmuan.
Yohan Fikri adalah penyair dan prosais.
Editor: Putri Tariza