Menu

Mode Gelap
Festival Sastra-Sains 2025, Epistemologi Maut dan Cinta Tentang Roh dan Seks Park dan Roman Klise Mencari Surga dalam Peta Perihal Puisi dan Gejala Kematian Sejarah One Piece, Nika, dan Genderang Pembebasan

Esai Budaya

Pramoedya Ananta Toer dan Suara Perjuangan Perempuan


					Foto oleh Putri Tariza/Sivitas Kothèka Perbesar

Foto oleh Putri Tariza/Sivitas Kothèka

Beberapa waktu lalu, tepatnya 6 Februari 2025, kita merayakan seratus tahun kelahiran Pramoedya Ananta Toer, sosok yang tak hanya dikenal sebagai sastrawan besar, tetapi juga sebagai pengamat tajam soal ketidakadilan sosial. Salah satu tema yang selalu muncul dalam karya-karyanya adalah perjuangan perempuan. Walaupun (mungkin) Pramoedya sendiri tidak pernah mengakui dirinya sebagai seorang feminis, melalui karya-karyanya, ia menunjukkan betapa pentingnya suara perempuan dalam menghadapi penindasan.

 

Nyai Ontosoroh: Sosok Perempuan Pemberani 

Siapa, sih, yang tidak kenal dengan Nyai Ontosoroh dari Bumi Manusia? Karakter ini bukan cuma simbol dari penderitaan perempuan di bawah penjajahan Belanda, tetapi juga cerminan dari keberanian yang luar biasa. Meskipun ia seorang selir Belanda, Nyai Ontosoroh tetap menunjukkan kekuatannya. Bukan hanya sekadar seorang ibu yang melindungi anak-anaknya, tetapi ia juga berjuang untuk dirinya sendiri dan orang-orang di sekitarnya.

Melalui sosok Nyai Ontosoroh, Pramoedya ingin memberi tahu kita bahwa perempuan bukan hanya sekadar objek penderitaan. Perempuan memiliki kekuatan untuk bertindak, melawan, dan memperjuangkan hak-hak mereka. Karakter ini menjadi bukti nyata bagaimana Pramoedya menentang struktur sosial yang mengekang perempuan pada masanya. Bahkan menurut saya, sikap dan perlawanan Pramoedya tetap relevan hingga saat ini—di mana perempuan masih berjuang untuk memperoleh tempat yang setara di masyarakat. 

Selain Bumi Manusia, karya Pramoedya lainnya seperti Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer juga mengangkat isu kekerasan terhadap perempuan. Dalam novel ini, Pramoedya sangat jelas menggambarkan betapa perempuan menjadi korban dari sistem yang menindas mereka—baik di masa penjajahan Jepang, maupun dalam sistem militer. Meskipun latar belakang kisah ini mungkin tidak relevan dengan kondisi kita sekarang, tetapi perjuangan yang digambarkan tetap terasa dekat karena pada nyatanya ketidakadilan terhadap perempuan masih ada sampai detik ini.

Menariknya lagi, Pramoedya tidak hanya mengangkat tema penderitaan, tetapi juga memperlihatkan bagaimana perempuan—meski berada di posisi terendah, tetap memiliki kesempatan untuk bangkit dan melawan. Ini adalah bentuk dari feminisme yang subtansial—bukan hanya tentang kesetaraan, tetapi juga tentang pembebasan perempuan dari berbagai bentuk penindasan yang ada. Pemberontakan perempuan dalam karya-karya Pramoedya, meskipun sering terhalang oleh struktur yang mengendalikan mereka, tetap memberikan gambaran bahwa perempuan bisa menemukan jalannya sendiri menuju kebebasan.

Salah satu tema yang juga sangat kental dalam karya Pramoedya adalah pentingnya pendidikan untuk perempuan. Ia sadar betul bahwa pendidikan adalah salah satu cara terbaik untuk mengubah hidup, terutama bagi perempuan yang sering kali terpinggirkan. Karakter-karakter perempuan yang cerdas dan terdidik dalam novel-novelnya sering kali menjadi agen perubahan. Mereka tidak hanya mampu mengubah nasib mereka sendiri, tetapi juga mampu mempengaruhi orang di sekitar mereka.

Dalam Bumi Manusia, kita melihat bagaimana Nyai Ontosoroh, meskipun dalam keterbatasannya, berjuang untuk memberikan pendidikan kepada anak-anaknya. Ini mengingatkan kita bahwa perempuan yang teredukasi memiliki kekuatan untuk membuka banyak pintu, untuk dirinya sendiri dan generasi berikutnya. Pramoedya memberi tahu kita bahwa perempuan harus diberi kesempatan untuk belajar dan berkembang, karena hanya dengan begitu mereka bisa meraih kebebasan yang sejati.

 

Keadaan Perempuan Hari Ini

Seratus tahun setelah kelahiran Pramoedya, kita mungkin sudah lebih maju dalam banyak hal. Namun kenyataannya, masalah-masalah yang dihadapi oleh perempuan saat ini tetap relevan dengan apa yang digambarkan dalam karya-karya Pramoedya. Perempuan masih terjebak dalam berbagai bentuk penindasan yang tidak terlihat, bahkan di ruang publik sekali pun. Diskriminasi terhadap perempuan sering kali terjadi secara halus, tapi berdampak besar—baik dalam dunia kerja, dalam kehidupan sosial, maupun dalam interaksi sehari-hari. Perempuan sering kali dihadapkan pada norma sosial yang mengharuskan mereka untuk tetap diam, mengalah, dan menerima perlakuan yang tidak adil hanya karena mereka seorang perempuan.

Pengontrolan terhadap tubuh perempuan juga masih menjadi masalah besar. Dari tuntutan untuk selalu tampil sempurna, hingga pembatasan dalam hal kebebasan memilih, sehingga banyak perempuan yang merasa tubuh mereka tidak sepenuhnya milik mereka sendiri. Banyak yang masih dipaksa untuk mengikuti standar kecantikan yang tidak realistis, atau bahkan menjadi objek pandangan dan penilaian orang lain. Ini mengingatkan saya pada bagaimana Pramoedya menggambarkan tokoh perempuan yang terpenjara dalam kondisi yang tidak mereka inginkan—sebuah bentuk penindasan yang sangat nyata.

Belum lagi, kekerasan terhadap perempuan dan pelecehan seksual masih terjadi di mana-mana. Setiap hari, kita mendengar berita perempuan yang menjadi korban kekerasan, baik itu dalam hubungan pribadi, di tempat kerja, bahkan di ruang publik. Kasus-kasus pelecehan seksual yang tidak terungkap, atau bahkan sering kali dianggap sepele oleh sebagian orang, memperlihatkan banyak perempuan masih harus berjuang untuk mendapatkan ruang aman.

Fenomena konten yang mendekati kekerasan seksual di dunia maya juga tidak bisa diabaikan. Seperti video atau gambar yang disebarluaskan tanpa izin, atau bahkan konten yang merendahkan martabat perempuan. Dalam konteks ini, perempuan terus-menerus dihadapkan pada permasalahan di ruang publik yang juga tidak luput dari pelecehan. Maka dari itu, di era digital yang semakin berkembang, perlindungan terhadap perempuan di ruang-ruang tersebut seharusnya menjadi prioritas. 

 

100 Tahun Pramoedya: Warisan yang Terus Menginspirasi

Saat kita memperingati seratus tahun kelahiran Pramoedya, kita juga diingatkan akan pentingnya perjuangan yang ia suarakan melalui tulisan-tulisannya. Meskipun banyak hal telah berubah sejak masa hidupnya, semangat perjuangannya tetap relevan, terutama dalam konteks hak-hak perempuan. Karya-karya Pramoedya mengajarkan saya bahwa perubahan yang sejati harus datang dari pemahaman dan pengakuan terhadap ketidakadilan yang ada, serta keberanian untuk melawan.

Hari ini, kita mungkin sudah lebih terbuka dengan isu kesetaraan gender, tapi perjalanan kita masih panjang. Dari diskriminasi hingga kekerasan, dari pengontrolan tubuh hingga pelecehan, perempuan masih harus terus memperjuangkan hak-haknya di berbagai sektor. Pramoedya dengan karya-karyanya telah memberi kita pelajaran bahwa perjuangan ini bukan hanya soal perempuan, tetapi soal keadilan untuk semua. Kita harus terus berjuang untuk mewujudkan dunia yang lebih adil, di mana perempuan bisa bebas dari segala bentuk penindasan dan diskriminasi.

Sebagai pembaca, kita berutang banyak pada Pramoedya Ananta Toer. Lewat tulisan-tulisannya, ia tidak hanya memberi kita cerita tentang sejarah dan perjuangan, tetapi juga mengajarkan kita tentang pentingnya memberi ruang bagi perempuan untuk bersuara dan berjuang. Di usia keseratus tahun kelahirannya, mari kita ambil hikmah dari semangatnya untuk terus memperjuangkan kesetaraan dan kebebasan perempuan—sebuah perjuangan yang tak hanya relevan di masa lalu, tetapi juga di masa kini dan masa yang akan datang.

 

 

Pradiayu Febriani Ariansyah adalah seorang penulis lepas dan content writer.

 

Editor: Putri Tariza

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Tentang Roh dan Seks

27 September 2025 - 11:52 WIB

Foto oleh Asief Abdi/Sivitas Kothèka

Mencari Surga dalam Peta

20 September 2025 - 13:00 WIB

Foto oleh Asief Abdi/Sivitas Kothèka

Perihal Puisi dan Gejala Kematian Sejarah

17 September 2025 - 12:00 WIB

Banyak dibaca di Esai Budaya