Kita harus mengakui bahwa minat baca masyarakat Indonesia jauh di bawah rata-rata. Saya tak perlu lagi melampirkan data tentang survei atas fakta tersebut, sebab sudah terlalu sering muncul di berbagai platform. Toh, bukti konkret terkait hal tersebut bisa dilihat dari banyaknya komentar-komentar ngawur yang tak sesuai isi di media sosial; atau menanyakan hal yang sudah dijelaskan pada sebuah unggahan. Bahkan, ketika baru selesai membaca judul, masyarakat kita sudah dapat menyimpulkan keseluruhan isi sebuah tulisan. Memang terdengar hebat. Namun, bukan begitu cara kerja mendapatkan informasi.
Jika kita berkaca pada kondisi tersebut, industri perbukuan di Indonesia akan tampak seperti neraka. Sebagai bisnis, agaknya banyak jenis usaha yang lebih potensial ketimbang mengurus buku-buku yang belum tentu laku. Oleh karena itu, orang-orang yang bertahan di balik ekosistem perbukuan saat ini perlu diberi apresiasi besar, terutama mereka yang ada di perusahaan-perusahaan kecil. Sebab, saya kira tidak ada alasan yang lebih masuk akal daripada rasa peduli orang-orang ini terhadap literasi. Respek!
Betul, tidak semua orang masuk dalam golongan yang sudah saya utarakan di atas. Namun, tidak lantas dapat dibenarkan pula di luar yang sudah disinggung tersebut merupakan seorang yang menggandrungi buku. Masyarakat yang suka membaca atau yang merasa perlu untuk membaca ada pada persentase yang amat kecil. Dari yang kecil itu pun, banyak yang enggan untuk membeli buku. Lebih baik meminjam saja. Hanya sedikit yang masuk dalam kategori pembaca-pembeli. Di sini kita bisa menyalahkan pemerintah karena terkesan ogah-ogahan terhadap perkembangan industri buku di Indonesia.
Permintaan terhadap tulisan boleh kita bilang ada—untuk tidak mengatakan seuprit. Bagaimana dengan penawarannya? Sangat besar. Tidak cuma penerbit-penerbit mayor yang menyediakan buku-buku berkualitas, banyak pula penerbit independen yang menawarkan bacaan yang tak kalah sip. Namun, ternyata para pembaca kita tak menjadikan isi buku sebagai satu-satunya pertimbangan untuk membeli sebuah buku. Visual sampul pun ikut memengaruhi seseorang untuk membaca, atau bahkan membeli. Ujaran don’t judge book by its cover rupanya sudah terlalu usang untuk kita yang hidup di zaman citra.
Esai ini ditulis setelah melihat satu unggahan di platform Twitter yang menampilkan rancangan visual sampul serial Supernova karya Dee Lestari yang dibikin oleh M.S. Wijaya. Di luar desain yang apik, persis seperti yang saya perkirakan, kolom komentar pada unggahan tersebut bernada seragam: tergiur untuk mengoleksi serial tersebut (lagi) jika terbit dengan sampul yang baru, meskipun beberapa dari mereka sudah punya serial dengan cetakan sampul lawas.
Hal ini mengingatkan saya ketika buku Laut Bercerita dikabarkan akan mencetak terbitan versi hardcover dengan menyertakan kartu ilustrasi para tokoh utama pada novel. Lagi-lagi, masyarakat pembaca-pembeli kita luar biasa antusias untuk mengoleksi kartu-kartu itu. Sebelumnya, tidak bisa dipungkiri bahwa sejak awal, novel Laut Bercerita sudah memikat kita dengan sampulnya. Menampilkan ilustrasi bawah laut dengan terumbu karang dan ikan-ikan kecil serta sepasang kaki terantai yang menimbulkan pertanyaan.
Atau contoh teranyar, tetralogi Pulau Buru edisi satu abad Pramoedya Ananta Toer. Meski sampul edisi itu tak sepenuhnya “diterima” oleh masyarakat karena desain yang terlalu sederhana, kerja sama antara penerbit Lentera Dipantara dan Kepustakaan Populer Gramedia itu tetap laku keras. Tentu, tidak bisa kita kesampingkan faktor kepopuleran dan pentingnya karya-karya Pram. Namun, yang menjadi fokus utama dalam esai ini, yaitu bagaimana visual sebuah buku bisa menarik perhatian calon pembaca. Walaupun tak semua yang tertarik pada akhirnya berujung membeli dan membaca, paling tidak, dari segi tampilan ia diperbincangkan.
Pergantian sampul buku terkadang memang perlu dilakukan untuk menarik perhatian calon pembaca dan mendorong penjualan. Dengan memperbarui tampilan, buku-buku yang sebelumnya berada di rak barisan belakang akan maju seolah-olah ia adalah barang baru. Ini merupakan hal lazim meski harus mengorbankan sedikit banyak interpretasi pembaca yang juga melibatkan pembacaan visual buku dalam pemaknaan, lebih-lebih untuk karya fiksi.
Perkara ini juga akan berdampak baik untuk para desainer dan ilustrator—selama penerbit tidak menggunakan akal imitasi (AI) secara ugal-ugalan. Kita masih ingat huru-hara perubahan sampul untuk novel Luis Sepúlveda yang menggunakan AI dan bukan hal semacam itu yang kita harapkan. Di sini, saya tidak akan membahas kecacatan moral terkait penggunaan AI pada ranah komersial, sebab sudah banyak diskursus yang memberikan pandangan terkait hal itu. Lagi pula, jika dibandingkan, hasil bikinan AI tak lebih baik dari segi kualitas daripada karya-karya desainer atau ilustrator.
Kini, dengan fenomena-fenomena yang telah dijabarkan, harusnya para penerbit mulai mafhum apa yang diinginkan pasar. Dalam hal ini, kalangan pembaca berpotensi besar menjadi pembeli.
Kasus-kasus tadi membentuk pola yang menegaskan bahwa masyarakat kita menilai buku dari sampulnya. Tidak bisa tidak karena memang yang menjadi perhatian untuk pertama kali dari sebuah buku adalah halaman sampulnya.
Ikrar Izzul Haq adalah pembaca sastra.
Editor: Putri Tariza