“Bukankah persetubuhan pun, mestinya, juga dilaksanakan dengan relasi yang intim demikian? Inikah yang ingin diketengahkan Goenawan?”
Sebagaimana telah saya singgung sebelumnya, “Persetubuhan Kunthi” seakan-akan merupakan sajak yang menepis apa yang tertera di judulnya sendiri. Bayangan kita bahwa sajak tersebut akan menarasikan bagaimana liarnya persetubuhan antara Kunthi dengan Dewa Surya—konsekuensi logis dari frasa di judul sajak—akan runtuh segera setelah kita memasuki dua bait awalnya. Saya kira, ini merupakan efek dari apa yang oleh Srikanth Reddy (2012) sebut dalam risalahnya sebagai “digresi”—suatu teknik juga elemen penting dalam dinamika perpuisian Amerika Abad ke-20, di mana secara sadar, penyair menciptakan penyimpangan-penyimpangan dari narasi utama atau tema yang sedang dibahas; menggeser bentuk-bentuk yang lebih formal ke gaya yang lebih bebas dan eksperimental, sehingga menghasilkan ruang untuk suara dan perspektif yang lebih kaya nan beragam [7].
Digresi, tampaknya memang dipergunakan oleh si penyair sebagai puitika erotik-nya, terutama di dalam “Persetubuhan Kunthi”—jika bukan malah di banyak sajak-sajaknya yang lain. Maka ketimbang disodori gambar atau visualisasi adegan persetubuhan Kunthi dengan Dewa Surya, bait pertama dan kedua sajak tersebut malah mencawisi kita sebuah imagery-imagery dari sejumlah anasir alam yang (sekaligus) menyugestikan erotisme. Mereka menjadi sebuah digresi, penyimpangan dari tema “seksualitas” atau “persetubuhan”, sebab mengacu pada persentuhan intens antara alam dan tubuh Kunthi, yang telanjang, dan berenang semakin ke tengah, pada celah teratai merah, ketika desau angin berpusar dan ikan pun ikut menggeletar itu. Goenawan Mohamad, dengan siasat tersebut, membuat fokus kita bergeser: dari seksualitas ke sensualitas, dari khayal yang banal menuju imajinasi dan fantasi yang subtil.
Oleh karena itu, jika seusai dua bait awal tersebut, Anda berharap berjumpa dengan adegan senggama, Anda saya jamin akan kecewa. Sebab, setelah mengawali sajaknya dengan deskripsi yang sensual dan intim tentang tubuh dan alam yang melingkupinya, fokus kita oleh si penyair justru dialihkan lagi pada gambaran yang lebih luas, bahkan terbilang abstrak. Pada bait ketiga dan keempat, Goenawan Mohamad menulis: Dari pinggir yang rapat/ membaur ganggang./ Antara lumut lebat/ dan tubir batu/ ada lempang kayu apu/ yang timbul tenggelam/ meraih/ arus dan buih// Sampai badai dan gempa seperti menempuhmu/ dan kau teriakkan/ jerit yang merdu itu/ sesaat sebelum kulit langit biru./ kembali, jadi biru.
Pergeseran ini membuka ruang untuk memikirkan pengalaman yang lebih besar di luar suatu momen intim: persetubuhan. Penyusunan unsur-unsur alam secara intens yang kita saksikan, mulai dari angin yang berpusar, ikan yang menggeletar, pinggir yang rapat, ganggang yang membaur, lumut lebat, tubir batu, kayu apu, arus, buih, badai, gempa, hingga kulit langit biru, seluruhnya mengambil peran sebagai sebuah digresi dari tema seksualitas yang eksplisit. Unsur-unsur alam tersebut memanglah hal-hal yang berada di wilayah “konkret”, tetapi sebagai sebuah digresi, peletakan apa-apa yang “konkret” dari berbagai unsur “alam” itu kian mendorong “momen persetubuhan” ke lingkaran “yang abstrak”. Bagaimana misalnya “persetubuhan” kata “badai” dan “gempa” disisipkan untuk menyugestikan “erotisme seksual” memperkaya konteks emosional, menciptakan suasana yang lebih luas, serta pada saat yang sama, mengimplikasikan relasi yang mempertautkan pengalaman manusia dengan lingkungan di sekitarnya yang intimate.
“Tidakkah hubungan yang demikian ini pun nyaris bahkan serupa dengan gerak tubuh dalam tarian?”
Walhasil, persetubuhan di sini dapat kita tafsir sebagai bersatunya manusia dengan kosmos, yang dijembatani oleh tubuh—walau dengan segala keterbatasannya—ketimbang pergumulan dua manusia bugil dan saling merenggut, dirumrum hasrat dan nafsu. Persetubuhan, yang dinafasi oleh gairah mencapai kenikmatan, akhirnya juga terbaca sebagai sebuah proses spiritual, di mana tubuh menari-nari sembari menjangkau “Tubuh” yang lain, bahkan yang selain-lainnya. Alam, sebagai “jagat yang sekala” dan “jagat yang niskala” adalah misalnya.
Pada bait kelima, fokus kita digeser lagi oleh Goenawan Mohamad. Jika sebelumnya, dengan unsur-unsur alam yang dipergunakannya sebagai digresi, kali ini sang penyair menggeser fokus kita dari seksualitas yang eksplisit dengan pertanyaan semu-falsafi: Engkau dewa? kau bertanya/ Engkau matahari?. Pertanyaan semu-falsafi ini, saya kira tidak akan kita temukan di dalam kisah hipogramatiknya. Dalam kisah asalnya, sebelum kemudian Kunthi bersebadan dengan Surya, gadis yang masih hijau, yang entah tulah entah berkah, dihadiahi Druwarsa Aji Pameling (Aji Pepanggil) karena gurunya itu merasa puas atas pelayanannya, hanya berkata-kata dengan pita suara yang gemetar.
“Hamba tidak menginginkan karuniamu, Oh Dewa,” katanya, memberanikan diri. “Hamba hanya menguji mantra itu apakah benar-benar dapat digunakan. Maka, sudilah mengampuni hamba,” katanya lagi, menjawab pertanyaan dewa yang tubuhnya berkilauan cahaya itu, tentang apakah permintaan yang dia kehendaki sehingga ia sampai mengundangnya turun dari singgasana.
Digresi yang berwujud pertanyaan semu-falsafi tersebut, akhirnya menggeser fokus kita cukup jauh, dari deskripsi fisik menuju pertanyaan yang bersifat eksistensial. Ia membawa pembacaan kita untuk juga mempertimbangkan makna keberadaan dan hubungan antara manusia dan kekuatan yang lebih agung di luar diri. Sepasang pertanyaan semu-falsafi itu, seolah-olah menantang kita untuk merenungkan ulang secara lebih dalam tentang identitas dan kekuatan yang ada di alam semesta—yang dalam hal ini, dijembatani oleh “tubuh”, tubuh Kunthi, lagi-lagi dengan segala keterbatasannya.
“Namun, bukankah ‘tubuh’ adalah sebuah ‘pialang pengalaman’ yang menjembatani ‘pengetahuan’
dengan ‘dunia’, termasuk ‘alam semesta’
serta segenap misterinya?
Tidakkah, sebagaimana seorang penari, ‘tubuh’
—yang bergerak—juga memperhubungkan si penari dengan realitas-realitas metafisis? Jika begitu,
tidakkah erotisme pun demikian?
Bukankah pengalaman erotis, sebagaimana dijelaskan Ponty, adalah juga cara tubuh untuk menyingkap
dimensi pengetahuan terhadap dunia yang tersembunyi? Yang tak terjelaskan oleh akal dan kata,
oleh batas-takrif sebuah bahasa?”
Melalui dua bait pemungkas sajaknya, Goenawan Mohamad sepertinya hendak membenamkan pembacaan kita pada perenungan yang kian jauh mendalam. Semakin kita seperti Kunthi yang berenang ke tengah, semakin ke celah teratai merah, ekspektasi kita mengenai visualisasi hubungan sebadan antara Kunthi dan Surya pun pelan-pelan runtuh, bahkan mulai berguguran seluruhnya. Pada bait keenam dan ketujuh, penyair menulis: Laki-laki itu diam sebelum menghilang/ ke sebuah asal/ yang tak pernah diacuhkan:/ sebuah khayal/ di ujung hutan/ di ornamen embun/ yang setengah tersembunyi. Kemudian ia menutupnya dengan: Yang tak pernah kau miliki, Kunthi/ tak akan kau miliki.
Laki-laki, yang merujuk kepada Surya itu hanya bergeming. Ia diam—sebuah respons pasif terhadap pertanyaan Kunthi: Engkau dewa? Engkau matahari?—sebelum kemudian dia menghilang ke sebuah asal yang tak pernah diacuhkan. Kita pun semakin tak mengerti, sudahkah persetubuhan itu terjadi? Atau, persetubuhan tersebut adalah setubuh yang tak dimulai dengan foreplay dan diwusanai oleh ejakulasi? Kita sesungguhnya juga tak pernah betul-betul mengerti kepada apakah “asal” di sana dimaksudkan. Yang disodorkan oleh Goenawan Mohamad hanyalah sebuah indikator-indikator yang menyugestikan sesuatu hal menyangkut asal itu sendiri. Bahwa “asal” tersebut adalah yang tak pernah diacuhkan, adalah sebuah khayal di ujung hutan, dan di ornamen embun yang setengah tersembunyi.
Namun, frasa sebuah asal yang tak pernah diacuhkan itu, tampaknya juga bertaut dengan bait terakhir sajak. Asal yang tak pernah diacuhkan itu adalah apa yang disebut sang dewa sebagai yang tak pernah Kunthi miliki, bahkan sama sekali tak pernah akan dimilikinya. Sebetulnya, dua bait tersebut bisa dicukupkan dengan dipangkas ke dalam satu kalimat: Laki-laki itu diam, sebelum menghilang ke sebuah asal yang tak pernah diacuhkan. Namun, penyair mengambil jalan pengekspresian yang selain-lainnya. Ia mengupayakan penyimpangan-penyimpangan. Kita disuguhi aposisi-aposisi puitis; katalog-katalog yang disusun dalam rentetan nomina: asal yang adalah sebuah khayal di ujung hutan, asal yang adalah sebuah khayal di ornamen embun, yang setengah tersembunyi, asal yang adalah khayal, yang tak pernah Kunthi miliki dan tak akan ia miliki.
“Maka, kita pun lantas bertanya-tanya, barangkali sambil setengah ragu, “Apakah perlunya rincian-katalogis tersebut? Apa pentingnya Goenawan menaruh kata benda-kata benda seperti khayal, ujung hutan, dan ornamen embun? Adakah itu sekadar eksotika teks, untuk misalnya, meromantisir dan mendramatisir suasana yang ia bangun?”
Jawaban untuk pertanyaan di atas, bisa “ya” bisa juga “tidak”. Saya cenderung memilih opsi yang kedua. Dalam sebuah esainya, Hoks menyebut bahwa digresi—yang dalam hal ini, berupa aposisi-aposisi puitis—bahkan dalam bentuk paling sederhananya, yakni selipan kata benda yang digunakan untuk menggantikan atau menjelaskan kata benda lain, dapat berfungsi untuk mengarahkan energi sintaksis di dalam puisi, mendistribusikan kembali maknanya, dan memperluas inklusivitas referensialnya. Dalam puisi yang menggunakan rangkaian kata apositif, tegasnya lagi, pembaca akan merasakan pengalaman seperti seekor katak yang melompat dari satu “kata benda” ke satu “kata benda” yang lain, layaknya melompati bantalan bunga bakung di sebuah kolam. Meskipun daun-daun bunga bakung itu hampir serupa dan saling terhubung, ada banyak kegembiraan dalam setiap lompatan yang menawan di atas air, serta keseimbangan yang rapuh yang ditawarkan oleh setiap bantalan [8].
Aposisi-aposisi tersebut, walhasil, memungkinkan imajinasi berselesatan, seakan-akan melayang-layang, sekali waktu berlompatan, kadang pula terasa menjadi ornamen yang keluar dari lingkaran pokok, tetapi sesungguhnya masih bagian darinya. Hal tersebut barangkali terjadi lantaran aposisi—sebagai sebuah digresi—dibuat secara tiba-tiba dengan menghilangkan kata atau frasa penghubung (misalnya “adalah” atau “seperti”; dua konjungsi yang kerap digunakan dalam majas asosiasi), yang secara teknis disebut “kopula”. Dalam nomenklatur sintaksis, kopula digunakan untuk menciptakan identitas antara dua hal atau lebih. Ia mempertautkan satu satuan dengan satuan yang lain, yang dengan begitu, ia kerap menjadi penanda sebuah definisi. Namun, justru terali definisi demikian itulah yang ditepis si penyair. Dengan penyimpangan melalui aposisi-aposisi puitis itu (kolam, teratai merah, angin yang berpusar, ikan yang menggeletar, badai, gempa, kulit langit biru, ujung hutan, ornamen embun) desakan definisi-semantis, keserbaterhubungan kalimat-kalimat dieksoduskan oleh Goenawan Mohamad, sebab hanya dengan demikian, barangkali, seksualitas ia selamatkan dari kemungkinannya untuk tercebur ke lubuk kolam keruh bernama “pornografi”.
Maka sesungguhnya, persetubuhan tersebut, tetap ada di dalam sajak “Persetubuhan Kunthi.” Ia tetap menjadi pokok—betapa pun akhirnya, kita berhadap-hadapan dengan paras abu ambiguitas. Komunikasi, bukanlah pangkal-tuju sebuah puisi modern. Dan inilah yang memang ditekankan oleh Goenawan Mohamad, yang juga menyatakannya secara tegas, bahwa puisi modern adalah puisi yang sudah melakukan hijrah dari bahasa publik [9]. Sebuah laku puisi yang jelas berseberang-kutub dengan model komunikasi konvensional ala Jacobson dengan enam elemen komunikasi yang diancangnya, meliputi (1) konteks, (2) kode, (3) kanal, (4) pengirim, (5) pesan, dan (6) penerima. Dalam model komunikasi demikian ini, pengirim (adresser/sender) dan penerima (adressee/receiver) laiknya dua orang yang sedang bermain pingpong. Namun, berbeda dengan model komunikasi yang galib, di dalam puisi modern, pingpong tersebut dimainkan dengan cara yang selain-lainnya. Dan digresi, dalam wujud aposisi-aposisi puitis yang disisip-sisipkan itu, adalah bet yang sama sekali lain, juga bola yang sama sekali lain, yang membuat permainan pingpong itu akhirnya menjadi pingpong yang selain-lainnya.
Itulah mengapa ketimbang memvisualkan persetubuhan dalam bahasa yang kenes, di dalam sajaknya, penyair hanya menampilkan sugesti-sugesti erotis. Bahwa lumut tebal barangkali menyugestikan rambut vagina, sementara bibir vagina disugestikan oleh tubir batu, di mana di antaranya, lembang kayu apu menyugestikan bagaimana penis melesak keluar-masuk, meraih arus dan buih—dua kata benda yang analog dengan bunyi erotis, becek dan berkecipakan, yang dihasilkan dari penetrasi penis ke dalam liang vagina, yang diimajinasikan dengan lempang kayu apu, yang timbul tenggelam itu. Badai dan gempa yang seperti menempuh tubuh Kunthi, menyugestikan sebuah klimaks; dan kita dapat membayangkan bagaimana tubuh gadis sunti itu terpiuh, berguncang, pada sebuah momen puncak dari ketegangan emosional sekaligus fisik. Karenanya, ia teriakkan jerit yang merdu sesaat sebelum kulit langit biru kembali, jadi biru.
Persoalan dalam membaca puisi Goenawan Mohamad, agaknya bukanlah persoalan mengenai “pencarian arti”, tetapi lebih kepada persoalan tentang “membaca puisi” itu sendiri. Sebab, seringkali memang, kalimat-kalimat yang dibangun oleh Goenawan Mohamad terasa seperti kalimat yang tak tuntas secara sintaksis. Perhatikan misalnya bait pertama berikut:
Semakin ke tengah tubuhmu
yang telanjang
dan berenang
pada celah teratai merah
Berada di tengah tubuhmu pada bait di atas, menduduki fungsi sebagai keterangan tempat. Namun, kita melihat, ia tidak memiliki predikat yang jelas. Mari kita turun ke baris sesudahnya: yang telanjang. Baris ini, mungkin sejatinya dimaksudkan supaya menjadi atribut untuk “tubuhmu” bilamana difungsikan sebagai subjek. Maka, baris sesudahnya, dan berenang, dapat dianggap sebagai predikat dari “tubuhmu”. Akan tetapi, problemnya adalah peletakan kata tubuhmu yang ditaruh oleh penyair di baris pertama. Peletakan ini menangguhkan terjadinya “tubuhmu” menduduki fungsi subjek kalimat yang jelas, sehingga karenanya, ia gagal membentuk kalimat yang purna. Terlebih lagi, adanya konjungsi “dan” yang dimaksudkan untuk menghubungkan dua aksi (telanjang, berenang), tanpa didahului subjek yang eksplisit itu, akhirnya kian memperkuat ketidaktuntasan bait pertama sebagai sebuah kalimat tuntas. Oleh sebab itulah, baris pada celah teratai merah, yang meskipun berfungsi sintaksis sebagai keterangan tempat, tetap saja gagal menyelesaikan struktur yang telah mengambang sejak awal dan tak bisa diselamatkan lagi. Secara keseluruhan, dapat disimpulkan, bait pertama “Persetubuhan Kunthi” tidak membentuk kalimat yang lengkap karena kurangnya predikat yang jelas dan struktur subjek yang koheren. Betapa pun bait tersebut memiliki unsur yang kuat dalam memberikan imaji yang jelas, dari sudut pandang sintaksis, ia tidak memenuhi kriteria untuk kalimat yang paripurna. Hal ini akan jadi lain, jika misalnya, bait di atas kita rombak ulang susunan fungsi sintaksisnya sehingga menjadi:
Semakin ke tengah (Keterangan)
Tubuhmu (Subjek)
yang telanjang (Atribut Subjek = Subjek)
berenang (Predikat)
pada celah teratai merah (Keterangan)
atau:
Tubuhmu (Subjek)
yang telanjang (Atribut Subjek = Subjek)
berenang (Predikat)
semakin ke tengah (Keterangan)
pada celah teratai merah (Keterangan)
Namun, apa bisa dikata? Puisi modern memanglah puisi yang akhirnya menepis desakan semantis. Ia adalah bahasa yang telah hijrah dari bahasa publik. Ia adalah bahasa yang telah mikraj dari tataran komunikasi. Dan hal-hal demikian itu, maksud saya adalah kalimat-kalimat yang mengambah karena patahan-patahan yang disengaja, sering kita jumpai dalam sajak-sajak Goenawan Mohamad.
Saya sesungguhnya ingin mencukupkan pembacaan atas sajak ini. Namun, Sapardi Djoko Damono (1999), dalam sebuah pernyataannya tentang puisi Goenawan Mohamad, seakan buru-buru mencegah keputusan tersebut. Terhadap puisi-puisi Goenawan Mohamad, Sapardi mengatakan: pembaca puisi Goenawan Mohamad sesungguhnya adalah sesiapa yang “kemampuan intelektual, pengalaman, emosi, dan lain-lainnya” sama dengan si penyair. Begitulah pembaca semestinya bagi puisi yang di satu pihak mengandung “perlambangan yang sangat mempribadi” namun di pihak lain adalah “puisi intelektual”, puisi yang mengandung sekaligus menyembunyikan acuan maupun konsep dalam dirinya [10].
Saya sepakat dengan mendiang Penyair Hujan Bulan Juni. Bahwa Persetubuhan Kunthi pun, sebagaimana disebut Sapardi, adalah sebuah sajak yang mengandung “perlambangan nan mempribadi” di satu pihak, sekaligus “intelektualitas yang mengandung sekaligus menyembunyikan acuan maupun konsep dalam dirinya” di pihak yang lain. Bertolak dari pernyataan Sapardi, maka Persetubuhan Kunthi yang kental oleh simbolisme dan sarat akan muatan intelektualisme itu, akhirnya patut juga kita curigai, bahwa tidak menutup kemungkinan, kisah persetubuhan silang dan gaib antara seorang gadis sunti dengan dewa matahari itu, sejatinya sama sekali tak menyoal perkara persetubuhan itu sendiri. Kecurigaan ini, misalnya, dapat kita alamatkan, terutama pada bait keenam dan ketujuh sajak tersebut. Ada sebuah jukstaposisi yang dibangun oleh Goenawan Mohamad antara “asal yang tak diacuhkan”—dengan segenap aposisi-aposisi puitisnya—dengan “Kunthi”, sebagai subjek yang tak mengacuhkan “asal” tersebut.
Saya curiga, bahwa “Kunthi” hanyalah sebuah simbol. Jika kita amati, aposisi puitis dari “asal yang tak pernah diacuhkan” oleh Kunthi tersebut, kita akan mendapati dua elemen penting: (1) khayal di ujung hutan dan (2) khayal di ornamen embun yang setengah tersembunyi. “Asal” yang tak pernah diacuhkan oleh Kunthi, tempat laki-laki dewa itu pulang, disugestikan melalui “ujung hutan” dan “ornamen embun”. Tetapi, mengapa “di ujung hutan”? Mengapa “di ornamen embun”? Sedangkan Surya sendiri, kita tahu, ialah dewa yang bertakhta di “matahari”? Dan mengapa “asal” diaposisikan dengan “khayal”? Seolah-olah, ada suatu ketegangan antara “yang realitas” dan “yang imajinasi” di sana?
Beranjak dari pertanyaan-pertanyaan di atas, dapatlah kita rumuskan satu tafsir dengan berfokus pada kata “asal”. Asal, dapatlah kita maknai bukan sebagai tempat di mana sang dewa pulang setelah turun ke bumi menemui Kunthi—persis sebagaimana teks rujukannya. Asal, misalnya, boleh kita tafsiri sebagai sebuah akar identitas seseorang. Ketika kemudian penyair mengaposisikan “asal” dengan “khayal”, dan khayal diaposisikan dengan unsur-unsur alam (“ujung hutan” dan “ornamen embun”), tafsir yang dapat ambil dari penyejajaran segala hal tersebut adalah bahwa barangkali, Goenawan Mohamad, melalui sajaknya mengajak pembaca untuk merenungkan ulang bagaimana “realitas” yang kita jalani saat ini, bahkan masa depan yang hendak diproyeksikan pun berasal atau berakar dari masa lalu yang bersimbah oleh “yang imajinasi”, mungkin juga terwujud dalam “yang mitologi”, di mana alamlah alih-alih manusia yang menjadi pusat. Seorang yang terberai atau memberaikan diri dari “alam”, dari akar-masa lalu identitasnya itu, akan jatuh sebagai “Kunthi”, yang limbung dan bingung sehingga begitu berhadapan dengan “yang khayal” sontak bertanya-tanya: Engkaukah dewa? Engkaukah matahari?. Ketidakacuhan terhadap asal tersebut, dengan demikian, menyoroti bagaimana individu sering kali melupakan atau menolak bagian penting dari diri mereka sendiri.
Namun, kita juga mesti ingat bahwa bagaimanapun, “seksualitas” merupakan wacana utama dalam “Persetubuhan Kunthi”. Digresi-digresi itu, betapa pun dapat menghadirkan ruang tafsir yang seluas-luasnya, akhirnya juga tetap menghadirkan sugesti-sugesti erotis. Maka, pembacaan kita dengan mengarahkan mata tafsir kepada “asal yang tak diacuhkan” itu, akhirnya juga mengisyaratkan dirinya pada konteks “persetubuhan”. Bahwa mungkin, menyerupai puisi, di dalam sebuah hubungan intim pun senantiasa terdapat aspek-aspek yang diabaikan atau tak diartikulasikan—suatu hal yang justru mungkin menjadi “asal”. Walhasil, mengabaikan “asal” dalam konteks “persetubuhan” itu dapat menciptakan ketegangan dalam sebuah relasi intim. Dalam konteks persetubuhan, hal tersebut mungkin berarti bahwa satu atau kedua pasangan tidak sepenuhnya terbuka tentang latar belakang atau perasaan mereka—sesuatu yang menjadi “asal” dari masing-masing diri mereka—sehingga dapat mengarah pada konflik yang mendasari keintiman fisik, atau bahkan yang melampauinya.
Namun, ini pun, akhirnya juga dapat memicu jangkauan tafsir ke tafsir kita merentang ke potensi makna yang lain lagi. Jika misalnya kita pertautkan pemaknaan ini pada tafsir kita bahwa “persetubuhan” di dalam sajak tersebut merupakan bersatunya manusia dengan kosmos, kita misalnya dapat menarik-kaitkan benang merah yang memperhubungkan “asal” dalam konteks “persetubuhan” dengan wacana “kehancuran lingkungan”. Bahwa bencana ekologis dalam berbagai wujudnya itu, terjadi karena didorong oleh konflik yang mendasari keintiman fisik. Bahwa tercerainya keintiman antara manusia dengan kosmos lahir karena “asal” yang mendasari keintiman antara keduanya, seperti “khayal di ujung hutan dan di ornamen embun” tak lagi diacuhkan, tak lagi dimiliki, bahkan sama sekali.
Inilah yang mungkin wujud konkret dari pernyataan Sapardi, bahwa puisi Goenawan Mohamad adalah puisi yang, di satu pihak mengandung “perlambangan yang sangat mempribadi”, namun di pihak lain merupakan “puisi intelektual”, yang mengandung sekaligus menyembunyikan acuan maupun konsep dalam dirinya. Hal ini, barangkali dimungkinkan dengan diselipkannya digresi-digresi. Dengan menyelipkan digresi-digresi, aposisi-aposisi puitis berupa ide-ide yang tampak tak logis dan jauh dari tema utama dan kisah hipogramatik sajaknya, Goenawan Mohamad barangkali berikhtiar menciptakan ruang bagi pembaca untuk merenungkan pengalaman manusia yang kompleks tentang “tubuh”, juga tentang “persetubuhan/seksualitas” itu sendiri, dalam makna yang dapat dipingpongkan dengan cara yang selain-lainnya. Tidakkah hal ini akhirnya melontarkan kembali ingatan kita pada kata-kata Paz yang kita kutip di awal, bahwa di antara erotika dan puisi, imajinasi adalah agen yang memprovokasi “tindakan erotis” dan “tindakan puitis”, di mana seks digubah menjadi ritus, dan bahasa menjelma ritme dan metafora?
Senarai Pustaka
[7] Srikanth Reddy, Changing Subjects: Digressions in Modern American Poetry (OUP USA, 2012)
[8] Nathan Hoks, Identity & Digression: Notes on Apposition in Lyric Poetry (Writer’s Chronicle, 2020)
[9] Goenawan Mohamad, Fragmen: Peristiwa dalam Puisi dan Antipuisi (Tempo & PT. Grafiti Pers, 2011).
[10] Sapardi Djoko Damono, “Gatoloco Sindir” dalam Sihir Rendra: Permainan Makna (Pustaka Firdaus, 1999)
Yohan Fikri adalah penulis kelahiran Ponorogo. Merampungkan studinya di Universitas Negeri Malang.
Editor: Asief Abdi