Berbicara seputar film-film Korea Selatan, tentu orang-orang akan menghabiskan pembicaraan mereka tentang film romansanya. Genre tersebut telah menjadi buah bibir yang melekat, ketika pandangan kita mengarah ke pergulatan sinema di sana. Manis, pahit, hubungan cinta sepasang remaja labil, dan tak jarang dramatisasi yang berlebihan seakan telah menjadi konvensi pakem dalam genre roman di negeri ginseng tersebut. Agaknya, itu menjadi musuh bagi Park Chan Wook selama dua dekade terakhir ini. Berawal dari Oldboy, The Handmaiden, hingga tahun ini, Decision to Leave. Lewat nafas film-filmnya, Park tak pernah lepas dari ambisinya untuk menghadirkan roman, atau persilangan roman, yang merefleksikan hakikat seni film itu sendiri. Melalui film-filmnya, ia seperti meludahi genre roman di negaranya sendiri, yang cuman berputar di lingkaran itu-itu saja, tanpa ada perkembangan yang lebih matang. Itulah Park. Tapi tak sampai di sana saja, saya rasa. Problematika genre roman juga menjadi sorotan di tingkat internasional.
Sebagaimana dewasa ini yang kita tangkap, banyak pengamat memandang genre roman sudah tak lagi memiliki ruang, tak memiliki kedudukan di kursi-kursi festival, selalu dianggap genre yang terlalu klise dan pasaran sehingga tak layak menempati nominasi, apalagi menyandang penghargaan. Namun, Park Chan Wook telah lebih dulu menjawab itu lewat film-filmnya. Park, membangun teritorialnya sendiri dengan menciptakan nuansa roman yang berbeda dan tak pernah sempat kita bayangkan. Dan tanpa kita sadari, itulah seni film. Park, memang konsisten menyuguhkan kisah cinta yang tak lazim dan melanggar moral masyarakat. Oldboy dengan adegan ranjang ayah dan anaknya dan The Handmaiden dengan permainan bibir antara majikan dan pembantunya. Ketaklaziman itulah yang ia bawa sebagai premis kuat, yang kelak merobohkan perasaan kita dan menjelaskan betapa rapuhnya hati seseorang. Dan kali ini, lewat film terbarunya, Decision to Leave, Park kembali menyuguhkan ketaklaziman itu, sekaligus mematahkan stereotip terhadap genre roman yang belakangan ini dianggap karya pasaran. Tapi, akankah film tersebut berhasil menyampaikan apa yang pernah ada dalam film-filmnya terdahulu? Mungkin iya, mungkin tidak.
Hae-Jun (Park Hae-il) adalah kepala inspektur di Busan. Satu hari ia dan tim mendapati mayat seorang pria yang diduga bunuh diri. Motif dan bagaimana pria tersebut mengakhiri nyawanya dengan loncat dari atas bukit, menjadi misteri yang belum terpecahkan sehingga So Rae (Tang Wei) seorang imigram dari China sekaligus istri dari pria tersebut, menjadi tersangka utama dalam misteri bunuh diri itu dan harus diawasi. Dimulailah penyelidikan sembunyi-sembunyi secara pribadi oleh Hae-Jun. Namun semakin lama, tanpa disadari, kecantikan So Rae membuatnya mati kutu. Hae-Jun malah terjebak dalam cinta di tengah situasi tak biasa itu.
Premisnya segar, unsur-unsur misteri yang tak bisa membuat kita melangkah meninggalkan layar, bekerja dengan maksimal di sini. Dan kondisi yang dilalui karakter utama terus mengundang perhatian lebih dalam lagi. Formula narasi yang tersaji memang terlihat sederhana. Hanya saja, bagaimana cara Park Chan Wook membungkus narasi tersebut bukanlah sesuatu hal sederhana. Tapi bagi saya, keterampilan tersebut telah diasahnya jauh-jauh hari, lewat film-film yang dulu. Jadi, tak begitu sulit bagi Park mengembalikan ketangkasan itu lagi
Secara garis besar, Park selesai dengan sinematiknya. Saya merasa tak berkewajiban mengutik-ngutik itu. Obsesinya terhadap estetika film disalurkan lebih dominan lewat sinematografi yang telah tumbuh lama dalam dirinya. Tak ayal, Decision to Leave kuat secara visual. Grapic match di banyak adegannya, long focal shot dalam beberapa pergerakan, dan deep focus yang dipakai guna melahirkan keterikatan karaternya satu sama lain, adalah teknik yang konsisten hadir sepanjang durasi film ini. Deep focus berperan penting dari segi sinematografinya. Di situ kita lihat bagaimana Park menangkap dua hati yang saling tarik menarik tanpa dialog sepeser pun. Hanya dengan kilatan mata dan bibir yang salah tingkah.
Sayangnya, pemandangan melankolis yang tersaji dengan intim lewat deep focus, dan segala keindahan visualnya tersebut, tak banyak memiliki daya cengkraman yang kuat, ketika Park membalut kesederhanaan cerita dengan ritme yang sangat laju. Kegetiran cinta kedua karakter sangat sebentar untuk dapat dinikmati, kala plot yang melaju tak memiliki satu pun terminal pemberhentian. Alhasil, pengamatan kita kurang stabil untuk fokus di titik yang mana. Kita tak lagi jeli dalam menangkap kerapuhan di antara kedua karakter. Karena kesengsaraan hubungan keduanya yang diapit kondisi yang mengikat itu, ternyata juga ditunjang oleh kerumitan penceritaan yang sebenarnya terkesan tidak dibutuhkan. Walau pada akhirnya, Decision to Leave masihlah karya yang menyayat hati dalam klimaksnya yang tragis. Park Chan Wook, tak bisa memungkiri bahwa kekuatan filmnya bukan berasal dari narasi yang dibangun, melainkan keintiman visual, dan akting Tang Wei yang menggoda.
Boleh dikatakan Park mundur lima langkah. Secara pribadi, saya tak sepakat dengan para pengamat lainnya yang memandang Decision to Leave Adalah karya Park dengan performa terbaiknya. Bagi saya, Park dan Decision to Leave adalah kecerobohan yang fatal. Itulah yang sesungguhnya. Itu yang dapat saya rasakan. Bukan hal sulit bila menengok lagi ke belakang kiprah hebat Park dengan film-fimnya. Kekuatan narasinya jarang kabur ke mana-mana. Bahasa film berhasil ia gunakan secara optimal. Kronik hubungan yang dimunculkan selalu sampai ke benak kita. Namun dalam Decision to Leave, saya hanya melihat Park begitu terobsesi dalam keindahan visual, melupakan kekuatan penceritaan, dan bahasa film tak lagi bekerja dengan baik. Sehingga yang muncul hanyalah kerumitan-kerumitan plot yang menenggelamkan nuansa keindahan dan membuat saya kesusahan menikmati betapa rapuhnya hati kedua karakter. Saya tak ingin membohongi diri sendiri, itulah kenyataannya. Dan saya merasa bahwa keputusan Cannes menyematkan sutradara terbaik untuk Park Chan Wook melalui Decision to Leave, adalah keputusan yang benar-benar keliru.
Azman Bahbereh adalah penyair dan sinefil yang tinggal di Singaraja. Ia pernah belajar di Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.
Editor: Putri Tariza