Entah kapan persisnya, beberapa waktu lalu Jolly Roger berkibar sebagai simbol perlawanan. Sebagai penggemar One Piece, saya tidak bisa tidak sepakat dengan fenomena itu. Belakangan, jalan cerita anime itu sedang menuju suatu misteri yang sedari mula ditutup-tutupi Pemerintah Dunia. Kelambu rahasia dibuka satu per satu, dan siapa pun yang mengikuti shounen ini jelas telah melihat betapa bengis Angkatan Laut di bawah kontrol Pemerintah Dunia. Situasi yang agaknya tidak banyak berbeda dengan Indonesia.
Setidaknya sepuluh orang meninggal selama protes beruntun di berbagai kota sejak 25 Agustus lalu. Itu pun yang terwartakan—sungguh, kita tidak tahu benar berapa banyak sebenarnya nyawa yang melayang. Hanya saja, satu yang sama-sama kita tahu: Protes yang menjalar dari Jakarta ke sekujur Indonesia tersebut dipicu oleh brutalitas polisi yang melindas seorang pemuda berusia 21 tahun. Di bawah kendaraan taktis yang berton-ton beratnya, Affan dipaksa menjemput maut.
Sementara itu, di Ibu Kota Jakarta—karena Ibu Kota yang baru agaknya hanya dihuni hantu—sana, di gedung yang tampak macam pantat, segerombolan pengemis suara rakyat berjoget merayakan tunjangan ini-itu. Dalam situasi negara yang gonjang-ganjing, dapat dipastikan bahwa yang muncul pertama kali adalah fasisme.
Mari coba mundur ke awal Agustus, ketika muncul desas-desus pelarangan bendera Jolly Roger. Tindakan ini jelas mengindikasikan paranoia politik pemangku kuasa. Sampai-sampai Natalius Pigai, si Menteri HAM, menganggap pengibaran bendera tengkorak tersebut sebagai bentuk makar. Namun, alih-alih dilipat dan dimasukkan dalam laci, pemesanan bendera bajak laut itu melambung tinggi. Larangan justru mengangkat lambang sang Mugiwara ke forum-forum diskusi, dipasang di bak belakang truk-truk besar dan berkibar di aspal jalanan.
Meski sejatinya kartun Jepang belaka, bagaimana pemerintah tak bersikap gentar atas lambang tersebut? Dalam simbol bajak laut tersebut bersemayam api perlawanan yang siap membakar penindasan dan segala bentuk ketidakadilan. Jangan-jangan bendera itulah yang selama ini dimaksud Prabowo sebagai antek-antek asing? Waduh, bisa berabe kalau One Piece sampai dilarang tayang di Indonesia. Terus, saya mau nonton di mana?
Sejalan dengan peristiwa tersebut, Louis Althusser menulis bahwa negara senantiasa memiliki peranti represif, salah satunya berbentuk ide atau ideological state apparatus. Ide ini dapat hadir dalam pelbagai bentuk dan digunakan negara sebagai dogma, sebagai sesuatu yang tak boleh dilanggar. Jika ingkar, dianggap makar. Dengan kata lain, ide itu bersifat represif.
Lantaran menyaru dogma, ide-ide tersebut mendekam persis pada tataran bawah sadar tiap warga negara dan berada di atas kontrol negara. Contohnya, pelarangan bendera One Piece. Secara hukum, pelarangan itu tak berdasar. Pemerintah melarangnya semata sebab gagasan yang terkandung dalam Jolly Roger dianggap dapat mengganggu kontrol ide yang dijalankan negara, seperti “NKRI harga mati” atau ide-ide ultranasionalis-patriotis lainnya. Di sini tampaklah upaya pemerintah dalam menjaga stabilitas negara.
Pertanyaannya, di saat banyak rakyat melarat akibat badai PHK, untuk siapa sebenarnya NKRI itu? Untuk apa pula ia dihargai mati? Ide-ide semacam ini jelas digunakan untuk menjaga kepentingan kelas penguasa—atau jika dalam One Piece: untuk menjaga kepentingan Naga Langit dengan memburu Klan D, Buccaner, dan meluluhlantakkan Pulau Ohara yang berusaha mengungkap Abad Kekosongan.
Lagi pula, negara sudah lama kawin silang dengan kapital. Sudah barang tentu bahwa negara dipakai oleh kapitalis demi menjaga kepentingan ekonominya, untuk mengondisikan pasar. Dengan kata lain, para pemilik modal menjalankan kontrol melalui negara dan beragam perantinya. Namun, kelas penguasa tak hanya memiliki alat berupa ide dalam menjalankan kendali, mereka juga punya aparat atau yang disebut Althusser sebagai repressive state apparatus. Kalau dalam One Piece Pemerintah Dunia memiliki Angkatan Laut untuk melakukan kontrol, di Indonesia ada TNI-POLRI yang siap menggonggong kepada siapa pun yang coba mengganggu kepentingan penguasa. Ah, saya ralat. Bukan menggonggong, lebih jauh lagi: membunuh.
Lalu, sebagaimana ideological state apparatus, repressive state apparatus juga menjalankan hal yang sama. Bedanya, yang satu ini dibentuk sebagai institusi dan dibiayai menggunakan pajak rakyat untuk melancarkan represi kepada rakyat pula. Sebab, sebagai anjing kelas penguasa, institusi itu harus siap siaga, berdiri tegap, sikap sempurna, di barisan paling depan yang tertata rapi untuk menjamin kepentingan tuannya. Di dalam lembaga itu juga berputar ide-ide patriot, bakti negara, dan sebagainya yang tak lebih dari selaput saru kepentingan penguasa. Dari situ, lahirlah Akainu-Akainu baru.
Lema “represif” kemudian melekat pada aparat semata karena sedari awal inheren dalam tubuh mereka. Dan sungguh, tak ada beda antara TNI dan POLRI. Keduanya sama-sama peranti represif negara, keduanya sama-sama pegang senjata. Kita semua tahu, tak ada senjata yang bisa diajak bicara. Jika bisa, tentu tidak akan pernah ada 1.821 orang yang ditangkap, 68 orang yang mendapat kekarasan fisik, 202 orang yang terpapar gas air mata dan water cannon. Dan, niscaya Affan Kurniawan, Septinus Sesa, Muhammad Akbari Basri, Syahrina Wati, Syaiful Akbar, Rusdam Diansyah, Rheza Sendy Pratama, Sumari, Andika Lutfi Falah, dan Iko Juliant Junior, masih bekerja seperti sediakala.
Tak ada Nika di Indonesia. Namun, pastikan genderang pembebasan sang pejuang ditabuh di seluruh penjuru, menggema di setiap pulaunya, dan memekakkan telinga penguasa. Agar kelak, beriring irama genderang yang padu, kita semua dapat menari dalam putaran tawa. Bersama.
Muhammad Jibril menyelesaikan studi sastra di Universitas Airlangga. Saat ini sedang memenuhi fitrahnya sebagai seorang pekerja.
Editor: Asief Abdi