Menu

Mode Gelap
Festival Sastra-Sains 2025, Epistemologi Maut dan Cinta Tentang Roh dan Seks Park dan Roman Klise Mencari Surga dalam Peta Perihal Puisi dan Gejala Kematian Sejarah One Piece, Nika, dan Genderang Pembebasan

Kritik Seni

Negara, Kata


					Foto oleh Ikrar Izzul Haq/Sivitas Kothèka Perbesar

Foto oleh Ikrar Izzul Haq/Sivitas Kothèka

Indonesia tidak lahir dari peristiwa yang sepenuhnya politis. Ia mula-mula hadir sebagai kata. Namun, berapa banyak yang tahu bahwa sebelum semua peristiwa itu, Indonesia lahir dari sesuatu yang tak kasat, sesuatu yang pada awalnya hanyalah suara? Berapa banyak yang tahu bahwa suara itu—sebelum menjadi manifesto politik, konstitusi, juga pekik “Merdeka!”—mula-mula hadir dalam selarik puisi? Barangkali tidak banyak. Pelajaran PKn dan IPS, mungkin telah telanjur mendidik kita memahami sejarah bangsa ini hanya sebagai kronologi peristiwa politik: Sumpah Pemuda, Perumusan Dasar Negara, Proklamasi, Konferensi Meja Bundar, dan seterusnya.

Puisi itu berjudul “Tanah Air”. Ditulis pada Juli 1920, ketika penyairnya masih menginjak usia remaja. Puisi itu pernah dimuat di Jong Sumatra, sebuah majalah kaum muda yang kelak turut andil menyalakan suluh kesadaran berkebangsaan. Puisi itu, persisnya, ditulis oleh Muhammad Yamin—sosok yang lebih dikenal sebagai tokoh politik ketimbang penyair. Dari punggung Bukit Barisan, remaja itu menatap ke bawah, ke sawah, ke telaga, ngarai, dan hutan. Namun, dalam puisinya, yang ia lihat lebih dari sekadar hamparan alam nan permai, tetapi sesuatu yang lebih halus dari segala yang tampak. Itulah tanah, tanah airku, /Sumatera namanya tumpah darahku.

Sesuatu pun kemudian terjadi. Sumatra, yang bagi Belanda hanyalah sebuah koloni bernama “Andalas”, oleh Yamin dijelmakan ke dalam citraan puitis sebagai tanah air. Kata yang kini begitu karib, demikian wajar, bahkan dianggap teknis-administratif itu, pada mulanya adalah metafora seorang penyair. “Tanah airku”, “tumpah darahku”. Sepasang frasa itu—sebelum kini menjadi jargon kosong—mulanya memang terdengar polos, bahkan retoris. Tetapi, justru dari kepolosan itulah, istilah penting kemudian lahir: “tanah air”. Yamin, dengan “Tanah Air”-nya, meletakkan pondasi bagi sebuah bangsa yang bahkan belum maujud. Dari sana kita bisa melihat, Indonesia mula-mula bukanlah entitas politik, melainkan fiksi yang diciptakan dengan kata-kata.

Politik kolonial memberi nama negara yang wujudnya masih mengambang di angan-angan itu Nederlandsch-Indië. Namun, para penyair muda yang kelak menjadi politikus penting, termasuk Yamin, menciptakan istilah lain. Yamin tak bisa mengubah peta, tapi ia bisa mengubah bahasa. Dengan bahasa itulah, ia mengubah kesadaran masyarakatnya. Pada dasarnya bahasa adalah imajinasi yang diterima bersama. Dan Indonesia, sebelum menjadi fakta geopolitik, barangkali adalah imajinasi bersama tersebut. Maka, ketika pada 1921 Yamin menulis puisi bertajuk “Bahasa, Bangsa”, ia menegaskan sesuatu yang terdengar sederhana, tetapi sebetulnya radikal. “Tiada bahasa, bangsa pun hilang,” tulisnya. Kata-kata itu seakan mematri keyakinan di benak siapa pun, bahwa bangsa tidak hanya dibangun dari darah, tanah, dan sejarah nenek moyangnya belaka. Bangsa juga lahir dari bahasa, atau persisnya kesepakatan untuk menyebut diri dengan artikulasi yang sama.

Sumpah Pemuda, kelak pada 1928, mengangkat bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Namun, dari puisi Yamin itu kita tahu bahwa jauh sebelum itu, kata sudah lebih dulu disematkan. Apakah dengan begitu, sebuah bangsa bisa lahir dari sebuah puisi? Pertanyaan ini mungkin terkesan berlebihan, meski saya sama sekali tak bermaksud begitu. Bangsa, kata para sejarawan, lahir dari perlawanan, dari pergerakan organisasi, modernisasi pendidikan, dan tentu saja, perputaran roda ekonomi. Segala hal tersebut betul belaka. Namun, di luar perhitungan-perhitungan itu, bangsa juga lahir dari sesuatu yang lebih samar lagi sulit dijelaskan, yakni imajinasi tentang kebersamaan, juga rasa seiya-sekata yang belum diberi nama.

Nama itu, pada mulanya hanyalah bunyi. Tapi di dalam puisi, kita tahu, bunyi adalah unsur yang berwatak mengikat. Yamin barangkali menyadari itu. Maka, ia menulis, “Di mana Sumatera, di situ bangsa, /Di mana Perca, di sana bahasa.” Bahasalah yang menjahit perca-perca itu menjadi sebuah bangsa. Ketika menulis puisi berjudul “Indonesia, Tumpah Darahku” pada 1928, suara Yamin terdengar lebih lantang dan monumental. Judul puisi itu sendiri sudah menggemakan semacam proklamasi, “Tumpah darahku Indonesia namanya.” Padahal, kita tahu, republik ini masih jauh belaka, belasan tahun dari 1945. Sejarah politik mencatat 28 Oktober 1928 sebagai tonggak. Sementara titimangsa puisi “Indonesia, Tumpah Darahku” sendiri menunjukkan bahwa puisi ini dianggit di Pasundan, dua hari menjelang Sumpah Pemuda ditaja. Seakan nujum yang telah mendahului peristiwa. Seakan politik baru bisa berbicara setelah puisi memberinya kata-kata.

Saya kira, bukanlah pernyataan yang berlebihan jika kita sebut bahwa Indonesia, pada dasarnya, adalah teks sebelum ia menjadi negara. Teks itu berupa puisi, pidato, artikel di majalah pemuda. Akan tetapi, puisi Yamin punya posisi khusus. Ia memberi bentuk emosional. Ia menyalakan hasrat yang tak bisa dijelaskan dengan angka, atau dirumuskan dalam tabel politik. Ia mengikat dengan cara yang halus serupa sebuah rima dalam larik-larik puisi. Dan puisi, barangkali tak pernah sekadar komunikasi. Ia juga transfigurasi, di mana sesuatu yang biasa—pulau, hutan, sawah, gunung—ditarik ke tingkat yang lain sebagai lambang, lalu menjadi imajinasi.

Namun, barangkali kita juga lupa bahwa “Indonesia” pada mulanya adalah imajinasi, adalah utopia—sebuah kata yang lahir bahkan sebelum kita tahu apakah artinya; yang lebih dulu dipercaya ketimbang kenyataan itu sendiri. Jika puisi-puisi Yamin kita baca hari ini, ia mungkin terasa kaku. Retoris. Terlampau penuh seruan. Tapi, pada masanya, mungkin justru corak seperti itulah yang membuatnya bekerja. Ia bukan sekadar permainan estetis, melainkan juga manifestasi dari keyakinan si penyair. Ia ditulis dengan rasa bahwa kata bisa menjelmakan kenyataan.

Pada masa sebuah bangsa masih remang-remang membayangkan wujud pastinya, puisi dengan corak yang (kini terasa) serupa slogan nan optimis demikian, barangkali ialah bentuk yang paling perlu. Tentu saja, kita tak bisa membandingkannya dengan masa kini, di masa ketika kata-kata begitu mudah diucapkan—meski serentak dengan itu, begitu lemah daya ciptanya. Kita punya jargon, slogan, bahkan tagar. Tetapi kata yang mampu melahirkan dunia seperti “tanah air” atau “Indonesia”, betapa jarang pada masa itu. Indonesia, dengan begitu, bukan hanya perjanjian politik, tetapi juga metafora. Metafora yang mula-mula ditulis di Bogor, pada Juli 1920. Ketika seorang pemuda menatap bayang alam Bukit Barisan, dan dari sana ia menyebut: tanah air. Metafora itu kemudian menjadi istilah yang kita gunakan sehari-hari, merayap dari dinding ruang kelas hingga kantor imigrasi. Begitu kuatnya sehingga kita lupa bahwa ia dulu hanyalah selarik puisi. Tap,i sejarah kadang memang berjalan seperti itu. Yang besar lahir dari sesuatu yang rapuh, sebagaimana negara lahir dari kata. Hanya kata.

Bahasa Indonesia sendiri adalah bukti betapa kata bisa mengatasi kenyataan. Ia bukan bahasa ibu siapa pun, melainkan sebuah pilihan. Tetapi karena ia pilihan, ia bisa melampaui pulau, melampaui suku, melampaui teritori. Mungkin benar jika dikatakan: bahasa Indonesia adalah puisi terbesar yang pernah kita tulis bersama-sama. Ia lahir dari keputusan imajinatif, alih-alih perhitungan politis. Dan sejak itu, bangsa ini menulis dirinya sendiri sebagai teks yang tak pernah selesai. Apakah kita masih bisa membaca Yamin hari ini dengan rasa yang sama?

Barangkali tidak. Zaman kita terlalu sinis. Terlalu akrab dengan retorika. Kita curiga pada kata-kata besar. Tapi justru karena itu, puisi Yamin bisa menjadi cermin betapa dulu kata-kata besar pernah dipercaya. Dan karena dipercaya, ia mampu menciptakan kenyataan. Indonesia, sampai kini, tetap sebuah teks yang terbuka. Kita menulisnya ulang setiap hari—dengan politik, dengan konflik, dengan kompromi, juga dengan mimpi. Tapi mula-mula, ia lahir sebagai larik yang sayup: “Itulah tanah, tanah airku.” Indonesia, dengan begitu, bukan hanya sebuah negara. Ia juga sebuah puisi yang belum selesai. Tak pernah selesai.

‎ 

Yohan Fikri adalah penyair dan kritikus sastra.

Editor: Ikrar Izzul Haq

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Park dan Roman Klise

24 September 2025 - 20:31 WIB

Anastomosis Maut dan Cinta

6 September 2025 - 13:00 WIB

Memandang Cinta dari Jauh

3 September 2025 - 16:00 WIB

Banyak dibaca di Kritik Seni