Menu

Mode Gelap
Festival Sastra-Sains 2025, Epistemologi Maut dan Cinta Tentang Roh dan Seks Park dan Roman Klise Mencari Surga dalam Peta Perihal Puisi dan Gejala Kematian Sejarah One Piece, Nika, dan Genderang Pembebasan

Kritik Seni

Mother-Centered Culture Silsilah Duka


					Foto oleh Ikrar Izzul Haq/Sivitas Kothèka Perbesar

Foto oleh Ikrar Izzul Haq/Sivitas Kothèka

Novela Silsilah Duka diawali dengan adegan kematian Ramlah yang mengundang tanya. Bumbu-bumbu “luka”, “perban”, dan “tangis” yang miris, serta adegan mengafani jenazah tampak sangat suram dan agak surealistis.

 

Melampaui Narasi Tunggal

Narasi yang diulang-ulang menciptakan stereotipe terhadap orang-orang dan masyarakat tertentu. Narasi ini kemudian menjadi satu-satunya, sehingga muncullah apa yang disebut narasi tunggal (single narratives). Katakanlah, narasi tentang betapa patriarkal masyarakat tradisional dan tokoh-tokoh perempuan dalam cerita yang selalu terjajah laki-laki. Sampai-sampai, kalau tidak begitu dianggap kurang nyastra.

Banyak yang merasa bahwa sastra haruslah tragis. Baiklah, hal itu sah-sah saja. Namun perlu dicermati perbedaannya. Di dalam sastra yang tragis itu, apakah tokoh-tokoh wanita diposisikan sebagai victim atau agent oleh penulis?

Narasi bahwa Madura adalah masyarakat patriarkal dengan hegemoni laki-laki yang kental dan kultur Islam yang memosisikan laki-laki lebih tinggi, dibalikkan dengan sangat elegan dalam novela ini. Gaya elegan itu tercipta justru karena Dwi Ratih Ramadhany tidak menyadari bahwa ia sedang membalik sebuah narasi besar (hasil bincang singkat saya dengannya). Ia mengatakan, “Itulah yang saya lihat.” Ia melihat, merasakan, mengobservasi, lalu dengan sendirinya, tanpa ia sadari, melampaui teks-teks dan mungkin teori-teori dominan selama ini tentang masyarakatnya.

 

Mother-Centered Culture

Erich Fromm menjelaskan tentang mother-centered culture (kebudayaan yang terpusat-pada-ibu) di mana ibu menjadi pusat penghormatan dan kekuasaan. Wanita, atau sifat feminin, kerap dikaitkan dengan alam, baik itu agraris maupun laut. Maka, dalam masyarakat yang berbasis pertanian atau laut, posisi wanita, terutama yang menjadi ibu, tinggi dan ditinggikan.

Kuatnya posisi ibu digambarkan melalui dominasi tokoh Ebo’ (“ibu” dalam bahasa Madura). Ebo’ Juhairiyah sejak awal menguasai Farid, anaknya, dan memosisikan menantunya, Ramlah, sebagai rival. Konflik di dalam cerita terjadi di seputar Ebo’; ia menjadi sebab-akibat. Bahkan, ia adalah plot itu sendiri.

Ciri kebudayaan yang terpusat-pada-ibu juga tampak dari karakter anak laki-laki. Kuatnya dominasi ibu menjadikan anak laki-laki tidak bisa (atau tidak mau) keluar dari fase infantil menuju kedewasaan. Ia nyaman dengan dominasi ibunya. Ia tinggal di rumah ibunya, rahim ibunya. Ini menjadi masalah saat ia memasuki masa dewasa. Ia tak tahu bagaimana memperlakukan wanita yang ia cintai. Ia tak mampu menjadi dewasa, sebab menjadi dewasa berarti menjadi ayah. Ia tak mampu menjadi ayah, karena ia benci ayah, karena ayah adalah rivalnya. Meskipun ibu menyakitinya, ia tetap nyaman dalam rahim ibu dan perlindungan ibu. Farid tampak sebagai anak laki-laki semacam itu. Laki-laki pengidap oedipus complex. Dan ini lazim terjadi pada kebudayaan yang terpusat-pada-ibu akibat kuatnya dominasi ibu dan lemahnya posisi ayah. Menariknya, Islam, yang kerap dianggap sebagai pembawa patriarki ke dalam masyarakat tradisional, justru menjadi sumber legitimasi atas kuatnya posisi ibu.

“Surga itu di bawah kaki Ebo’ ini! Kalau kamu nyakitin hati Ebo’, neraka tempatmu (hal. 94).” Farid juga menasehati adiknya, Kholila, agar meminta maaf kepada Ebo’: “Doa seorang ibu itu lebih cepat sampai ke Tuhan dan mudah dikabulkan” (hal. 120).

Ketika para feminis muslim di luar negeri berjuang menguatkan intepretasi teks keagamaan dari sudut pandang wanita, di sini Dwi Ratih Ramadhany justru menggambarkan betapa bebas wanita melakukannya. Misalnya, saat tokoh Kholila menasehati keponakannya, Majang, tentang menstruasi: “Nggak usah takut dosa karena nggak boleh salat saat menstruasi. Justru kamu dapat libur dari Allah” (hal. 28). Dengan kata lain, bagi Kholila, Allah memanjakan wanita dengan memberinya liburan; menstruasi bukan hukuman, bukan kotoran, yang menjadi sebab wanita dilarang beribadah kepada Tuhan dan haram disentuh.

 

Sexually Liberated Women

Sekian dekade lalu, kemunculan penulis-penulis wanita disebut-sebut “mendobrak” karena berani mengangkat tokoh-tokoh wanita yang “merdeka secara seksual”. Merdeka didefinisikan sebagai seks di luar pernikahan atau mempunyai partner seksual lebih dari satu atau menerabas norma lama tentang seks. Umumnya, tokoh-tokoh wanita yang “merdeka” secara seksual ini, adalah kaum urban, hidup di perkotaan, dan berpaham sekuler. Lalu terciptalah dikotomi. Wanita tradisional digambarkan sebaliknya: lugu, pasrah, menjadi objek seks, dikawin-paksa, atau dipoligami secara sengsara. Atau dengan kata lain tidak mandiri dan tidak merdeka secara seksual.

Sesungguhnya, wanita yang merdeka secara seksual adalah ia yang mampu menghendaki dan memutuskan hidup yang mereka inginkan, serta lelaki yang mereka dambakan. Ramlah menginginkan Farid; ingin bercinta dengan Farid, ingin hidup dengan Farid. Kalau tidak dengan Farid, ia bisa menata lagi untuk lelaki lain.

Optimisme saya bersemi sejak halaman 14. Di sini Ramlah ngotot ingin segera dilamar Farid, kekasihnya. Ramlah berkata, “Saya nggak mau nangis-nangis minta dinikahi. Iman saya juga nggak seberapa untuk sombong ngomongin zina. Ya, memang takut dosa, sedikit, sih. Tapi kalau memang cinta, bikin janji sama Allah langsung. Kita menikah atau Mas Farid berhenti dekati saya” (hal. 15).

Wanita tradisional yang kerap digambarkan pasrah, tak berpendidikan, tak punya daya bila berhadapan dengan laki-laki, bisa negesi (menyuruh tegas) pacarnya, bahkan mengancam. Sedangkan Kholila, untuk melawan dominasi ibunya, bahkan sanggup membuat keputusan secara sadar yang memperlihatkan kemerdekaan seksualnya. “Kholila memanfaatkan Deni (pacarnya) untuk ambisinya mengalahkan ibunya sendiri” (hal. 102).

Di bab-bab terakhir, cerita berkilas balik ke masa muda Ebo’. Juhairiyah muda ini pun memperlihatkan kemerdekaan seksualnya sebagai seorang wanita tradisional: ia memilih lelaki dan masa depan yang ia kehendaki, rajin bersolek, minum jamu supaya suaminya makin lengket. Setelah kepercayaan dirinya meningkat, ia menginginkan nafkah lebih dan perhatian lebih, dan mulai melakukan hal-hal berani, tidak pasrah, tidak diam. Wanita-wanita di dalam novela ini aktif secara seksual, tidak pasif.

 

Tetapi …

Ada dua hal yang saya sayangkan dalam novela ini. Pertama, keenganan Dwi Ratih untuk menyebut Madura di dalam teks. Ia hanya menuliskan: “Jembatan besar dan panjang antara pulaunya dan kota metropolitan yang tak pernah sepi” (hal. 100). Saya masih percaya bahwa sastra adalah sebentuk dokumentasi, maka menuliskan aspek-aspek inti di dalam teks akan menguatkan teks tersebut.

KeduaEbo’ tua adalah wanita yang sangat berkuasa (hal. 63) justru karena ia tradisional. Ketradisionalannya terlihat dalam bagaimana dia percaya pada mitos-mitos. Perilakunya (menangis ngejjel dan memukul-mukul dada), keyakinannya bahwa Ramlah kesurupan, kurang iman, dan durhaka kepada ibu mertua (hal. 66). Namun ketika cerita flash back ke masa mudanya, nuansa tradisional dan karakter tradisional itu malah lenyap. Pembaca justru mendapati sosok yang mirip wanita urban dengan cara berpikir urban, serta masyarakat sekitar yang serupa masyarakat industri.

 

Epilog

Akhirnya, novela yang padat ini bukan sekadar kisah tentang tragisme dan tragedi. Bila mengkajinya dari sisi psiko-sosial, akan kita temukan kekayaan karakter secara individual, sosial, maupun kultural.

Suatu cerita yang menggambarkan kebudayaan yang terpusat-pada-ibu, yang dengan sendirinya melawan narasi tunggal tentang hantu patriarki ini ditulis dengan elegan dan tanpa tendensi muluk-muluk dari penulisnya. Ia tidak bermaksud “menunjukkan sesuatu”, tetapi justru dengan cara seperti itu ia berhasil menampakkan hal tersebut. Dengan demikian, Silsilah Duka telah membalik narasi tunggal tentang masyarakat Madura.

 

Aquarina Kharisma Sari adalah peneliti, penulis, penerjemah, dan budayawan.

 

Editor: Ikrar Izzul Haq

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Park dan Roman Klise

24 September 2025 - 20:31 WIB

Anastomosis Maut dan Cinta

6 September 2025 - 13:00 WIB

Memandang Cinta dari Jauh

3 September 2025 - 16:00 WIB

Banyak dibaca di Kritik Seni