Pamekasan — Bulan Mei selalu datang dengan napas sejarah. Di dalamnya, kita mengenang Hari Polisi Militer TNI pada 11 Mei dan Hari Kebangkitan Nasional pada 20 Mei. Dua momen penting ini bukan hanya menjadi pengingat, tetapi juga pemantik semangat untuk menengok ulang perjalanan panjang bangsa. Mengambil semangat dari kedua peringatan tersebut, komunitas Sivitas Kothèka kembali menggelar Koloman Budaya ke-98 dengan mengusung tema yang tak biasa, “Riwayat Militer Pra-Indonesia”.
Minggu malam, 25 Mei 2025, Kafe Balada di Jalan Lawangan Daya 6 menjadi markas kecil yang tak hanya dipenuhi oleh aroma kopi panas dan dingin yang terletak di atas meja, tetapi juga oleh cerita-cerita pertempuran, strategi perang, dan dinamika kepatuhan dalam militer masa lampau. Di balik suara grinder kopi dan denting gelas, suasana perlahan membangun nuansa sejarah yang hidup, mengalir di antara rak-rak buku dan layar visual TV yang menampilkan salindia materi malam itu.

Acara dimulai pukul 19.20 WIB, diawali oleh prolog dari Oci yang menyambut hadirin dengan hangat. Qoribul Latif atau akrab disapa Qoqo bertindak sebagai moderator malam itu. Ia memperkenalkan pemateri yang sudah duduk di kursi tunggu sejak satu jam sebelumnya, Ainun Novaldi, seorang guru sejarah yang dikenal disiplin dan tajam dalam menyampaikan materi. Lahir di Desa Gugul, Tlanakan, Noval menempuh pendidikan pascasarjana di Universitas Negeri Malang dan kini mengajar di SMA Negeri 4 Pamekasan.
Begitu berdiri di mimbar, Noval tak membuang waktu. Dengan suara tegas, ia menyatakan bahwa pembahasannya malam itu akan lebih terfokus pada dua peristiwa besar: Perang Diponegoro (1825–1830) dan Pertempuran 10 November 1945. Keduanya ia pilih bukan hanya karena signifikansi historisnya, tetapi karena kesamaan strategi yang digunakan, perang gerilya.
Ia menjelaskan bahwa dalam sejarah militer, strategi bukan hanya soal medan dan senjata, tapi juga soal jiwa dan ideologi. “Sebab utama mengapa militer patuh bukan hanya karena perintah, tapi karena keyakinan, sebagaimana dalam konsep manunggaling kawula gusti, penyatuan rakyat dengan pemimpinnya,” ujarnya. Gagasan ini ia tarik dari konteks budaya Jawa dan perjuangan spiritual yang melekat dalam perang tradisional.

Dalam paparannya, Noval mengajak audiens menjelajahi zaman berdasarkan klasifikasi senjata: mulai dari zaman batu, zaman hindu, zaman kesultanan Islam, senjata api, hingga periode pra-kemerdekaan. Ia memetakan struktur militer kerajaan Islam, lalu membandingkannya dengan militer barat dan kolonial seperti KNIL (tentara Hindia Belanda) dan Kenpeitai (militer Jepang). Dari perbedaan seragam hingga struktur komando, semua dibedah secara rinci tanpa mengurangi minat audiens.
Salah satu momen yang paling menyita perhatian terjadi ketika Noval mengajak peserta membayangkan medan tempur 10 November, dia menampilkan kata-kata yang ia dapat saat penelitian skripsi.”Bung Tomo iku omongane ae, pas pertempuran ora ketok nangdi wujude,” ucap salah seorang Veteran Perang Surabaya berdasakan wawancara yang ia lakukan pada tahun 2018). Ia berucap sambil menunjuk foto Bung Tomo yang terpampang di salindia. Para peserta tampak tertegun, termasuk Moh. Dhaifullah, siswa SMPN 5 Pamekasan yang kemudian berkomentar, “Berkat acara tadi malam saya mendapat ilmu yang tidak pernah diajarkan di sekolah tentang sejarah perang dan tentara.”

Tak hanya menyampaikan data, Noval juga menyelipkan refleksi kritis tentang bagaimana militer sebagai institusi selalu dipengaruhi oleh struktur sosial dan budaya zamannya. Diskusi mengalir ringan meski topik yang dibahas terbilang dalam. Lewat diskusi ini, peserta tidak sekadar mengingat sejarah, tetapi merenungi jejaknya yang masih terasa hingga kini.
Saat waktu menunjukkan pukul 22.30 WIB, Qoqo menutup acara dengan penuh optimisme. Meski kopi di meja mulai mendingin dan ruangan mulai lengang, bekas-bekas diskusi itu tetap tertinggal di kepala dan hati peserta. Di tengah rak buku dan sisa uap minuman, sejarah militer bukan lagi sekadar catatan masa lalu, ia menjadi cerita hidup yang terus disampaikan dari generasi ke generasi.
Editor: Putri Tariza
Foto: Kelik Tri Rahmadi