Menu

Mode Gelap
Festival Sastra-Sains 2025, Epistemologi Maut dan Cinta Tentang Roh dan Seks Park dan Roman Klise Mencari Surga dalam Peta Perihal Puisi dan Gejala Kematian Sejarah One Piece, Nika, dan Genderang Pembebasan

Koloman Budaya

Mengasah Pisau Karl Marx


					Mengasah Pisau Karl Marx Perbesar

Pamekasan—Jumat 8 Agustus 2025, Kafe Balada kembali jadi panggung Koloman Budaya ke-101 yang dihelat Sivitas Kothèka. Dalam acara bertajuk “Mengasah Pisau Karl Marx”, sang pemateri, Muhammad Jibril, mengajak para anggota serta hadirin untuk meninjau kembali pemikiran Karl Marx, bukan sebagai dogma, melainkan sebagai sebuah alat kritik yang tajam. Diskusi ini menjadi jembatan antara gagasan-gagasan besar dengan realita yang kerap luput dari perhatian.

Pemuda yang akrab disapa Jai itu mulai memberi gambaran dengan perbandingan tajam antara idealisme Hegel dan materialisme Marx. Jai menjelaskan bahwa Marx dan Engels menolak pandangan yang menganggap ide sebagai fondasi realitas. Sebaliknya, mereka berargumen bahwa materi dan kondisi ekonomi merupakan penentu utama bagi perkembangan sejarah. “Mengasah Pisau Karl Marx” sendiri, bagi Jai, ialah metafora dari upaya mengkritisi dunia lewat teori-teori Marx.

Dalam pemaparannya, alumnus Unair tersebut tak segan mengkritik idealisme yang dianggapnya menjebak pemikiran ke dalam solipsisme atau ketidakjelasan, di mana realitas di luar kesadaran manusia menjadi dipertanyakan. Jai berpendapat bahwa cara pikir demikian akan membuat kita buta terhadap fakta-fakta objektif dunia.

Ia mengajak audiens untuk kembali pada konsep dialektika yang dihidupkan kembali oleh Marx, tapi dengan landasan materialisme. Jai menjelaskan bahwa dialektika bukan sekadar adu argumen, melainkan cara untuk melihat perubahan dan kontradiksi dalam materi. “Dialektika harus dilihat secara realis, yaitu melihat hubungan dan perubahan materi dari waktu ke waktu,” ujar dia. Melalui metode ini, ia percaya sejarah dapat dibaca sebagai proses pergerakan materi yang dinamis.

Lelaki lulusan jurusan Sastra Indonesia itu menyimpulkan bahwa Materialisme Dialektis Historis (MDH) merupakan cara pandang untuk memahami sejarah. “Marx menggunakan MDH untuk mengkritik kapitalisme dan memahami pertentangan kelas sepanjang sejarah, dari masyarakat primitif hingga kapitalisme modern,” jelas dia. Ia memberikan contoh bagaimana kondisi material, seperti cara produksi, membentuk struktur masyarakat dan memicu konflik.

Menariknya, Jai juga menyentuh peran ide dan perasaan dalam kerangka MDH. Meskipun imaterial, ia menegaskan bahwa keduanya tetap penting. “Ide dan perasaan, meskipun imaterial, tetap memiliki posisi penting dalam MDH. Namun, ide dan perasaan selalu muncul setelah adanya materi, sebagai hasil dari dialektika seseorang dengan materi tersebut,” kata pemuda itu.

Malam itu audiens dibuat terpukau, diskusi tidak hanya menjadi ajang untuk mendengarkan teori, tetapi juga untuk merenungkan relevansi refleksi Marx di tengah zaman yang terus berubah. Melalui kata-kata Jai, pisau logika itu kembali diasah, mengingatkan para hadirin bahwa berpikir kritis merupakan langkah awal memahami dan mengubah realitas.



Editor: Asief Abdi

Foto: Mahrus Shofi

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Festival Sastra-Sains 2025, Epistemologi Maut dan Cinta

1 Oktober 2025 - 13:34 WIB

Foto oleh Ahmad Naufal Amini

Warung Madura sebagai Dramaturgi

2 Juli 2025 - 14:05 WIB

Madura, Musik, Harmoni

16 Juni 2025 - 14:37 WIB

Banyak dibaca di Koloman Budaya