Gerimis sebentar menyapa bumi sebelum acara pada malam itu, Minggu, 20 April 2025, dimulai. Aroma ruangan yang menyatu dengan wangi beragam kopi menyambut siapa saja yang melangkah masuk ke Kafe Balada, Jalan Lawangan Daya 6. Di balik jendela yang memperlihatkan lalu lalang kendaraan, suasana terasa berbeda: penuh, hangat, sekaligus sarat kontemplatif. Rak-rak buku yang berjajar menjadi saksi Koloman Budaya Sivitas Kothèka yang kini telah menginjak edisi ke-97.
Di tengah waktu yang berjalan perlahan, dua mahasiswa Universitas Madura, Irmalia Putri dan Zainul Arifin, melangkah masuk ke Kafe Balada untuk pertama kalinya. “Saya sangat antusias menghadiri acara ini karena tertarik dengan karya yang akan dibahas, Musyawarah Burung dan Serat Dewa Ruci. Datang lebih awal, soalnya takut ketinggalan,” ucap Irmalia sembari menikmati seduhan kopi khas Balada.
Pukul 19:30 WIB, kursi-kursi mulai terisi oleh puluhan penonton yang memenuhi sudut Balada. Antusiasme terpancar jelas. Beberapa dari mereka membawa buku catatan, sebagian lainnya tampak menyesap kopi sembari berbincang ringan. Tidak lama kemudian, suara tegas Royyan Julian menyambut penonton sekaligus menyampaikan prolog disusul suara lembut moderator malam itu, Riya Mustika Sari, dengan senyum manis nan hangat membuka acara.
Tema bulan ini, “Ziarah ke Dalam Diri”, terasa begitu menggugah. Dua karya agung menjadi poros bahasan: Musyawarah Burung dan Serat Dewa Ruci. Keduanya bukan sekadar teks sastra klasik, melainkan cermin bagi siapa saja yang hendak menyelami hakikat keberadaan. Seorang sarjana Bahasa dan Sastra Indonesia dari Universitas Airlangga sekaligus editor laman sivithaskotheka.org, Ikrar Izzul Haq (atau yang karib disapa “Iko”), menjadi pembicara malam itu.
Dengan suara yang tenang tapi tegas, Iko membawa audiens masuk ke kedalaman teks. Ia menjelaskan bahwa Musyawarah Burung karya penyair-sufi Persia Farid Attar adalah alegori dari perjalanan spiritual—di mana burung-burung sebagai representasi jiwa manusia—hanya untuk menemukan bahwa yang mereka cari ternyata adalah diri; sebuah gambaran tentang keesaan yang ditemukan ketika dualitas lenyap.
Sementara itu, Serat Dewa Ruci karya Yasadipura I, menurut Iko, memuat perjuangan fisik dan batin seorang tokoh (Werkudara) dalam menembus samudra untuk mencari tirta amerta. Namun, justru yang ditemukan adalah sesosok bertubuh mungil—Dewa Ruci—yang meminta Werkudara untuk masuk ke dalam perut-N1ya. Di situlah cermin keilahian terpantul dari kedalaman batin, bukan dari luar. “Bila keduaan lenyap, keesaan ditemukan,” ungkap Iko, mengutip salah satu anekdot sufi dalam Musyawarah Burung yang menjadi landasan kedua teks tersebut.
Diskusi malam itu semakin hidup ketika audiens turut meramaikan dengan pertanyaan-pertanyaan yang cerdas dan kritis. Diskusi menjadi semakin kaya ketika dua dosen Universitas Annuqayah, Musthofa dan Fadilah, turut memberikan pandangan. Mereka membandingkan pengalaman rohani dalam Serat Dewa Ruci dengan derajat pencapaian dalam filsafat dan tasawuf, menjembatani antara teks klasik dan kehidupan pesantren kontemporer.
Layar di depan penonton menampilkan alur dan metafora dari kedua karya yang memperdalam pemahaman serta memperkaya tafsir. Penonton masih enggan beranjak, larut dalam perenungan masing-masing. “Saya sepertinya juga terhasut jebakan Hudhud,” ujar Iko sembari tertawa kecil. “Ziarah ke dalam Diri” ternyata tak harus menempuh jalan kesunyian. Ia bisa juga dilalui dengan dentingan cangkir kopi dan diskusi bersama orang-orang yang punya hasrat yang sama: mencari, menelaah, dan memahami.
Menjelang pukul 22:00 WIB, suasana mulai menghangat oleh rasa puas dan semangat yang tersisa. Edo, Ketua Pelaksana Koloman Budaya ke-97, menyampaikan refleksinya dengan mata yang berbinar, “Antusiasme malam ini luar biasa, lebih dari yang saya bayangkan. Semoga semangat ini tetap terjaga di Koloman Budaya bulan-bulan berikutnya.”
Membaca Musyawarah Burung dan Serat Dewa Ruci bukan hanya tentang menyelami teks, melainkan juga perkara menyelami diri. Di tengah dunia yang terus bergerak cepat, acara ini menghadirkan jeda: tempat untuk menimbang ulang arah, menoleh ke dalam, dan mungkin menemukan serpihan makna yang lama tersembunyi.
Editor: Ikrar Izzul Haq
Foto: Kelik Tri Rahmadi