Menu

Mode Gelap
Festival Sastra-Sains 2025, Epistemologi Maut dan Cinta Tentang Roh dan Seks Park dan Roman Klise Mencari Surga dalam Peta Perihal Puisi dan Gejala Kematian Sejarah One Piece, Nika, dan Genderang Pembebasan

Esai Budaya

Memaknai Bahasa, Memahami Orang Lain


					Foto oleh Ikrar Izzul Haq/Sivitas Kothèka Perbesar

Foto oleh Ikrar Izzul Haq/Sivitas Kothèka

Bagaimana melihat dunia dan menjalani hidup yang penuh dengan gemerlap makna? Bagaimana menghasilkan makna kehidupan dalam ruang lingkup signifikansi?

Barangkali, makna merupakan jalan panjang bagi bahasa; baik bahasa verbal maupun nonverbal. Cakupan makna tidak terbatas pada kajian-kajian di ruang ilmu pengetahuan saja. Akan tetapi, makna bahasa juga begitu dekat dengan masyarakat umum selaku pengguna bahasa, karena bahasa memiliki fungsi untuk membangun persekutuan fatis antara penutur dan mitra tutur (pendengar).

Persoalan bahasa kerap membuat cemas sekelompok filsuf dan matematikawan. Mereka sepakat bahwa sebuah makna tidak terlahir dari rahim kekosongan, melainkan dimulai dari sebuah narasi ‘Apa arti dari sebuah kata? Apa maksud dari sebuah kalimat dan sejatinya untuk apa?’ Sejarah mencatat bahwa kegelisahan para pemikir itu terjadi pada kurun tahun 1920—1930-an awal. Masa yang penuh kegundahan itu melibatkan beberapa tokoh penting di antaranya: Moritz Schlick (1882-1936), Rudolf Carnap (1891-1970), Curt Godel (1906-1978), Otto Neurath (1882-1945), Carl Hempel (1905-1997) dan Hans Reichenbach (1891-1953).

Tentu, bahasa bukan hanya tentang ujaran. Dalam bahasa ada cinta, harapan, kebahagiaan, rasa sakit, dan jiwa-jiwa yang terus hidup sepanjang waktu berjalan. Bahasa bukan hanya tentang apa-apa yang bisa dibaca, tetapi juga apa-apa yang mampu menyelami sela-sela rumitnya kehidupan; yang kemudian kita sebut sebagai sense of language.

Saya membayangkan para filsuf berdiskusi panjang sambil sesekali berbantah-bantahan terkait narasi besar kebahasaan. Sampai kemudian, lahir sebuah hipotesis mutakhir dan menjadi kesepakatan bersama. Keabsahan suatu bahasa bisa diterka dari sejauh mana sebuah kalimat tidak meninggalkan rasa skeptis. Oleh karenanya, makna sebuah bahasa bisa saja batal jika kebenarannya tidak dapat diuji. Maka dari itu, bahasa harus dapat diverifikasi supaya ia bermakna.

Bahasa tentu saja melahirkan informasi logis, hal itu kemudian banyak dianut oleh beberapa filsuf di belahan bumi Eropa dan Amerika. Misalnya Alfred J. Ayer yang ikut menyebarluaskan logika positivisme logis, yang belakangan disebut sebagai aliran teori makna verifikasionis. Jika tertarik dengan informasi makna dan verifikasi bahasa kita bisa membaca karyanya yang berjudul Language, Truth and Logic, terbit pertama kali pada tahun 1936.

Pada tahun 1995 yang penuh dengan kemilau ilmu pengetahuan, seorang mahasiswa bernama John Austin mencatat penemuannya perihal pengembangan filsafat bahasa. Ia mengembangkan teori selama dua belas pertemuan kuliah yang dikemasnya dalam bentuk makalah. Temuan itu kemudian berhasil ia terbitkan dalam buklet yang berjudul How To Do Things with Words. Lalu, kontribusi apa yang John Austin berikan untuk kebaharuan filsafat bahasa pada waktu itu?

Semua bermula ketika Austin mulai mengklasifikasikan kerangka berpikirnya menjadi dua bahasan penting. Dua kerangka pemikirannya adalah konstatif dan performatif. Apa yang membedakan dua kerangka itu? Austin mendefinisikan konstatif sebagai sebuah pernyataan atau penegasan yang tidak menghasilkan respons atau tindakan apapun. Sedangkan performatif adalah sebaliknya, yaitu ujaran atau pernyataan yang menghasilkan respons atau tindakan yang mampu menggerakkan seseorang untuk berbuat sesuatu.

Yang membuatnya menarik adalah, kritik Marina Sbis atas buah pikir Austin tersebut. Ia menolak kerangka berpikir Austin yang dikemas dalam esai yang berjudul ‘‘Cara Membaca Austin’’:

Sejak awal perbedaan konstatif dan performatif sudah memainkan peran instrumental. Analisis tuturan performatif memberikan pendekatan tindakan yang akan dilakukan setelah tuturan dilakukan. Performatif adalah respon yang mampu menggerakkan sedangkan konstatif hanyalah manusia jerami. Ia tidak mampu menggerakkan atau merespon sesuatu apapun, sifatnya pasif, hanya berupa ujaran saja. Jadi, melakukan sesuatu hasil dari sebuah argumen yang kompleks adalah klaim bahwa semua ujaran harus dianggap sebagai sebuah tindakan. Ujaran dapat dinarasikan sebagai sebuah tindakan melalui ujaran performatif. Tentu, argumen ini berbentuk pembuktian dengan kontradiksi yang saling berkelindan.
(Sbis 2007 : 462f.)

Akan tetapi, seiring berkembangnya penelitian terkait kebahasaan, dikotomi dasar yang ditawarkan Austin (konstatif dan performatif) mulai ditanggalkan. John Austin kemudian membagi pemikiran terbarunya ke dalam beberapa klasifikasi baru yang dikenal dengan istilah lokusi, ilokusi, dan perlokusi. Makhluk macam apa tiga itu? Pertama, lokusi merupakan tindak tutur yang memiliki makna tertentu. Kedua, ilokusi adalah tindak tutur yang memiliki kekuatan tertentu terhadap si mitra tutur. Dan yang terakhir, perlokusi merupakan tindak tutur yang sudah mencapai efek psikologis bagi si mitra tutur, sehingga mampu menghasilkan respons dan tindakan.

Belakangan, John Austin kembali merevisi anggapannya bahwa tindak tutur lokusi juga merupakan tindak tutur ilokusi. Jadi, keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Austin berpikir bahwa keduanya sama-sama tindakan melakukan sesuatu, seperti bertanya, menjawab pertanyaan, memerintah sesuatu, meminta maaf, membuat janji, dan menepati janji.

Tidak hanya itu, Austin juga mulai melengkapi teori tindak tuturnya menjadi kerangka kerja di mana semua tindak tutur harus memegang teguh tiga prinsip, yakni prinsip fonetik, prinsip fatis, dan prinsip retik. Austin mendefinisikan fonetik sebagai sebuah tindak pengucapan bunyi-bunyi tertentu. Sedangkan prinsip fatis adalah tindakan yang hanya mengucapkan kata-kata tertentu. Kemudian, prinsip retik adalah tindak pengucapan kata-kata yang mempunyai makna tertentu.

Fenomena filsafat bahasa yang ditawarkan John Austin bisa kita lihat pada sebuah fragmen cerita berikut:

Ada seorang perempuan yang memiliki teman laki-laki. Pada suatu malam, teman laki-laki ini bertamu ke rumah si perempuan. Karena asyik mengobrol sedangkan jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, ibu si perempuan keluar dari ruang tamu dan mengatakan “Sudah pukul berapa ini?”

Pertanyaan si Ibu di atas bisa kita analisis ke dalam teori tindak tutur John Austin (lokusi, ilokusi, dan perlokusi). Pertanyaan ‘Sudah pukul berapa?’ dari sudut pandang lokusi hanya berupa pengertian seputar kewaktuan pada saat itu. Dan si laki-laki bisa dengan mudah menjawab ‘Waktu menunjukkan pukul sepuluh malam.’ Akan tetapi, Jika dilihat dari konteks ilokusi, pertanyaan ‘Sudah pukul berapa?’ mengarah pada si laki-laki yang sudah harus mengakhiri obrolannya karena tidak baik bertamu ke rumah perempuan di atas pukul sembilan malam. Sedangkan dari perspektif perlokusi, pertanyaan ‘Sudah pukul berapa?’ mengindikasikan bahwa si laki-laki harus segera pulang sebab jam menunjukkan pukul sepuluh malam, dan itu adalah waktu untuk beristirahat.

Dari beberapa tawaran pemikiran John Austin mengenai filsafat bahasa yang sudah dipaparkan, pembaca diajak untuk mengerti fenomena apa yang termuat dalam suatu tuturan. Jelas, bahasa mengandung maksud yang begitu kompleks sehingga penting mendalami filsafat bahasa John Austin. Dari tindak tutur yang dikemas dalam bentuk ujaran, mitra tutur menjadi paham langkah apa yang harus dilakukan. Mempelajari bahasa berarti menuntut si pembelajar untuk lebih peka terhadap bahasa, alih-alih hanya mengerti maksud yang disampaikan orang lain. Mempelajari bahasa membawa kita untuk lebih menghormati perasaan dan berempati kepada orang lain.

 

Fahrus Refendi adalah Kepala Sekolah SDI Mabdaul Falah yang kini mendalami ilmu keguruan dan ilmu pendidikan di Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang.

 

 

Editor: Ikrar Izzul Haq

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Tentang Roh dan Seks

27 September 2025 - 11:52 WIB

Foto oleh Asief Abdi/Sivitas Kothèka

Mencari Surga dalam Peta

20 September 2025 - 13:00 WIB

Foto oleh Asief Abdi/Sivitas Kothèka

Perihal Puisi dan Gejala Kematian Sejarah

17 September 2025 - 12:00 WIB

Banyak dibaca di Esai Budaya