Menu

Mode Gelap
Festival Sastra-Sains 2025, Epistemologi Maut dan Cinta Tentang Roh dan Seks Park dan Roman Klise Mencari Surga dalam Peta Perihal Puisi dan Gejala Kematian Sejarah One Piece, Nika, dan Genderang Pembebasan

Esai Budaya

Melawat Kartodikromo: Sejak Sebelum PKI sampai Negeri yang Amat Puisi


					Foto oleh Ikrar Izzul Haq/Sivitas Kothèka Perbesar

Foto oleh Ikrar Izzul Haq/Sivitas Kothèka

“Saya tidak percaya ada penulis yang berbahaya; yang berbahaya adalah minat pembaca.”

Octavio Paz, An Erotic Beyond: Sade

 

Menyoroti sejarah puisi di Indonesia, banyak hal yang saya kira perlu didudukkan ulang. Saya ingat, A. Teeuw, dalam bukunya Sastra Indonesia Modern (1967) mengamati bahwa banyak karya sastrawan yang dekat dengan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat)—organisasi kebudayaan yang berafiliasi dengan PKI—menghilang dari wacana publik setelah tahun 1965. Tidak hanya para penulis yang dibungkam, tetapi karya-karya mereka juga dijauhkan dari publik, sehingga generasi baru tidak memiliki akses terhadap bagian penting dari sejarah sastra Indonesia. Begitu kira-kira pernyataannya.

Sejak mula-mula hingga kini, puisi Indonesia telah melalui banyak transformasi, baik dari aspek bentuk dan (mungkin) semangat ideologis yang dibawa oleh tiap-tiap zaman. Perubahan-pergeseran itu terus menciptakan pertalian yang memperlihatkan sejarah puisi dan kepenyairan di Indonesia. Saya sepakat dengan Gramsci, bahwa pertalian (dinamika kesusastraan) semacam ini merupakan proses dari berbagai konflik dan kompromi. Dari situ, suatu kelas yang fundamental akan muncul sekaligus sebagai yang dominan dan direktif. Ia menjadi pusat kontrol atas dinamika yang ada; mengarahkan sekaligus mendisiplinkan.

Mengenai sejarah kesusastraan Indonesia, khususnya puisi, saya sempat bertanya-tanya dan merenung hingga sekarang: Mengapa sejarah puisi di Indonesia, secara kanonis, nyaris tidak pernah bermula dari buku-buku puisi gubahan pujangga yang dicap “kiri” atau di luar pengakuan estetika Balai Pustaka dan Pujangga Baru? Saya ingat satu nama yang mungkin akan tampak asing dalam peta historis puisi dan kepenyairan Indonesia, yakni Mas Marco Kartodikromo.

Mas Marco mungkin lebih dikenal sebagai jurnalis daripada penyair atau sastrawan. Tapi yang lebih ekstrem, dilema pelabelan itu mungkin sudah terkubur oleh stigma negatif turun-temurun: komunis. Saya juga melihat, kalangan sarjana dan kritikus sastra enggan menempatkan Marco dalam sejarah perpuisian Indonesia, entah mengapa. Apakah karena bahasa dalam puisi-puisi Sair Rempah-Rempah yang sangat “terang” dalam melawan, atau memang citra komunis yang membuatnya tersisih dari benang-benang legitimasi kepenyairan?

Jika kita perhatikan lebih saksama, ingatan baku mengenai sejarah puisi mayoritas mengacu pada M. Yamin, Sanusi Pane, dan Roestam Effendi di masa 1920-an. Pada masa 1930-an juga muncul nama-nama besar, seperti Amir Hamzah, Sutan Takdir Alisjahbana, dan JE Tatengkeng. Ketokohan mereka dalam arus perkembangan puisi dibuktikan dengan publikasi di majalah dan penerbitan buku. Namun, di sisi lain ketokohan dan karya-karya Marco Kartodikromo tak mendapat sorotan.

Sebagai penyair yang memiliki perhatian besar terhadap nasib bangsa, nama Marco Kartodikromo jarang disinggung oleh sejarawan ataupun kritikus sastra Indonesia. Maka, di sini saya akan mencoba membaca dan mempertanyakan kembali posisi Marco Kartodikromo sebagai penyair dan bagian dari sejarah puisi Indonesia lewat karya-karya yang pernah ditulisnya.

 

Solidaritas dan Kesetaraan

Di luar kontroversi yang berjalin kelindan itu, saya tetap melihat Mas Marco sebagai seorang jurnalis dan penulis yang progresif. Sebelum bekerja sebagai jurnalis, Mas Marco pernah terlibat dalam perkeretaapian nasional, kemudian bekerja untuk Medan Prijaji, Saro Tomo, dan Doenia Bergerak. Mas Marco adalah seorang wartawan yang pada awalnya memperjuangkan dan menyebarluaskan gagasannya dalam bahasa Jawa, tetapi kemudian beralih ke bahasa Melayu dengan keyakinan bahwa dengan bahasa itu gagasan-gagasannya bisa menjangkau khalayak ramai. Beberapa kali, penyair, novelis, sekaligus wartawan ini harus berhadapan dengan pengadilan karena dianggap melanggar peraturan pers.

Buku puisi Marco yang menunjukkan tanggapannya terhadap situasi sosial politik pada masa itu adalah Sair Rempah-Rempah. Buku itu diterbitkan oleh N.V Sinar Jawa, Semarang (1918). Berisi delapan puisi panjang dengan judul, antara lain, “Sama Rasa Sama Rata”, “Bocah Angon”, “Kemardika’an”, “Tabeat Apakah?”, “Penuntun”, “Jawiyah”, “Dari Negri Blanda”, dan “Bajak Laut”. Lewat syairnya, Mas Marco menunjukkan sisi gelap politik kolonialisme Belanda. Karangan-karangan Mas Marco pada umumnya menentang berbagai kebijakan pemerintah Hindia Belanda dengan keras. Karena itulah ia beberapa kali dituntut, bahkan dipenjara.

Sair inilah dari pendjara,
Waktoe kami baroe dihoekoemnja,
Di-Weltevreden tempat tinggalnja,
Doea belas boelan poenja lama,

Ini boekan sair Indie Weerbaar,
Sair mana jang bisa mengantar,
Dalam boei jang tidak sebentar,
Membikin hatinja orang gentar,

Kami bersair boekan krontjongan,
Seperti si orang pelantjongan,
Mondar mandir kebingoengan,
Jaitoe pemoeda Semarangan,

Doeloe kita soeka krontjongan,
Tetapi sekarang soeka terbangan,
Dalam S.I. Semarang jang aman,
Bergerak keras ebeng-ebengan.

Ini sair nama; “Sama rasa”
“Dan Sama rata” itoelah njata,
Tapi boekan sair bangsanja,
Jang menghela kami dipendjara.

Pada puisi “Sama Rasa Sama Rata” di atas, Mas Marco mengungkapkan kondisinya secara eksplisit (tidak metaforis), bahwa ia menulis syair tersebut di dalam penjara. Bait pertama dalam kutipan puisi tersebut bersifat informatif saja. Namun yang menarik di situ adalah, Mas Marco berupaya menunjukkan sebuah transformasi kebudayaan lewat alat musik, yakni keroncong dan terbangan. Pernyataan ini dilandasi oleh kenyataan bahwa Marco pada saat itu aktif dalam organisasi Sarekat Islam. Orang yang suka keroncongan pada masa itu, dalam kacamata orang Sarekat Islam, termasuk golongan yang tidak jelas peranannya—seperti pelancong yang mondar-mandir membawa kebingungan. Sapardi Djoko Damono menanggapi istilah “buaya keroncong” ini berkonotasi negatif di masa tersebut: semacam sikap sastrawan yang meyakini prinsip seni untuk seni dan mengabaikan masalah-masalah sosial.

Syair “Sama Rasa Sama Rata” ditujukan kepada orang-orang Sarekat Islam dengan maksud untuk menyadarkan prinsip sama rasa (solidaritas) dan sama rata (kesetaraan) sebagai bentuk ideal dalam berkehidupan dan berkemanusiaan, sebagaimana prinsip keadilan yang diamini Islam. Pada bait yang lain, Mas Marco juga mengajak pembacanya untuk berjalan ke “timur” saja, tidak ke “utara” atau ke “selatan” yang dianggapnya sesat. Dalam syair yang persuasif dan bersifat nasihat ini, Mas Marco menggunakan analogi dialektika kebudayaan Jawa:

Jangan berperang seperti buto,
Cuma bisa membuka suworo,
Suka uang tidak berani loro,
Itu bukan adatnya satriyo

Syair “Kamardika’an” adalah syair lain yang merupakan penggambaran atau definisi kemerdekaan. Pribumi sebagai bangsa yang tertindas digambarkan tidak berani menyatakan keinginannya. Meminjam istilah Spivak, mereka menjadi subaltern di negerinya sendiri. Marco sebagai penyuara mengompori pribumi untuk berani melakukan perjuangan demi meraih kemerdekaan. Berikut salah satu kutipan dari syair “Kamardika’an”:

Jalan kamardika’an amat susah
Buat orang yang hatinya lemah,
Dan berjalan setengah-setengah,
Tidak bisa dapat yang diarah

Bait puisi di atas menyiratkan tekad yang mesti dimiliki oleh suatu bangsa. Tak hanya kemerdekaan dalam sudut pandang politis, syair tersebut juga menggambarkan kemerdekaan dengan konsep-konsep yang lain. Salah satunya Marco menyebut “kemerdekaan wali”, yakni kemerdekaan spiritual yang dibahasakan dengan “masih hidup, tapi (jasadnya) sudah mati”.

Beberapa puisi yang ditulis oleh Marco mengandung propaganda perjuangan kemerdekaan dan kesetaraan. Dalam syairnya, Marco menunjukkan kebobrokan politik kolonialisme Belanda yang berimplikasi pada kesejahteraan dan kedaulatan rakyat Indonesia. Puisi-puisi Marco umumnya bernada keras dengan menggunakan bahasa yang vulgar untuk menentang berbagai kebijakan pemerintah Hindia Belanda. Barangkali itulah yang membuat karya-karyanya dijauhkan dari diskursus kesusastraan Indonesia.

Bandung Mawardi pernah menyinggung pola kesengajaan ini, bahwa puisi Marco terlalu lama dilupakan saat Indonesia abad ke-21 ini menjadi negeri yang “terlalu” puisi. Baginya, puisi-puisi kiwari Indonesia menaruh apresiasi lebih pada segi estetika, tetapi cenderung abai di segi yang lain: segi yang berkenaan langsung dengan problematika masyarakat. Tak seperti puisi-puisi Mas Marco yang eksplisit dan radikal menyuarakan perlawanan.

 

Konvensi dan Kontroversi

Puisi mempunyai sifat hakikat, konvensi, dan fungsi estetisnya sendiri. Sebagai karya seni bermedium bahasa, puisi Indonesia tentu memiliki konvensi kebahasaan yang berkembang dan dinamis. Dinamika ini juga bisa kita lihat pada puisi-puisi Mas Marco. Syair kedua Mas Marco, “Bocah Angon”, yang merupakan alegori perjuangan pribumi melawan penjajah juga dituliskan dengan gaya konvensional pada saat itu. Bocah angon berarti gembala dan syair tersebut menggambarkan kerbau yang harus berjuang melawan singa yang serakah.

Macan kamu betul tidak adil!
Kamu membikin bangsamu voordeel!
Bangsa kerbau kamu nadeel!
Itu aturan yang kamu ambil!

Kerbau adalah simbol pribumi (terjajah), sedangkan harimau adalah representasi kolonial. Mas Marco menggunakan dua simbol tersebut sebagai analogi atas kekejaman penjajah yang tidak memperhatikan prinsip ‘sama rasa, sama rata’. Dalam kutipan puisi tersebut, Mas Marco juga menggunakan bahasa non-Melayu sebagai peranti rima atau konvensi tambahan. Hal ini menambah daya konsistensi Mas Marco dalam menulis puisi yang tidak lepas dari puitika masa itu. Selaras dengan apa yang dikatakan oleh Rachmat Djoko Pradopo, bahwa penyair sering kali menyimpang dari kaidah bahasa untuk mendapatkan kepuitisan. Penyimpangan ini dimungkinkan atau disebabkan oleh konvensi tambahan dalam puisi, sebab karya sastra memiliki konvensi yang melampaui bahasa.

Sejak dekade pertama abad ke-20, di Hindia Belanda telah bangkit berbagai gerakan yang menyadari kekurangan yang ada dalam sistem pemerintahan kolonial. Pada masa itu juga terdapat pengaruh dari berbagai gerakan internasional, terutama yang berorientasi pada sosialisme dan komunisme. Gerakan yang tidak mengenal kasta dan kelas tersebut mendapat simpati dari kalangan pemimpin Islam, yang sebelumnya sudah membentuk berbagai organisasi massa yang salah satunya adalah Sarekat Islam. Mas Marco merupakan anggota Sarekat Islam yang mempunyai kecenderungan kuat ke arah komunisme Rusia. Buku puisinya, Sair Rempah-Rempah, adalah satu contoh dari sejumlah karya sastra Marco pada masa itu yang menjalankan fungsi sastra sebagai alat penyebarluasan ideologi.

Mas Marco memicu semangat kebangsaan masyarakat melalui penggunaan bahasa Melayu dalam puisi-puisinya. Dalam hal ini, sastra berperan sebagai “tangan tak kasat mata” dalam proses penyatuan berbagai wilayah, dari tingkat desa, marga, hingga suku, yang akhirnya membentuk sebuah negara. Sejalan dengan pemikiran Durkheim, bangsa bukan hanya kumpulan kelompok, subkelompok, dan individu, melainkan juga sebuah sistem makna. Mas Marco berperan penting dalam menyebarkan nasionalisme dengan memanfaatkan bahasa sebagai medium untuk menyampaikan ide sekaligus membangun kesadaran kolektif terhadap identitas nasional.

Sebagai upaya mempersatukan, Marco memilih bahasa Melayu rendah untuk menjangkau masyarakat dari kalangan elit hingga rakyat jelata. Misalnya, Marco lebih suka menggunakan istilah “Sama Rasa Sama Rata” alih-alih “Solidaritas dan Kesetaraan” dalam propagandanya. Dengan demikian, bahasa Melayu rendah adalah pendekatan unik Marco terhadap “Batjaan Liar”-nya. Karya Marco menggambarkan perjuangan nasional yang menggambarkan interaksi kekuatan yang tidak seimbang antara penjajah dan yang terjajah; antara bangsawan dan rakyat jelata. Marco memiliki gagasan kuat untuk memperjuangkan kesetaraan dan mengakomodasi pengetahuan tentang sejarah Jawa dalam bahasa Melayu.

Bertolak dari puisi “Sama Rata Sama Rasa”, judul tersebut juga merupakan ungkapan yang sangat populer di Indonesia. Ungkapan ini biasa digunakan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk menafsirkan tujuan politiknya sendiri pada 1920-an. Pada dasarnya, puisi tersebut bukanlah puisi milik PKI, melainkan karya Marco yang ditujukan untuk mengungkapkan kondisi dan realitas sosial pada saat itu. Hal ini dapat dibuktikan dengan titimangsa pada buku Sair Rempah-Rempah, di mana pada waktu itu PKI belum hadir dalam dinamika sosial, politik, dan budaya Indonesia.

Terlepas dari kontroversi PKI, perjuangan dan perlawanan Marco terhadap kolonialisme telah dimuat dalam Sair Rempah-Rempah. Lewat puisi-puisinya, Marco menyampaikan pesan-pesan sejarah, politik, dan identitas. Puisi-puisi Marco bertendensi pada kritik dan perlawanan yang terang-terangan terhadap kolonialisme daripada eksplorasi gaya dan estetika. Secara bentuk, puisi Marco tampak belum terpengaruh untuk meniru aliran-aliran dan konvensi sastra yang bersumber dari Belanda atau Eropa sebagaimana yang tampak pada puisi-puisi M. Yamin, Roestam Effendi, lalu berlanjut pada era Pujangga Baru. Puisi Marco dipengaruhi bentuk atau konvensi lama bergaya syair dengan rima a-a-a-a, menggunakan bahasa Melayu rendah, serta beberapa konvensi tambahan untuk kepentingan rima atau estetika.

Kesadaran bahasa yang dipahami Marco tersebut melenceng dari kecenderungan penulis dengan tata bahasa bentukan Ophuijsen dan pembakuan bertaraf tinggi. Sepertinya, Mas Marco menggunakan bahasa Melayu untuk membantu dan membela rakyat, bukan popularitas atau kedudukan di mata masyarakat. Saya rasa gaya bahasa Mas Marco juga belum mendapat perhatian para pembuat kamus dan peneliti yang berkaitan dengan sejarah bahasa Indonesia sejak awal abad ke-20.

Sebagai penyair idealis yang kerap memberikan perhatiannya terhadap nasib bangsa Indonesia di masa kolonialisme, keberadaan Mas Marco Kartodikromo tenggelam dalam sejarah kesusastraan Indonesia, khususnya pada zaman kolonial. Syair-syair bernuansa revolusi dan perjuangan yang ditulisnya mengacu pada konvensi penyair di zamannya, sehingga karya Mas Marco dianggap terlalu eksplisit dan tidak menunjukkan estetika yang signifikan. Selain itu, mekanisme sejarah puisi di Indonesia jarang bermula dari karya-karya gubahan pujangga “kiri” atau di luar pengakuan estetika Balai Pustaka dan Pujangga Baru. Imbasnya, puisi “Sama Rasa Sama Rata” yang diduga sebagai karya PKI menjadi kontroversi dan berpengaruh pada kuasa sejarah itu sendiri.

Sebagai salah satu tapak tilas perjalanan kesusastraan Indonesia modern, puisi-puisi Mas Marco Kartodikromo tidak bisa diabaikan begitu saja, baik karena alasan kontroversi ataupun konvensi. Kontroversi di balik kehadiran puisi harusnya hadir sebagai tantangan bagi para sejarawan ataupun kritikus sastra Indonesia untuk lebih berani mengungkap kebenaran objektif dari sebuah peristiwa. Begitupun konvensi dalam puisi mestinya tidak membuat kritikus melupakan potensi dan kemungkinan-kemungkinan di dalamnya.

Sebagai tokoh pejuang yang aktif dalam organisasi, Mas Marco telah berkontribusi dalam dinamika dan kesejarahan sastra di Indonesia. Ketokohan Mas Marco juga diperkuat oleh Pramoedya Ananta Toer yang pernah memunculkan tokoh bernama Marco dalam novel Jejak Langkah dan Rumah Kaca. Dalam novel ketiga dan keempat Tetralogi Buru tersebut, Marco dinarasikan sebagai pemuda yang membantu Minke dalam mengurus penerbitan koran pada masa awal tumbuhnya pergerakan politik modern di Indonesia. Hal ini mungkin saja berkat signifikansi Marco dalam gerakan politik, sosial, dan perlawanan pada zaman bergerak. Melalui karya sastra, Mas Marco berhasil menyajikan realita yang objektif dari hasrat manusia Indonesia untuk merdeka, baik secara politik, nation, bahkan merdeka dari kemiskinan dan takhayul.

 

Ajun Nimbara adalah alumnus Magister Sastra Universitas Gadjah Mada kelahiran Sumenep. Saat ini mengajar sastra Indonesia di Universitas Negeri Malang.

 

 

Editor: Ikrar Izzul Haq

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Tentang Roh dan Seks

27 September 2025 - 11:52 WIB

Foto oleh Asief Abdi/Sivitas Kothèka

Mencari Surga dalam Peta

20 September 2025 - 13:00 WIB

Foto oleh Asief Abdi/Sivitas Kothèka

Perihal Puisi dan Gejala Kematian Sejarah

17 September 2025 - 12:00 WIB

Banyak dibaca di Esai Budaya