Pulau Madura kerap kali dipahami melalui lensa sempit—sekadar sebagai wilayah dengan keterbelakangan ekonomi dan sosial. Stereotip “ketertinggalan” sering kali menutupi kompleksitas budaya dan kekayaan intelektual yang tumbuh dari tanah garam ini. Artikel ini berupaya menilik budaya harmoni Madura, dengan mengurai keragaman dan kedalaman identitasnya sebagai simbol subkultur Indonesia yang sarat nilai: mulai dari etos kerja, spiritualitas, hingga kreativitas folklorik. Dengan pendekatan holistik, kita ditantang untuk membaca Madura tidak hanya secara fisik-geografis, tetapi juga secara kultural-psikologis.
Madura, sebuah pulau kecil di utara Jawa Timur, kerap kali dibaca dalam kerangka sempit: terbelakang, keras, dan tertinggal. Stereotip semacam ini begitu lekat dalam konstruksi sosial masyarakat luas, menjadikan Madura sebagai semacam “kasta bawah” dalam tatanan kebangsaan Indonesia. Labelisasi itu tidak muncul begitu saja. Ia lahir dari perspektif dominan yang hanya memandang Madura dari permukaan, dari angka kemiskinan, dari arus urbanisasi buruh kasar, atau dari representasi media yang sering kali bias. Padahal, ketika pembacaan terhadap Madura hanya dilakukan melalui satu sisi saja, maka yang lahir bukan pemahaman, melainkan kekeliruan yang terus direproduksi.
Untuk memahami Madura secara utuh, seseorang harus membaca secara khatam dan kaffah. Tidak cukup hanya lewat statistik, potret kekerasan, atau narasi migrasi. Sebab, Madura bukan hanya soal tanah kering, kemiskinan, dan ketegangan sosial. Ia adalah satu entitas kebudayaan yang kaya dan kompleks, penuh dengan dinamika lokal yang justru menunjukkan watak progresif masyarakatnya. Di balik permukaan yang keras, tersimpan kelembutan psikologis, ketaatan spiritual, dan etos hidup yang pantang menyerah. Masyarakat Madura, dalam banyak hal, adalah potret manusia Indonesia yang paling autentik: bersahaja, tangguh, religius, sekaligus penuh imajinasi.
Secara historis dan geografis, Madura adalah bagian tak terpisahkan dari peradaban maritim Nusantara. Posisi strategisnya menjadikan masyarakat Madura akrab dengan laut, pelayaran, dan perdagangan. Tradisi pelaut tidak hanya menghasilkan mata pencaharian, tetapi juga membentuk karakter budaya yang terbuka terhadap interaksi, meskipun tetap teguh dalam nilai-nilai lokal. Keterampilan berdagang, keuletan sebagai perantau, dan solidaritas sosial yang kuat menjadi ciri khas yang bertahan hingga kini.
Namun, hal yang sering diabaikan adalah kekayaan intelektual lokal yang hidup dan berkembang di Madura. Dalam sunyinya ruang-ruang pesantren, dalam tradisi lisan yang diwariskan turun-temurun, dan dalam ekspresi budaya rakyat yang sederhana, tersimpan mutiara kekaryaan yang layak diangkat ke permukaan. Para kiai dan ulama di Madura tidak hanya menjadi penuntun spiritual, tetapi juga pemikir sosial dan pendidik masyarakat. Kitab-kitab kuning, diskusi keislaman, hingga karya-karya sastra lokal berbahasa Madura adalah bentuk dari tradisi intelektual yang tidak kalah penting dibandingkan pusat-pusat ilmu lainnya di Nusantara.
Salah satu aspek paling menarik dari kebudayaan Madura adalah keberadaannya sebagai sebuah sub-kultur yang memiliki gaya estetika tersendiri. Di sinilah Madura tampil sebagai simbol keunikan bangsa ini. Bukan dari kemewahan modernitas, melainkan dari kelugasan hidup yang penuh nilai. Humor dan spiritualitas menjadi dua pilar utama yang mewarnai kehidupan sosial masyarakat. Cerita-cerita jenaka dalam folklore Madura, tokoh-tokoh rakyat seperti Sakera, hingga praktik ziarah dan ritual keagamaan, menunjukkan keseimbangan antara nalar jenaka dan kesadaran spiritual. Dalam cerita humor rakyat, kritik sosial tersampaikan dengan halus; dalam spiritualitas, nilai moral dan etika hidup dijaga secara turun-temurun.
Semua ini menunjukkan bahwa Madura tidak bisa dipahami secara sepihak. Ia bukan sekadar entitas geografis atau statistik sosial. Madura adalah ruang kebudayaan yang dinamis dan kreatif, tempat di mana nilai-nilai kerja keras, keagamaan, serta imajinasi budaya bertemu dan melahirkan bentuk-bentuk ekspresi yang unik. Kegagalan membaca Madura secara menyeluruh adalah kegagalan untuk melihat Indonesia dalam bentuknya yang paling autentik.
Kini, meninjau cara kita memandang Madura harusnya Bukan hanya dengan belas kasihan atau mungkin superioritas, tetapi dengan penghormatan terhadap kearifan lokal dan potensi budaya yang dimilikinya. Sudah saatnya kita menyadari bahwa di balik simbol ‘ketertinggalan’ yang selama ini dilekatkan padanya, Madura sesungguhnya adalah cermin bangsa: keras tapi lembut, sederhana tapi cerdas, terpinggirkan tapi bermartabat.
Kemudian kita juga akan beranjak pada cara pembacaan madura dari sudut pandang musik dan harmoninya, tentu ini tidak mempersempit ruang hanya pada pembacaan teknis saja, seperti bagaimana madura memandang industri ke depan, bagaimana gen Z merespon fenomena pembaharuan model distribusi kesenian khususnya Musik atau hal-hal yang sifatnya sangat pragmatis. Akan tetapi, mari kita coba sentuh dari cara pandang psikoanalisis.
Yang perlu di-underline bahwa Tradisi Musikal Tetabuhan Madura tidak hanya hadir sebagai hiburan atau pelengkap ritual belaka, tetapi juga merupakan refleksi mendalam dari cara hidup, nilai, dan ekspresi kolektif yang telah mengakar selama berabad-abad. Dalam konteks kebudayaan Indonesia, Madura berdiri sebagai salah satu penyumbang utama identitas musikal yang khas dan autentik.
Membaca praktik musikal di Madura tidak dapat dilepaskan dari peran sentral para leluhur yang telah menjadikan ‘cara’ bersenandung sebagai bagian dari kebiasaan hidup. Aktivitas musikal ini tidak bersifat eksklusif untuk seni pertunjukan semata, melainkan meresap ke dalam berbagai ekspresi manusia Madura. Laras atau langgam nada khas Madura sering kali muncul dalam ekspresi yang sangat personal dan spiritual, seperti dalam tangisan, pembacaan Al-quran (qira’ah), hingga dalam berbagai bentuk komunikasi emosional lainnya. Dengan demikian, langgam tersebut bukan sekadar struktur nada, tetapi sebuah bentuk bahasa emosional yang hidup dan terus berkembang.
Namun demikian, menjadi masyarakat Madura yang progresif menuntut kemampuan untuk menyaring berbagai bentuk fanatisme. Fanatisme selera, fanatisme pemikiran, bahkan fanatisme ideologi berpotensi menjadi penghalang utama dalam membuka ruang dialog dan pembaruan dalam dunia seni. Ketika suatu bentuk seni hanya dinilai dari satu sudut pandang yang sempit dan absolut, maka kreativitas dan inovasi akan terhambat. Dalam konteks ini, keberanian untuk bersikap terbuka terhadap perbedaan pandangan dan selera menjadi prasyarat bagi keberlanjutan tradisi.
Seni tetabuhan di Madura akan tetap hidup selama terdapat segmentasi yang mendukungnya. Segmentasi ini dapat berupa komunitas, ruang pertunjukan, institusi pendidikan, atau bahkan media sosial yang menjadi wadah aktualisasi. Jika kesenian hanya diukur melalui selera mayoritas, maka pelan-pelan khazanah musikal yang kaya ini akan terpinggirkan dan hilang dari kesadaran kolektif masyarakat. Oleh karena itu, pelestarian seni tetabuhan membutuhkan pendekatan multi aspek yang mencakup pendidikan, dokumentasi, serta regenerasi seniman dan penikmatnya.
Dalam filsafat budaya misalnya; harmoni bukan berarti keseragaman, tetapi kemampuan menyelaraskan perbedaan. Prinsip ini sejalan dengan kenyataan bahwa seni, khususnya musik, bekerja dalam ranah ketidaksamaan. Nada, ritme, dan warna suara yang berbeda justru menjadi sumber keindahan ketika mampu disusun secara selaras. Demikian pula dalam konteks sosial budaya, harmoni akan tercapai bukan dengan menyeragamkan ekspresi, tetapi dengan merayakan perbedaan dalam bingkai saling memadukan.
Seni tetabuhan Madura bukanlah artefak mati yang hanya layak dikenang, atau hanya selesai sebagai data. Melainkan organisme budaya yang terus tumbuh dalam ruang sosial masyarakatnya. Keberlangsungannya bergantung pada keberanian masyarakat Madura untuk terus membaca ulang tradisi, memilah nilai-nilai yang relevan, dan membuka diri terhadap kemungkinan baru tanpa kehilangan akar. Dalam dunia yang terus berubah, hanya masyarakat yang mampu membangun harmoni dari ketidaksamaan yang akan mampu menjaga warisan budaya agar tetap hidup dan bermakna.
*Tulisan ini disajikan sebagai Pidato Kebudayaan Dies Natalis ke-8 Sivitas Kothèka.
Rifan Khoridi adalah seorang musisi dan pendiri La Ngetnik.
Editor: Putri Tariza