Menu

Mode Gelap
Festival Sastra-Sains 2025, Epistemologi Maut dan Cinta Tentang Roh dan Seks Park dan Roman Klise Mencari Surga dalam Peta Perihal Puisi dan Gejala Kematian Sejarah One Piece, Nika, dan Genderang Pembebasan

Kritik Seni

Liang yang Lapar


					Foto oleh Ikrar Izzul Haq/Sivitas Kothèka Perbesar

Foto oleh Ikrar Izzul Haq/Sivitas Kothèka

Tabu, yang sejatinya merupakan hasil kostruksi sosial-budaya, selamanya akan menjadi “tabu” sejauh seseorang menganggapnya sebagai “tabu”. Demikianlah kesan pertama saya dari pembacaan sekilas terhadap Pandora anggitan Ida Ayu Oka Rusmini. Dalam konteks perempuan sebagai subjek feminin, konstruksi tabu kerap dijadikan norma yang mengatur perempuan perihal “yang seharusnya” dan “tak seharusnya”. Dus, yang seharusnya dan tak seharusnya akan menjadi semacam mistar untuk menimbang “yang ideal” dan “tak ideal”.

Karena sering diidentikkan dengan alam dan beberapa sifatnya—seperti kemampuan menumbuhkan dan menghidupi—perempuan pun tak jarang menanggung kewajiban untuk memenuhi kualifikasi fungsi reproduktif dan fisiologis yang dinisbatkan pada sifat alam untuk mencapai kata “ideal”. Sepetak sepematang dengan itu, sebab dalam konstruksi spiritual-budaya masyarakat tradisional, alam juga dipandang sebagai entitas sakral, sejumlah aspek terkait perempuan pun turut disakralkan. Tabu, dalam hal ini, menjadi legalisasi dan legitimasi atas sakralisasi tersebut. Ia juga menjadi batas normatif antara “yang seharusnya” dan “tak seharusnya”. Walhasil, tabu budaya itu akhirnya bermuara pada bagaimana perempuan memandang dan memosisikan diri mereka.

Beberapa hal yang berkaitan dengan “aktivitas reproduksi”—seperti hubungan intim—katakanlah, ditabukan kepada perempuan sehingga membuat mereka turut menganggap bahwa pembicaraan seputar seksualitas—betapa pun itu penting—adalah ketidaksenonohan. Di sisi yang lain, karena bumi diimajinasikan secara sakral sebagai kerahiman yang menyemai kehidupan, dan perempuan dipersepsikan sebagai pemelihara kehidupan, melahirkan pun diyakini sebagai pengalaman suci. Dus, berbagai pantangan harus dijauhi perempuan sewaktu mengandung.

Segala hal menyangkut tabu dan sakralitas tersebut, tentu tak seluruhnya dapat dibenarkan, sebagaimana tak segala hal mengenainya bisa begitu saja disalahkan. Puisi-puisi di dalam Pandora bergerak di antara dua ketegangan ini. Dalam puisi berjudul “Kupu-kupu”, alih-alih mengamini figur “ibu” yang dalam konstruksi sosial-budaya sering dimetaforakan sebagai sosok sakral, Oka justru berupaya mendesakralisasi sakralitas tersebut. Tak hanya itu, Oka juga mempersoalkan konstruksi tabu tentang seksualitas di dalam puisinya. Penyair tampak menyadari bahwa persoalan tubuh dan seksualitas sering tersisih ke ranah periferal. Melalui puisinya, Oka seakan ingin menyampaikan bahwa “seksualitas”—sebagai pengalaman—akan tetap menjadi “ketabuan” selama perempuan merasa bahwa membincangkannya adalah tindakan yang menyalahi norma, etika, atau sakralisasi dalam berbagai bentuknya. Kita simak sejumlah larik puisi “Kupu-kupu” berikut:

Sebuah pesta dimulai.
Perempuan dan laki-laki menanam
manusia di rahim bumi. “Kau ikut? Menjadi petani?
Berternak manusia?”

Melahirkan—serta aktivitas yang menjadi konsekuensi logisnya, seperti pengasuhan dan perawatan—tak hanya diyakini sebagai pengalaman sakral. Ia juga sering dianggap sebagai legitimasi citra ideal perempuan feminin, terutama dalam konstruksi sosial-budaya yang menjadikan “kesuburan” sebagai indikator “perempuan paripurna”. Namun, dalam penggalan puisi di atas, penyair menyuguhkan semacam antipoda. Ketika Oka memaralelkan kata “melahirkan” dengan “berternak manusia” untuk memvisualisasikan pengalaman melahirkan, tindakan itu mengimplikasikan sebuah peyorasi terhadap momen “melahirkan” sebagai pengalaman yang sakral.  Mengingat Oka adalah seorang perempuan, penggambaran melahirkan dengan cara demikian tentu bertentangan dengan pandangan yang jamak.

Akan tetapi, pada saat yang sama, penyair memberi kita isyarat bahwa pengalaman tidak bisa dikategorikan begitu saja ke dalam “yang jamak”. Sebab, setiap pengalaman seseorang selalu memiliki sifat yang unik dan autentik. Atas dasar itulah, pengalaman seorang perempuan terkait aktivitas reproduksi tidak selayaknya dibingkai dalam pigura yang sama. Ketika penyair memaralelkan pengalaman “melahirkan” dengan “berternak manusia”, kita tidak hanya melihat sebuah peyorasi terhadap “sakralisasi” yang membatasi “ekspresi pengalaman” perempuan sebagai individu. Lebih dari itu, bentuk ekspresi yang dipilih penyair mengesankan semacam penegasan bahwa “keunikan dan keautentikan” pengalaman perempuan sebagai “ibu” dan “individu” adalah suara yang mesti diungkapkan, tanpa perlu diekspresikan secara amelioratif. Melalui penyejajaran antara kata “melahirkan” dan “berternak”, penyair seolah-olah ingin mengatakan bahwa melahirkan bukan lagi pengalaman yang perlu diromantisasi, dan perempuan sebagai sosok ibu pun tidak perlu diglorifikasi.

Dalam Pandora, figur “ibu” juga tampak diposisikan sebagai, sebutlah, “predikat” yang selalu dipersoalkan. Sosok “ibu” tak jarang digambarkan jauh dari imaji liris. Seakan-akan penyair secara sadar berupaya menghindari puisi yang menyoal “ibu” sebagai tema sentral sebagaimana yang sering muncul dalam ode. Dalam puisi “Embrio”, misalnya, “ibu” justru digambarkan sebagai subjek pesakitan dalam pengalamannya sewaktu mengandung.

EMBRIO

18/9, 17/10, 18/11, 20/11

Aku mendengar suara jam dalam tubuhku. Meremas
setiap gulungan lemak di perutku. Ada yang tumbuh.
Kurasakan akar-akarnya melukai dinding dagingku.
Menguliti pori-pori ususku.

Lelaki itu berkata:

“Kuberi nama Pasha, Sarasvati, Bunga … Lelaki atau
perempuan-kah dia?

Apa ini? Pohon besar? Benalu? Dia menyakitiku!
Menghabiskan seluruh dagingku. Dia bertambah besar.
Akar-akarnya makin tajam. Dia memahat seluruh
daging dalam tubuhku.

Jam tubuhku terus berdetak. Setiap nafasnya menjadi
akar. Pandai sekali pohon itu mencungkili daging
tubuhku. Memakannya rakus-rakus.

2001

Berjudul “Embrio”, puisi bertitimangsa 2001 ini memvisualisasikan pengalaman intim aku-lirik saat mengandung (Aku mendengar suara jam dalam tubuhku; Ada yang tumbuh; Dia bertambah besar). Namun, pengalaman mengandung itu tidak ditampilkan dalam nuansa lirisisme yang haru-biru. Kita malah disuguhkan gambaran embrio yang direpresentasikan jauh dari kesan indah. Embrio Oka gambarkan sebagai akar yang entah dari pohon besar atau benalu, tumbuh semakin tajam, bahkan melukai dinding rahim perempuan yang mengandungnya. (Ada yang tumbuh. Kurasakan akar-akarnya melukai dinding dagingku; Apa ini? Pohon besar? Benalu?; Akar-akarnya makin tajam).

Walhasil, pengalaman mengandung segumpal embrio pun lebih terbayang sebagai petaka yang diratapi ketimbang berkah yang disyukuri. Hal ini kian kuat terasa ketika penyair mempergunakan kata kerja yang cenderung mengimplikasikan “makna kekerasan” sebagai prosedur untuk mempersonifikasikan embrio. Embrio, misalnya, dipersonifikasikan sebagai suara jam yang meremas setiap gulungan lemak di perut si aku lirik, akar-akar yang melukai dinding daging dan menguliti pori-pori ususnya, entah pohon besar atau malah benalu yang menyakiti dan menghabiskan seluruh dagingnya, yang akar-akarnya memahat seluruh daging dalam tubuh-nya, pohon yang pandai mencungkili daging tubuh dan memakannya rakus-rakus.

Dalam konstruksi sosial-budaya yang mengidentikkan perempuan dengan alam, citra perempuan dengan femininitas ideal dimistar berdasarkan kemampuan mereka dalam mengambil peran serupa alam yang “keibuan”. Perempuan dengan femininitas paripurna dimaknai seakan-akan “sang surya menyinari dunia”, “kasihnya tak terhingga sepanjang masa”, sebab “hanya memberi, tak harap kembali”. Dapatlah kita menyebut konstruksi sosial-budaya ini sebagai “heteronormativitas”.

Heternormativitas, sebagaimana jamak dipahami, adalah istilah yang mengacu pada praktik seksual (hetero) yang dinormalisasi. Namun, lebih dari itu, heternormativitas—sebagaimana dijelaskan Wieringa (2015)—juga menginformasikan norma-norma dalam kehidupan sehari-hari, termasuk “institusi, hukum, dan peraturan yang berdampak pada kehidupan seksual dan reproduksi anggota masyarakat, serta keharusan moral yang memengaruhi kehidupan pribadi seseorang.” Ia direpresentasikan sebagai “sesuatu yang normal dan alamiah, dan berfungsi untuk mengkonstruksi tatanan yang ideal.” Atau, “sesuatu yang belum ada namun dicita-citakan, sebuah fenomenon stabil yang ‘selalu ada di sana’, namun pada dasarnya rapuh, membutuhkan langkah-langkah ketat untuk mencapainya, dan bertindak sebagai kekuatan penghukum moral bagi mereka yang berada di dalam batasan-batasannya”.

Oleh sebab itu, Wieringa menyebut, subjek yang bercita-cita untuk hidup bermoral harus menekan “yang menyimpang” di dalam diri mereka untuk menciptakan ilusi totalitas, koherensi, dan stabilitas. Bourdieu (1991) mungkin akan mendefinisikan pola ini sebagai “habitus”, seperangkat disposisi yang memotivasi orang untuk bertindak dengan cara-cara tertentu. Habitus disosialisasikan sejak usia muda melalui bidang simbolik tertentu, di mana anak-anak menginternalisasi praktik dan sikap dengan cara yang “terasa alami” bagi mereka. Walhasil, orang-orang mengulangi praktik-praktik tersebut dalam kehidupan sehari-hari mereka, dengan konstruksi ketaksadaran bahwa segala yang mereka praktikkan “natural” belaka.

Idealitas konstruksi sosial-budaya tersebut tentu saja mengandung kekeliruan, terutama karena mengingkari tatanan biologis. Namun, dalam masyarakat yang belum tersentuh oleh sains, “yang salah” seringkali diimani sebagai “yang sahih”, dan pada suatu saat yang entah kapan mulanya, konstruksi-konstruksi tersebut juga mengejawantah sebagai “metafora” dalam berbagai wujud, serta “tabu” dengan purwa-rupa bentuknya. Dalam kepercayaan yang berkembang di Yunani kuno, misalnya, perempuan paripurna dimetaforkan sebagai Demeter atau Ibu Pertiwi. Menurut keyakinan ini, perempuan paripurna adalah pancaran dari Dewi Kesuburan. Mereka diimajinasikan sebagai alam liar yang telah dijinakkan, tanah tak bertuan yang sudah dibajak dan disiangi.

Di sini, kita menyaksikan bagaimana masyarakat yang urung tersentuh oleh sains, tampak tidak membedakan antara apa yang “alami” dan “konstruksi”. Kapasitas reproduksi perempuan dianggap sebagai sifat “alami” dari keibuan karena persepsi yang kadung mengakar bahwa demikianlah idealnya perempuan sebagai citra dari alam dan Dewi Kesuburan. Mereka tinakdir sebagai figur yang melahirkan dan merawat kehidupan. Konsekuensinya, perempuan yang tak memiliki kapasitas tersebut, besar kemungkinan dipandang sebagai perempuan yang tak ideal.

Umumnya, kita menyebut konstruksi sosial-budaya itu (yang melahirkan dan merawat) sebagai “domestikasi”. Domestikasi, ditentang tidak saja karena dianggap menjadi jeruji bagi kebebasan perempuan, tetapi juga sebab ia mengandaikan posisi perempuan sebatas properti. Ia pun ditentang karena mengimajinasikan sosok perempuan sederajat dengan binatang yang diternakkan, gaga yang hanya ditanam untuk dituai. Namun, dalam puisi bertajuk “1967”, kita  akan menyaksikan bagaimana penyair tampak mempersoalkan pandangan tersebut.

Di museum, matamu memecahkan seorang perempuan. Kau
terbangun dari kantuk. Kutelan gelap. Kukunyah api. Aku
mulai membakar jantung. Mana taliku? Kau ingat di mana
telah kutanam impian yang disembunyikan perempuan
jalang yang harus kupanggil “tante”? Perempuan itu tak lagi
memiliki hati. Hidupnya sudah digadaikan untuk orang-
orang yang rajin menyapanya di jalanan. Mungkinkah dia
ibuku?

Kita boleh sepakat bahwa kebebasan dan kesetaraan adalah hak asasi yang mesti dapat diakses semua orang. Namun, pada saat yang sama, kita juga menyaksikan paradoks dari keduanya. “Seorang manusia bisa bebas melakukan apa saja yang ia mau,” kata Schopenhauer, “tetapi ia tak dapat berkehendak semaunya.” Kita sering membayangkan kebebasan yang total, tapi melupakan bahwa kita juga hidup untuk sesama. Kita luput menimbang bahwa kita tidak hanya hidup untuk diri kita sendiri, tetapi juga untuk orang-orang yang—dalam kata-kata Einstein—“senyum dan kesejahteraannya membuat kita berbahagia, untuk mereka yang secara personal tidak kita kenal, tetapi takdir mereka terikat dengan kehidupan kita karena pertalian rasa simpati”.

Singkatnya, nyaris semua tindakan dan preferensi hidup kita, tanpa kita sadari, terkait dengan eksistensi orang lain. Maka, apakah sebenarnya arti dari menjadi seorang “ibu”, jika dengan disandangnya predikat itu, ia lebih mementingkan wilayah publik, sehingga mengalahkan peran vitalnya di lingkup domestik? “Mungkinkah dia ibuku?” ungkap Oka dalam puisi “1967”. Dapat kita bayangkan pertanyaan itu terlontar dari bibir seorang anak yang masih lugu, yang belum mengenal apa arti kebebasan, apa arti kesetaraan. Pertanyaan itu tidak hanya menggiring, tetapi juga menginterupsi kita untuk sekali lagi mempertimbangkan “domestikasi” sebagai suatu istilah, sebagai sebuah terma, ketimbang begitu saja mengamini atau menentang dengan selantang-lantangnya.

Namun, lebih dari itu, tahun “1967” yang dijadikan penyair sebagai judul puisinya tak pelak juga mendesak kita untuk juga bertanya lebih jauh. Menerka-nerka: Apa gerangan yang dikehendaki oleh penyair dengan pemilihan tahun 1967 sebagai judul puisinya? Adakah peristiwa tertentu di jagat empiris yang terjadi pada tahun tersebut turut mengilhami penulisan puisi ini? Terlebih, puisi “1967” juga memberi kita markah lain bagaimana ia tampak memiliki benang merah yang terhubung dengan peristiwa sejarah, yang pernah berlangsung pada kisaran mangsa tersebut.

Sebagaimana watak sejarah yang senantiasa dibuka dan dipungkasi dengan pertanyaan, “1967” adalah puisi yang penuh misteri—bahkan sedari judulnya. Dibuka dengan segarit keterangan, yakni “di museum”, kata “museum” pada keterangan ini tidak hanya menghadirkan bayangan visual tentang ruang, di mana “yang lampau” dihadirkan ulang melalui jejak-jejak fisiknya ke dalam ruang-waktu “yang kini”. “Museum” juga dapat menjadi simbol memori yang menghubungkan subjek yang hidup di masa sesudah, dengan berbagai peristiwa yang terjadi di masa sebelum. Memori adalah sebuah museum di mana di dalamnya seseorang berhadap-hadapan dengan sejarah-masa lalu yang dihadirkan artefak-artefaknya di masa yang kini.

Jika “museum” adalah simbol memori-sejarah, frasa “dahimu penuh kerak timah”dan “meleleh membutakan matamu” menyugestikan bagaimana memori pada puisi ini juga tampak bertaut-kelindan dengan peristiwa kelam yang pernah terjadi pada tahun 1967. Ada juga kata “tali” yang intens disebut, diiringi sejumlah kata yang berhubungan dengan fungsinya, meliputi: “menjerat” (Diam-diam kutawarkan tali. Mungkin/kau ingin menjerat tubuhku), “lilit” (Jangan lilit tubuhku dengan tali),dan “mengikat” (Tak/ada tali mampu mengikatnya). Penyebutan kata “tali” secara berulang, didukung kata yang merujuk pada fungsinya (menjerat, lilit, mengikat), memantik kita untuk merangkai-hubungkan semua itu sebagai simbol kontrol (mengikat)—atau lebih jauh lagi—penindasan, dan penjajahan (lilit, menjerat).

Tafsir di atas analog jika kita kaitkan untuk membaca larik: Kujajah tubuh belalangmu. Kita bersembunyi di gua, lari dari/topeng-topeng yang kita pentaskan”. Memori kelam yang merujuk pada peristiwa sejarah tahun 1967 itu barangkali berhubungan dengan “kontrol” dan “penindasan”—tindakan-tindakan yang membuat subjek yang kita belum tahu mengarah ke siapa itu “terjajah”. Ia bukan lagi seekor belalang yang melenting dari ranting ke ranting, tetapi bersembunyi di gua (simbol bagi tempat persembunyian dari dunia luar yang bengis) dan lari dari topeng-topeng yang ia pentaskan. Di sini, akhirnya kita menyaksikan bagaimana subjek-puisi hendak melarikan diri dari berbagai tekanan yang lahir dari kontrol dan penindasan itu, menuju ruang yang lebih aman.

Jalinan citra, imaji, yang sekaligus juga merupa simbol-simbol verbal di dalam puisi Oka itu, memang cukup memeras tenaga reseptif pembacaan kita. Dalam puisinya, penyair menutup rapat celah spekulasi kita terhadap kemungkinan subjek merujuk kepada siapa. Namun, sejumlah larik paling tidak memberi kita beberapa petunjuk bahwa kemungkinan, subjek-subjek yang dikontrol dan ditindas dalam puisi itu, merujuk kepada “perempuan” (Ibuku memuntahkan/ulat yang telah lama dikandungnya; Di museum, matamu memecahkan seorang perempuan; Kau ingat di mana telah/kutanam impian yang disembunyikan perempuan jalang yang/harus kupanggil “tante”? Perempuan itu tak lagi memiliki hati./Hidupnya sudah digadaikan untuk orang-orang yang rajin/menyapanya di jalanan. Mungkinkah dia ibuku?). Sejarah tentang kontrol dan penindasan yang terjadi pada tahun 1967 itu, dengan demikian, adalah sejarah kontrol dan penindasan terhadap para perempuan. Maka, puisi “1967”dapatlah kita tafsir sebagai “museum sejarah kontrol dan penindasan terhadap kebebasan perempuan”. Betulkah demikian?

Jika kita menoleh ke masa lalu, 1967 memanglah tahun yang penuh gejolak dan intrik politik-kekuasaan. Pada tahun ini jugalah Sukarno—yang kekuasannya telah surut—digulingkan Suharto, yang kemudian tampil bak seorang pahlawan setelah adegan gara-gara di pertunjukan wayang usai. Suharto dilantik sebagai presiden pada 27 Maret 1967 dan Sukarno menjadi tahanan rumah di Bogor hingga kematiannya pada 1970. Yang perlu dicatat, sehubungan dengan konteks diskusi kita, yaitu bahwa pergantian dari rezim ini juga berdampak secara masif pada kaum perempuan, terutama yang diduga bersinggungan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Usai Suharto berkuasa, kampanye fitnah terhadap para perempuan yang terlibat (atau hanya diduga terlibat) dalam kelompok Gerwani dan PKI—karena keduanya memiliki kedekatan dengan Sukarno—terus dilancarkan, tidak saja untuk memudahkan pergantian kekuasaan, tapi juga meletakkan dasar-dasar ideologis bagi kekuasaan militer Orde Baru. Sepanjang otoritarianisme Orde Baru, kita tahu, setiap perlawanan terhadap militer dikaitkan dengan “tilas-tilas PKI” atau “bahaya laten” yang diwakili oleh PKI. Gerwani, misalnya, dituduh melakukan penyerangan yang melangkahi dasar-dasar agama dan moralitas.

Pada tahun-tahun itu juga, Orde Baru masif mengampanyekan doktrin dan fitnah yang menyudutkan Gerwani—yang pada orde sebelumnya, diisi kader-kader perempuan militan dan progresif—bahwa mereka adalah sekumpulan perempuan amoral yang rawan menciptakan kekacauan bagi keamanan negara. Melalui Lembaga Studi IImu-IImu Kemasyarakatan (LSIK) yang dibentuk rezim, misalnya, narasi fiktif yang seakan-akan empiris—yang juga biasa kita dengar atau tonton dalam film dokumenter bikinan negara—dikarang, bahwa para anggota Gerwani, misalnya, memperagakan Tarian Kembang Wangi dengan gerakan erotis di atas jasad para korban yang dibantai sekelompok orang tak bertuhan nan haus darah, pada malam-malam anyir di Lubang Buaya. Tak hanya itu, di lingkup rumah tangga, ketakutan kaum konservatif—yang jamak menggambaran kader Gerwani sebagai kombinasi “ibu yang sadar politik” dan “patriot militan” yang menantang kaum laki-laki di arena publik”—juga melancarkan fitnah bahwa perempuan yang tergabung dalam gerakan ini berbahaya, sebab mereka dicitrakan sebagai perempuan yang melepaskan “kekuatan seksual, meracuni pikiran anak-anak, serta merayu, bahkan mengebiri laki-laki muslim yang tidak bersalah” (Wieringa, 2015).

Doktrin-doktrin tersebut, akhirnya menimbun segenap fakta bahwa, bahkan dalam gagasan-gagasan paling progresif Gerwani untuk mengadvokasi perubahan dalam pembagian kerja secara seksual sekalipun, mereka tetap mempertahankan posisi sebagai perempuan. Bahwa tugas-tugas rumah tangga pada akhirnya memang urusan mereka. Gerwani bahkan juga menekankan—meski para aktivisnya tidak boleh bersikap lemah lembut dan tunduk mengikuti contoh Sumbadra, tetapi Drupadi yang militan—bahwa mereka harus tetap menjadi pendamping laki-laki. Apa pun itu, singkatnya, salah satu cara yang dicanangkan oleh Orde Baru demi membendung bahaya yang mengada-ada itu adalah dengan mengontrol perempuan melalui organisasi yang mereka bentuk sendiri, terutama melalui PKK dan Dharma Wanita. Demi menekan perempuan tampil sebagai subjek yang aktif, Orde Baru berupaya menundukkan kaum perempuan kembali pada tatanan yang didasarkan pada kodrat melalui tafsir yang konservatif.

Maka, “tubuh belalang” yang dijajah itu dapatlah kita tafsir sebagai tubuh perempuan yang telah terikat, terjerat, dan/atau terlilit, sehingga tidak lagi mempunyai kebebasan untuk melompat dari pucuk rumput dan melenting ke ranting pepohonan. “Tali”—yang mengikat, melilit, dan menjerat—itu boleh jadi “memori traumatis” yang membuat ibu si aku lirik memuntahkan ulat yang telah lama dikandungnya. Tali itu, bisa juga “stigma” yang kadung melekat pada perempuan, seperti para kader Gerwani yang oleh kelompok konservatif dicitrakan sebagai perempuan banal dan binal, sehingga si aku lirik—yang pada larik ini tampak diposisikan sebagai seorang anak—menilai ibunya sendiri sebagai perempuan jalang; Perempuan yang tak lagi memiliki hati karena hidupnya sudah digadaikan untuk orang-orang yang rajin menyapanya di jalanan. Puncaknya adalah sebagaimana tergambar pada larik “Aku tetap gua kecil, yang ditenggelamkan rasa dingin“. Mereka merasa terasing, kehilangan identitas, dan terkurung dalam batasan yang ditetapkan, baik oleh “trauma” maupun “stigma”.

Karena status sakral figur “ibu” didesakralisasi, hal ini mengundang konsekuensi terhadap berbagai atribut yang selama ini menjadi legitimasi atas kesakralannya. Dalam puisi berjudul “Makatu”, Oka menulis:

……………………………………………. “Kuinginkan pisau
runcing.”
Kuasah batu-batu. Kuruncingkan laut. Lubang itu.
Guakah? Dia lapar.

“Lubang” yang dirujuk dalam puisi di atas dapat ditafsir sebagai liang vagina. Meskipun tidak semua benda berliang merupakan arketip feminin, tafsir ini analog jika merujuk hubungan koherensial antara kata “lubang” dan kata yang menyusul, yakni “gua” (Guakah?/ Dia lapar). Pemetaforaan tubuh perempuan menggunakan entitas alam seperti rahim yang dimajaskan sebagai “gua” kiranya juga telah menjadi hal yang lazim, serta dapat ditemukan manifestasinya, baik dalam feminisasi alam maupun naturalisasi perempuan dalam berbagai artefak budaya. Namun, yang membuat perbandingan Oka dalam puisi tersebut berbeda, yaitu bentuk ekspresi yang dipilihnya. Penyair mengarahkan kalimat yang seakan-akan menginterupsi: Dia lapar. Kalimat ini menghasilkan metafora yang diciptakan Oka dengan makna yang jauh berbeda dibandingkan dengan, katakanlah, “Ibu, kaulah gua pertapaanku” dalam sajak Zawawi Imron.

Dia pada “Dia lapar” merujuk pada lubang gua. Karena lubang gua secara semiotik mengacu pada liang vagina, “gua” yang digambarkan lapar dalam larik tersebut tak lain ialah liang vagina si aku-lirik. “Kuinginkan pisau runcing,” tulis Oka. “Kuasah batu-batu,” tegasnya lagi. Liang vagina si aku-lirik itu merasa lapar sehingga menginginkan pisau runcing. Kita dengan mudah dapat menafsir frasa “pisau runcing” sebagai simbol maskulinitas, selain karena pisau pada larik tersebut secara kohesif terhubung dengan frasa “pisau zakar” pada bait pertama puisi “Makatu”, sehingga mengasosiasikan sifat falus, ia juga menggaungkan imajinasi mengenai gagasan perlindungan yang secara intrinsik lekat dengan maskulinitas.

Namun, imajinasi tersebut segera goyah ketika pada kalimat selanjutnya, Oka menulis: “Kuruncingkan laut”. Pisau dan laut merupakan dua leksem yang secara isotopis berada di medan semantis berbeda. Betapapun kata “runcing” telah disematkan sebagai upaya menjembatani “pisau” dan “laut” agar tetap beririsan, laut—sebagai bagian dari entitas alam—lebih dekat dengan yang feminin. Sementara kebingungan kita belum sempat menemukan petunjuk pencerahan, kita disodori ambiguitas lain, karena rupanya, “laut runcing” terhubung secara kohesif dengan aku-lirik perempuan. Pasalnya, penyair juga menulis: “Kelak, bila lautku telah runcing …”. Maka, manakah hubungan semiotis yang tepat? Apakah “Pisau runcing = Pisau zakar”? Ataukah “Pisau runcing = Laut runcing”?

Pertama, frasa “laut runcing” menggaungkan imajinasi tentang keganasan dan kengerian. Tafsir ini akan sejalan jika kita memperhubungkannya dengan banyak khazanah di mana laut lekat dengan maskulinitas. Dalam banyak kisah berlatar maritim, laut selalu dekat dengan sifat kejantanan. Banyak dongeng berkisah tentang petualangan yang memacu adrenalin, pelayaran menantang marabahaya, menunggang ganasnya ombak, dan melerai amarah badai, lengkap dengan aksi heroik menumpas gerombolan perompak. Dengan demikian, frasa “laut runcing” dan “pisau runcing” dapat kita pertalikan secara semiotis dengan “pisau zakar” sebagai simbol yang merujuk pada maskulinitas. Namun, patut kita catat, puisi-puisi dalam Pandora—termasuk di dalamnya puisi “Makatu”—terbilang kompleks. Imaji-imaji yang dibangun oleh penyair berlesatan seperti tubuh yang tercacah, dimutilasi, dan dipencarkan ke berbagai arah, sehingga membuat kita kesulitan merangkai dan menghubungkan setiap anatomi semiotik demi mencapai makna yang bulat.

Serentak dengan itu, kita mungkin perlu kembali merestorasi apa yang hilang dan terhapus dari penciptaan terkuno manusia, yakni “penciptaan kata-kata”. Bahwa pada mulanya, segala “kata” ialah “metafora”. Tidak ada batas tegas antara “yang kias” dan “yang lugas”. Namun, metafora mati sejak manusia kehilangan hasrat terhadap segala yang konkret. Ketika kata-kata digunakan sebagai konsep umum, ketika kata-kata hanya difungsikan sebagai simbol tanpa citra, “kata-kata” telah kehilangan “misteri”-nya. Hilangnya “misteri” dalam “penciptaan kata-kata” itu, pada akhirnya juga menghapus pengalaman manusia dalam mengalami bahasa. Seseorang jelas tidak akan mengalami sesuatu yang sudah ia kenal. Dalam situasi seperti itu, saya ingat apa yang dikatakan Goenawan Mohamad mengenai puisi modern. Puisi modern, katanya, adalah bahasa yang telah hijrah dari bahasa publik. Berbeda dengan bahasa publik, di mana komunikasi menjadi tujuan utama, bahasa dalam puisi modern justru berupaya memungkirinya.

Hijrah dari bahasa publik berarti menepis desakan makna. Maka, makna bukanlah orientasi utama dalam puisi modern. Dengan hijrah ini, penyair berusaha menemukan dan menghadirkan ulang “gambar yang telah hilang dan terhapus” dari “proses penciptaan kata-kata”—sesuatu yang hanya mungkin ketika manusia mengalami “kata-kata” sebagai “pengalaman”, dan “yang konkret” masih dipandang dengan sepenuh hasrat. Pemahaman ini paling tidak dapat menjadi pintu masuk untuk menerka kemungkinan, mengapa imaji-imaji dalam Pandora sering tidak menggaris lingkar semantis dengan sempurna. Oka, barangkali ingin mengulangi momen “bahasa” sebagai “pengalaman” yang lahir dari hasrat terhadap yang konkret tersebut. Namun, “yang konkret” dalam Pandora bukanlah mendung berarak dan arus beriak, gunung berantai atau pasir tak tepermanai. “Yang konkret” itu adalah berbagai pengalaman menyandang tubuh sebagai perempuan.

Sebagaimana latar dalam unsur fiksi dapat juga berfungsi sebagai metafor, imaji pun sebenarnya bisa difungsikan untuk tujuan yang sama. Kendati demikian, imaji dibangun bukan untuk memproduksi “makna”, melainkan untuk menghasilkan persepsi khusus terhadap “objek” yang direpresentasikan melalui bahasa. Ia tidak serupa metafora yang dibangun di atas hubungan proporsionalitas tenor-vehicle sebagaimana dijelaskan Richards dalam The Philosophy of Rhetoric-nya. Alih-alih menjadi sarana (vehicle), imaji cenderung difungsikan untuk mengandung “visi-objek”. Imaji lebih merupakan image as art daripada resource as information. Frasa “laut runcing” pun dapat dibaca dalam kedua kerangka tersebut. Di satu sisi, frasa tersebut menghasilkan kesan persepsi spesifik mengenai objek yang entah, yakni laut runcing itu sendiri, sedangkan di sisi yang lain, ia dapat juga menjadi sarana yang merujuk kepada makna tertentu. Itulah sebabnya, tafsir mengenai pisau yang sudah dibuhul sebelumnya akan merucut ketika di pemungkas puisi, penyair menulis: “Kelak, bila lautku telah runcing dan pantai-ku sudah menyatu/dengan pulau, akankah kulahirkan sungai?”.

Larik tersebut membuat hubungan antara “laut runcing”, “pisau runcing”, dan “pisau zakar” terkesan buyar, sehingga pemaknaan kita terhadap hubungan ketiganya dengan maskulinitas pun terputus. Usaha menyusun anatomi semiotik untuk mencapai kebulatan semantik pun terpecah. Namun, kita dapat mencurigai bahwa bentuk ini mungkin merupakan kecenderungan ekspresi yang disengaja untuk menghasilkan “persepsi khusus” itu sendiri. Bahwa mungkin, terdapat visi tertentu yang hendak disampaikan penyair melalui objek-objek imajinya yang berlesatan di dalam teksnya.

Begitu memasuki ranah puisi, bahasa memang bukan lagi sekadar moda transportasi untuk menghadirkan ulang realitas. Ketika seorang penyair menggunakan laut dalam puisinya, kita seharusnya tidak memosisikan laut dalam kerangka berpikir mimetis, sehingga kita cenderung mengindera laut dalam puisi sebagai laut dalam realitas empiris. Sebab, dalam hal ini, bahasa sudah bukan lagi diorama realitas; ia telah menjadi realitas itu sendiri. Demikian pula laut dalam puisi Oka yang menghadirkan berbagai bentuk modus tatapan ke hadapan kita.

Kita dapat menduga bahwa “laut runcing” di puisi “Makatu” berhubungan khusus dengan maskulinitas, bukan hanya karena ia menjadi penanda yang mengacu ke arahnya, melainkan karena berkaitan dengan “laut sebagai panorama puitik” dalam sejarah perpuisian di Indonesia; laut yang cenderung pepat oleh kapal para penyair laki-laki ketimbang perempuan. Betapa laut memang banyak diolah para penyair lelaki dalam sejarah perpuisian kita. Takdir memadahkan kebebasan dalam menyongsong modernisme sosial melalui sajaknya “Menuju ke Laut” sebagaimana juga Asrul Sani dengan sajaknya, “Anak Laut”. Sementara itu, di angkatan sesudahnya, Chairil—sebagaimana diamati Dewi Anggraeni—mengolah laut menjadi berbagai rupa metafora.

Tak ayal, Afrizal Malna pernah menyebut bahwa puisi di Indonesia adalah sejarah dari dunia laki-laki, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Sapardi Djoko Damono juga mencatat bahwa jumlah penyair perempuan di Indonesia sangat sedikit dibandingkan dengan penyair laki-laki. Mengukuhkan kedua klaim tersebut, catatan Ajip Rosidi dalam Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia (1969) juga menyebutkan bahwa jumlah pengarang wanita sejak kurun 1960-an ke atas belum begitu banyak, meski telah juga kelihatan tanda-tanda bahwa jumlahnya yang sedikit itu kian bertambah dari waktu-waktu. Namun, apakah yang disampaikan oleh ketiga tokoh tersebut hanyalah gebyah-uyah atau memang fakta historis?

Sejarah memberi tahu kita bahwa kedudukan perempuan sebagai pengarang di Indonesia baru mulai mendapat perhatian dan menjadi perbincangan sejak awal 1960-an—sesuatu yang cukup terlambat mengingat tonggak sastra Indonesia dimulai pada 1920-an. Eneste (2001) mencatat bahwa hingga 1962, hanya ada dua penyair perempuan yang menerbitkan kumpulan puisi, yakni S. Rukiah dan Susi Aminah Aziz. Sementara itu, sejak 1920-an hingga 2000-an, hanya 28 penyair perempuan yang berhasil menerbitkan 68 buku kumpulan puisi (baik tunggal maupun antologi) dari total 810 buku yang diterbitkan. Artinya, karya penyair perempuan sepanjang kurang lebih delapan dekade hanya sekitar 7% dari seluruh penyair di Indonesia.

Meski kita boleh tak sepakat dengan Malna yang terkesan mempersandingkan “kualitas” dan “kuantitas” sebagai dua hal yang berbanding sejajar, menyisir karya bermutu tentu lebih mudah dilakukan dalam kondisi kemelimpahan ketimbang sebaliknya. Ini belum menyentuh faktor eksternal yang menyebabkan absennya penyair perempuan dalam sejarah sastra Indonesia, seperti lebih dipilihnya tanggung jawab domestik yang mengakibatkan terputusnya proses kepenyairan mereka.

Sehubungan dengan konteks historis tersebut, Oka adalah penyair perempuan yang muncul pada kisaran 1980—2000-an. Pada saat yang sama, di antara kurun inilah dominasi kekuasaan yang berlangsung selama lebih dari tiga dasawarsa tumbang. Robohnya dominasi tersebut menciptakan atmosfer demokrasi dalam berbagai dinamika kehidupan Indonesia, termasuk dalam “sejarah puisi di Indonesia”—yang juga mengalami dominasi maskulinitas—dan para perempuan yang berlayar dalam lautan tersebut. Tetapi, apakah korelasi puisi “Makatu” dengan segenap catatan sejarah perpuisian tersebut?

Perlu dicatat bahwa “Makatu” adalah puisi Oka yang ditulis pada 1999—setahun setelah dominasi kekuasaan selama lebih dari tiga dasawarsa itu diruntuhkan. Terlepas dari kemungkinan bahwa keselarasan ini hanyalah kebetulan semata-mata, kita dapat menganggap “Makatu” sebagai ekspresi sadar Oka—selaku penyair perempuan—dalam menanggapi dominasi sejarah perpuisian Indonesia yang serupa laut pepat kapal perompak laki-laki itu. Sejarah perpuisian Indonesia yang sangat maskulin juga mengandaikan bahwa lingkungan teks perempuan dalam puisi Indonesia cenderung pasif. Dalam rangka merobohkan kecenderungan ini, pilihan kata dan gabungan kata yang digunakan penyair menjadi upaya sadar untuk mengekspresikan penolakan terhadap mitos-mitos bahasa yang lahir dari peruang-genderan, yang sering dilekatkan pada perempuan sebagai yang feminin.

Itulah mengapa, di sepanjang Pandora, kita menemukan banyak pilihan kata yang menerbitkan imajinasi kekerasan. Seolah-olah yang runcing dan tajam bukan sekadar teritori laki-laki sebagai subjek yang maskulin, melainkan juga perempuan sebagai subjek feminin. Melalui pilihan kata ini, mitos tentang kata yang sering dianggap sebagai diksi perempuan pun didemitologisasi. Dengan demikian, kita menyaksikan batasan-batasan tersebut diterabas sehingga bahasa perempuan ditampilkan dalam kata kerja aktif ketimbang sebaliknya. Ia tidak hanya muncul sebagai yang menanak, tetapi juga menerkam; tidak hanya memasak dan menyusun menu, tetapi juga melumat; tidak sekadar direngkuh dan dicium seolah “objek yang pasif”, melainkan juga “subjek aktif”, yang menjilat, menelan, mengunyah, bahkan membakar (Di museum, matamu memecahkan seorang perempuan. Kau terbangun dari kantuk. Kutelan gelap. Kukunyah api. Aku mulai membakar jantung).

Jika tafsir ini kita pertautkan dengan pembahasan mengenai citra vagina sebagai lubang gua yang lapar, citra tersebut mengimplikasikan bahwa vagina bukan hanya sekadar liang gua yang pasrah dimasuki, melainkan mulut yang dapat menjilat, menelan, bahkan mengunyah siapa pun yang memasukinya. Cara Oka mempersonifikasikan vagina sebagai tubuh libidinal secara anarki, seperti yang lapar dan seakan dapat menjilat, menelan, dan mengunyah itu mungkin mengingatkan kita pada puisi “Post-Scriptum” karya Toety Heraty. Dalam sajak berkolofon 1995 itu, Toety menegaskan bahwa seorang wanita tidak perlu “mengubah kata mentah menjadi indah”, sebagaimana “tubuh wanita” sering kali dikiaskan sebagai “alam hangat”, dan ungkapan “senggama”dihaluskan menjadi “pelukan yang paling akrab”. Hal yang amelioratif harus dilucuti, sebab hanya dengan begitu, tubuh dan seksualitas tidak lagi menjadi tabu untuk dibicarakan.

Sementara itu, apabila kita tarik kembali tafsir di atas pada konteks sejarah kontrol dan penindasan kaum perempuan pada masa Orde Baru, “citra vagina sebagai lubang gua yang lapar”—yang mengiaskan perempuan sebagai subjek yang aktif—tampaknya menjadi simbol subversif yang secara sadar Oka bangun. Kita tahu, ideologi “ibuisme” yang dianut dan diindoktrinasikan oleh rezim Suharto mencitrakan sosok ideal perempuan sebagai pihak yang patuh, diam, dan merawat keluarga.  Dengan mencitrakan “vagina” sebagai “lubang gua yang lapar”, penyair mendesakralisasi/mendemitologisasi atribut-atribut idealitas perempuan yang dikonstruksi, yaitu melalui “peruang-genderan bahasa”. Dengan kata lain, penyair juga mendekonstruksi konsep “ibuisme” yang telah mengakar dalam ketidaksadaran kolektif masyarakatnya. Perempuan ideal bukan lagi citra dari tokoh Sumbadra yang menjadi konco wingking Arjuna, melainkan seorang Srikandi yang vokal dan militan di medan juang.

Bagaimana Oka mendesakralisasi/mendemitologisasi figur perempuan sebagai ibu juga menampilkan sisi lain yang kerap tak disebut—taruhlah oleh kacamata ekofeminisme—tentang manifestasi pola dasar “ibu”. Bahwa manifestasi dari pola dasar “ibu” tidak hanya bersifat kreatif, tetapi juga destruktif. Pola dasar “ibu” tidak hanya bersifat “memelihara”, tetapi juga “ganas dan menakutkan”. Ia bukan hanya figur “pemberi kehidupan”, melainkan juga “perenggut kehidupan”. Tak ayal, jika dalam Pandora kita akan menjumpai pola dasar “ibu” yang tak selalu dibayangkan seperti Dewi Sriyang memberkati kesuburan, tapi juga sosok mitologis Dirah, si perempuan berambut api dan bermulut bisa/ular (“Hikayat Perempuan”). Hal ini juga didukung oleh transitivitas kekerasan yang dipilih dan dipakai penyair di dalam teksnya sebagaimana telah dibahas. Pilihan transivitas kekerasan tersebut merupakan laku sadar dalam upaya mengartikulasikan pengalaman si penyair, baik ketika ia menyandang predikat sebagai “ibu” maupun “individu”.

Selain transitivitas kekerasan menjadi kecenderungan ekspresi, “tubuh”—dalam hal ini tubuh perempuan—juga menjadi wacana penting di dalam Pandora. Pada banyak puisi di dalamnya, Oka memanfaatkan transitivitas guna menampilkan “tubuh perempuan” sebagai subjek yang aktif mengalami, dan bersama-sama si pemiliknya, turut “mengalami dunia”, serta menjadi jembatan untuk mengartikulasikan pengalamannya. Namun, tubuh dalam Pandora  adalah “tubuh yang difragmentasi”. Pada saat yang sama, fragmentasi terhadap anatomi tubuh perempuan—sebagaimana diutarakan Sara Mills—dianggap sebagai tindakan mendepersonalisasi, mengobjektivikasi dan mereduksi tubuh, sehingga tindakan tersebut sama dengan merepresentasikan perempuan sebagai sebatas properti yang tak berkesadaran. Dengan logika yang sama, fragmentasi terhadap tubuh laki-laki dapat dibaca dengan pola serupa. Mungkinkah hal ini dimaksudkan oleh penyair untuk memungkiri bahasa, yang secara biner diruanggenderkan sebagai bahasa feminin oleh konstruksi sosial-budaya masyarakatnya?

Membaca puisi berjudul “Skizofrenia”, kita akan melihat bahwa fragmentasi tubuh yang dijalankan Oka rupanya tak bisa begitu saja dipersamakan dengan postulasi Mills. Kita simak puisi yang dimaksud.

SKIZOFRENIA

di sebuah cafe

Tanpa kautahu,
aku telah membakar dagingku. Juga serpihan lemak yang me-     
ngalir, membasuh lorong kelangkangku. Saat kucium aroma-
mu, daun-daun tubuhku rontok. Kecoklatan, kering, dan dingin
bersama datangnya malam. Aku ingin sentuhan angin 
atau aroma bunga-bunga memandikan wujudku yang asing.

Tanpa kautahu,
aku telah menyelipkan harum keju dari seorang lelaki merah
yang kuperas di cafe itu. Kuselipkan segelas cappucino, se-
potong brownies, ke laparku yang sempat hilang saat kukandung
segumpal lemak yang mengingatkanku pada Gandari. Aku 
muntah, Kekasih.

Tanpa kautahu,
kuiris tubuhku tipis-tipis. Kelaparan yang asing, hawa panas,
hujan dan mendung yang menggantung di mataku, semua
mengembuskan nafas. Mungkin aku ingin mati dan menjelma
jadi perempuan baru. Tapi luka di perutku meninggalkan nyeri
abadi. Dia telah mengambil tubuhku. Aku hilang ditelannya 
saat dia menatapku.

Tanpa kautahu,
di sebuah cafe, di tengah hujan pasir dan lengking asap steak,   
seorang pelayan laki-laki menyodorkan croissant. Harum tubuh-
nya membakar tulangku. Begitu muda, tanpa malu-malu dia
telanjang. Kucicipi seiris dagingnya. Betapa kenyal dan gurih
terasa.

Tanpa kautahu,
sepotong laki-laki berlumur keju menabur keringat di pori-
poriku. Aku pun menggeliat liar sambil menjilati seluruh lapisan
tubuh-ku. Asin! Sepiring cairan, sekotak selimut dan harum
bunga membalut tubuhku. Aneh, malam belum juga jatuh,
sementara rasa laparku tak habis-habis. Tubuh siapa lagi yang
kutunggu?

2001

Dalam puisi “Skizofrenia”, kita dapat mencatat sekurang-kurangnya enam referensi elemen anatomi tubuh perempuan (dagingku, lorong kelangkangku, tubuhku, mataku, perutku, pori-poriku), disertai dengan empat referensi yang sama untuk laki-laki (aroma, tubuh, daging, keringat). Selain itu, fokus sepenuhnya menjadi milik aku-lirik perempuan sebagai narator. Karena narator sepenuhnya dipegang oleh aku-lirik perempuan, tubuh laki-laki dalam teks pun menjadi objek tatapan, sedangkan aku-lirik perempuan menjadi subjek yang mencandrakan tubuh laki-laki sebagai objek tatapannya.

Jika dalam stilistika feminis, dominasi maskulinitas salah satunya ditandai dengan diposisikannya tubuh perempuan sebagai objek tatapan, Oka malah tampak menjungkirbalikkan pranata tersebut. Ia menjadikan tubuh laki-laki sebagai objek tatapan yang dideskripsikan. Dengan cara ini, veyourisasi yang biasanya dihasilkan oleh penyematan sifat-sifat erotis terhadap objek perempuan—misalnya pada literatur pornografi—kini justru dialamatkan kepada laki-laki. Dalam puisinya, Oka misalnya menulis: “Saat kucium aromamu, daun-daun tubuhku rontok; aku telah menyelipkan harum keju dari seorang lelaki merah yang kuperas di cafe itu; Harum tubuhnya membakar tulangku. Begitu muda, tanpa malu-malu dia telanjang. Kucicipi seiris dagingnya. Betapa kenyal dan gurih terasa; sepotong laki-laki berlumur keju menabur keringat di pori-poriku. ”Jika dalam puisi “Embrio”, transitivitas kekerasan menghasilkan citra embrio sebagai penyiksa, dalam “Skizofrenia”, fragmentasi tubuh laki-laki menghasilkan veyourisasi. Veyourisasi ini adalah konsekuensi dari diposisikannya laki-laki sebagai objek tatapan yang dideskripsikan secara erotis.

Langkah yang berani, kita tahu, kadang harus dibayar dengan risiko. Demikian halnya dengan strategi literer yang ditempuh Oka dalam menjadikan tubuh laki-laki sebagai objek tatapan yang dideskripsikan. Pasalnya, jika gagasan emansipasi gender justru dijalankan dengan cara yang sama seperti laki-laki memfragmentasi tubuh perempuan, yang sejatinya terjadi adalah: rezim dominasi laki-laki yang hendak diruntuhkan tidak berubah sama sekali, kecuali variasi peng-gender-annya belaka. Namun, kita tetap tidak bisa mengikat simpulan hasil pembacaan hanya sampai dan berdasar pada analisis ini. Nyatanya, fragmentasi tubuh laki-laki dan transitivitas kekerasan yang dijalankan penyair sebagai strategi literer di dalam puisinya, menghasilkan resepsi yang berbeda begitu objek tatapannya pun berbeda. Puisi berjudul “Pasha” membuktikan hal ini. Apakah sebabnya?

Pertama, dalam puisi “Pasha”, fragmentasi tubuh laki-laki dijalankan bersamaan dengan fokalisasi yang berfokus pada aku-lirik perempuan. Karena aku-lirik dalam puisi “Pasha” adalah subjek yang menyandang predikat sebagai “Ibu” (Tahukah kau aku/sering mengiris kulitku, berharap bisa memaksukkan tubuhmu/kembali ke dalam tubuhku), tubuh laki-laki yang menjadi objek tatapan dalam teks adalah tubuh anak si aku-lirik. Kedua, setiap transitivitas dalam konstruksi kalimat mengarah pada hierarki antara subjek dan objek, siapa yang bertindak dan siapa yang ditindaklanjuti. Maka, implikasi yang dihasilkan dari pemakaian transitivitas kekerasan, bertalian dengan siapakah subjek dan objek yang dipilih. Praksisnya, subjek dan objek yang berbeda akan menghasilkan relasi dan efek yang berbeda pula. Supaya lebih jelas, perhatikan, misalnya, transitivitas kekerasan pada petikan puisi “Pasha” berikut:

Aku masih ingat bau amis itu, ketika tiga orang lelaki merobek
perutku dan mengambil tubuhmu paksa dari tubuhku.

Pada petikan di atas, transitivitas kekerasan terdapat pada kata “merobek” dan “mengambil paksa”. Aku-lirik perempuan berposisi sebagai “objek yang pasif” (ditindaklanjuti), ditandai dengan adanya klitik -ku. Sementara itu, subjek yang berposisi sebagai penindaklanjut adalah “tiga orang lelaki”. Kita juga menyaksikan narator (aku-lirik) mengalami pergeseran fokus. Transitivitas yang dipilih penyairlah yang menyebabkannya. Cara penggunaan “kata kerja transitif” yang mengandung “makna kekerasan” serta kepada siapa transitivitas itu merujuk, akhirnya juga berkaitan dengan cara (perempuan) memandang posisi mereka di dunia dan hubungan mereka dengan orang lain. Transitivitas dalam penggalan puisi di atas menunjukkan hal tersebut. Narator (aku-lirik) perempuan dalam teks, kita tahu, berposisi sebagai “objek yang pasif” atau “yang ditindaklanjuti” karena transitivitas kekerasan yang digunakan mengacu pada “tiga orang lelaki” yang berposisi sebagai “subjek yang menindaklanjuti”.

Efek tersebut tidak akan kita temukan begitu Oka membusurkan transitivitas kekerasan yang ia pilih pada subjek yang berkedudukan sebagai si anak. Dalam salah satu lariknya, Oka menulis: “Aku mabuk,/dan selalu hampir mati setiap kausentuh tubuhku dengan nyala yang/meluap kaualirkan, setiap kau mencengkeram tubuhku dengan aroma/matamu” (“Pasha”). Kita tahu bahwa pada larik tersebut, narator (aku-lirik) juga berposisi sebagai “objek yang ditindaklanjuti”. Namun, transitivitas kekerasan yang dipilih penyair tampak ditujukan untuk menghasilkan ekspresif yang berbeda.

Ketika kata kerja kekerasan dilakukan oleh subjek laki-laki yang berkedudukan sebagai anak, aku-lirik perempuan memang tetap menjadi objek yang ditindaklanjuti, tetapi bukan dalam arti sebagai objek yang didominasi dan diobjektivikasi. Alih-alih menyaksikan tubuh aku-lirik sebagai objek yang didominasi dalam arti negatif seperti dalam larik “Aku masih ingat bau amis itu, ketika tiga orang lelaki merobek/perutku dan mengambil tubuhmu paksa dari tubuhku”, dalam larik “setiap kau mencengkeram tubuhku dengan aroma/ matamu” kita justru melihat ekspresi pengalaman intim si aku-lirik perempuan dengan subjek laki-laki yang berposisi sebagai anaknya. Hal ini tidak kita temui dalam “Skizofrenia”, karena transitivitas dan fragmentasi tubuh laki-laki dalam puisi tersebut menghasilkan veyourisasi.

Dengan cara sebagaimana telah dibahas, penyair seakan-akan hendak menegaskan bahwa sosok ibu merasakan ikatan cinta dengan anaknya, tak selalu dijembatani oleh pengalaman haru-biru bahagia, tetapi juga rasa sakit yang dialami oleh tubuh-perempuannya. Dus, hubungan antara seorang ibu dengan si buah hati, tak hanya diikat oleh sentuhan, tetapi juga cengkeraman (Aku mabuk,/dan selalu hampir mati setiap kausentuh tubuhku dengan nyala yang/meluap kaualirkan, setiap kau mencengkeram tubuhku dengan aroma/matamu). Tak juga melulu oleh senyuman, tetapi juga ronta yang serupa badai topan mengamuk begitu dahsyat. Melalui pengalaman-pengalaman yang melibatkan rasa sakit yang dialami tubuh, seorang ibu terhubung dan/atau menghubungkan diri dengan buah hatinya. Rasa sakit yang dialami tubuh itu seumpama tali-pusat yang menghubungkan seorang ibu dengan embrio yang ia kandung di dalam rahimnya. Maka, “desakralisasi” terhadap figur “ibu” yang dihadirkan oleh Oka melalui puisi-puisinya, barangkali malah merupakan bentuk “sakralisasi” yang dijalankan dengan cara selain-lainnya.

Yohan Fikri adalah penyair dan kritikus sastra.

Editor: Asief Abdi

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Park dan Roman Klise

24 September 2025 - 20:31 WIB

Anastomosis Maut dan Cinta

6 September 2025 - 13:00 WIB

Memandang Cinta dari Jauh

3 September 2025 - 16:00 WIB

Banyak dibaca di Kritik Seni