Menu

Mode Gelap
Festival Sastra-Sains 2025, Epistemologi Maut dan Cinta Tentang Roh dan Seks Park dan Roman Klise Mencari Surga dalam Peta Perihal Puisi dan Gejala Kematian Sejarah One Piece, Nika, dan Genderang Pembebasan

Esai Budaya

Ketika Sel Berpuasa


					Foto oleh Asief Abdi/Sivitas Kothèka Perbesar

Foto oleh Asief Abdi/Sivitas Kothèka



“Berpuasalah maka kamu akan sehat” adalah hadis yang pernah saya dengar di suatu ceramah. Meski rupanya hadis tersebut daif, banyak yang percaya bahwa puasa mampu membuat tubuh jadi bugar. Konon, laku tersebut bisa mendetoksifikasi tubuh, memperpanjang umur, bahkan menjernihkan pikir. Terlepas dari itu, orang masih lazim berpuasa demi pahala belaka. Namun, apakah puasa sekadar perkara ibadah? Atau ada dimensi lain yang membuatnya terus lestari di berbagai tradisi?

Nyatanya, puasa tidak melulu dimonopoli kaum beriman. Seseorang tanpa dogma tertentu juga berpuasa demi jodoh, lulus ujian, atau memang karena ngenes saja lantaran belum dapat kiriman bulanan dari orang tua. Akan tetapi, puasa memang lazim dikaitkan dengan kepercayaan terhadap sang penguasa semesta. 

Orang Mesir dan Yunani kuno, misalnya, telah akrab dengan doktrin tersebut. Selain sebagai usaha mendekat kepada dewata, menahan lapar dan dahaga juga menjadi bentuk pengakuan serta penebusan dosa. Di komunitas nonreligius, puasa kadang dikerjakan sebagai upaya merasakan penderitaan kaum papa. Semacam latihan demi maujudnya jiwa altruis. Jauh sebelum ilmu medis berkembang, tampaknya puasa lebih dipandang sebagai laku spiritual atau sosial, bukan sebagai metode menjaga raga. Namun, seiring kebangkitan sains, perspektif terhadap praktik itu pun meluas.

Agaknya kita patut berterima kasih kepada Yoshinori Ohsumi dan penelitiannya tentang ragi yang pada 2016 lalu dianugerahi hadiah Nobel di bidang fisiologi. Secara tak langsung, risetnya berhasil mengungkap benang merah antara puasa dan kesehatan. Semula, Ohsumi mengamati vakuola yang dianggap sebatas tong sampah bagi sel khamir. Ia menemukan bahwa banyak vesikel terakumulasi di dalam organel tersebut ketika sel dibuat “lapar”. Mekanisme itu identik dengan yang terjadi pada sel mamalia. Bedanya, dalam tubuh kita, organel yang berperan ialah lisosom. Kantung mikro berisi enzim hidrolitik tersebut bertanggung jawab melakukan daur ulang komponen dan protein seluler yang rusak berikut debris patogen seperti bakteri atau virus di dalam sel.

Kemampuan regeneratif itu bernama autofagi. Terjemahan bebasnya “memakan diri sendiri”. Berbeda dengan apoptosis (kematian terprogram seluruh bagian sel), autofagi hanya “memakan” bagian tertentu sel. Ibaratnya begini, bayangkan elemen yang rusak adalah  “hatimu” (dalam arti perasaan bukan liver, eh). Ketika hatimu koyak moyak gegara dia, si red flag, kamu ingin membuang organ tersebut ke laut sebab ogah menahan nyeri di dada. Sampai-sampai kamu mau hatimu mengalami apoptosis: kematian total. Masalahnya, kata Bernadya, hidup harus terus berjalan dan tentu kamu butuh “hati”-mu untuk merasa. Maka, autofagi solusinya. Proses tersebut akan menggerogoti bagian-bagian lebam, sedangkan keping-keping yang masih bagus akan direkonstruksi untuk membangun “hati” yang baru.

Kondisi serupa terjadi pada organel rusak. Lisosom mengandung enzim pendegradasi protein. Bagian subselular dan protein tak berguna bakal dilahap oleh organel itu. Kalau tidak ada lisosom, mungkin zona internal sel kita sudah mirip gunungan sampah laiknya TPA Piyungan.

Nah, uniknya, autofagi tidak selalu aktif. Ia seperti tukang sampah yang bisa saja enggak mood bekerja dan membiarkan sampah menumpuk di depan rumahmu. Padahal, timbunan limbah seluler dapat berujung penyakit seperti alzheimer, parkinson, dan kanker. Oleh karena itu, “si tukang sampah” tak boleh bermalas-malasan. Untungnya, tubuh punya mekanisme agar autofagi bekerja.

Suatu hormon, yakni glukagon, berperan dalam aktivasi autofagi. Saat puasa, konsentrasi hormon tersebut meningkat, menyediakan energi berupa glukosa bagi tubuh yang lapar seharian melalui mekanisme glikogenolisis. Lonjakan glukagon turut memicu kaskade autofagi. Prosesnya mirip yang kamu lakukan ketika kamarmu disidak ibu. Mau tidak mau kamu mesti membuang buku-buku yang dilahap rayap, baju-baju bolong di gantungan, juga tumpukan tisu di keranjang sampah. Barang-barang lain yang sudah tak kamu pakai, ibumu suruh jual ke tukang loak. Hasilnya, kamar yang bersih dan lempang. Begitulah kerja autofagi. Setelah proses beres, sel bebas tumpukan sampah dan kita selamat dari potensi penyakit yang diakibatkan kotornya ruangan sel.

Selain mengeliminasi limbah, rupanya puasa juga menstimulasi peningkatan kadar hormon tumbuh. Anggaplah hormon itu seperti ibu yang menyuruhmu beli baju, buku, dan tisu baru dengan uang hasil jualan barang bekas tadi. Jadi, selain bersih, kamarmu kini lengkap dengan perkakas anyar sehingga tampak seperti ruangan yang baru direnovasi. Bayangkan aksi bersih-bersih tersebut berlangsung di tubuhmu. Ketika sel-sel meremajakan diri, usia harapan hidup pun meningkat dan raga bakal awet muda. Tak hanya itu, manfaat autofagi juga menjangkau otak, memberikan dampak yang lebih dari sekadar peremajaan fisik.

Saat proses regenerasi terjadi di sel saraf, neuron yang usang diperbarui dan proses kelistrikan otak pun membaik. Agaknya, efek tersebut sejalan dengan testimoni seseorang yang percaya kalau pikirannya jadi lebih jernih dan damai usai puasa. Maka, puasa juga dianggap penangkal demensia. Akan tetapi, puasa macam apa yang bisa menghasilkan berbagai manfaat positif itu?

Perlu diketahui bahwa puasa tak selalu merangsang autofagi. Ledakan kadar senyawa tertentu, seperti protein dan karbohidrat, bisa langsung mematikan saklar autofagi. Bahkan, sebutir sukrosa bisa merusak segalanya. Jadi, tubuh mesti benar-benar bebas karbohidrat dan protein selama rentang waktu tertentu supaya mekanisme tersebut bisa aktif.   

Lantas, bagaimana kita bisa merasakan mukjizat medis puasa? Khasiat puasa rupanya bergantung pada durasi. Tombol autofagi hanya bisa terpicu jika sel “lapar” lebih dari 14 jam. Sila dikalkulasi sendiri berapa lama kita mesti menahan lapar dan haus. Kalau tak sampai jangka waktu tersebut, autofagi belum bisa aktif. Lebih-lebih kalau buka puasamu ugal-ugalan. Alih-alih sehat, kadar insulinmu bakal melonjak brutal dan rasakan sendiri akibatnya. Jika lonjakan itu berlangsung terus menerus, pankreasmu lama-lama capek juga, seperti gebetan yang kamu kasih harapan palsu terus. Reseptor di berbagai organ tubuhmu juga bakal rentan mengalami resistensi insulin. Jadi, meski hormonnya ada, organ ogah menerima glukosa masuk ke dalam sel. Kalau pankreas sudah lelah dan reseptor insulin pun ogah-ogahan, diabetes melitus ganjarannya. 

Puasa justru akan berguna bila diikuti penyederhanaan menu berbuka. Tak perlu balas dendam dengan menyantap semua makanan yang muncul di angan. Cukup sejumlah nutrisi yang dibutuhkan. Bukankah kebutuhan lebih penting dari keinginan? Namun, sepertinya orang-orang tak terlalu peduli soal kesehatan. Sering kali yang penting buka puasa bareng dengan hidangan melimpah untuk disantap dan diunggah ke media sosial, bukan?

 

Sasti Gotama adalah dokter sekaligus penulis prosa fiksi. Karya-karyanya pernah menjadi buku sastra pilihan Tempo 2024 dan 2020, pemenang pertama hadiah sastra RASA 2022, cerpen pilihan Kompas 2020 dan 2023, pilihan juri sayembara novel DKJ 2023, dan pemenang kedua sayembara naskah teater DKJ 2024.

 

Editor: Asief Abdi

 

 

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Tentang Roh dan Seks

27 September 2025 - 11:52 WIB

Foto oleh Asief Abdi/Sivitas Kothèka

Mencari Surga dalam Peta

20 September 2025 - 13:00 WIB

Foto oleh Asief Abdi/Sivitas Kothèka

Perihal Puisi dan Gejala Kematian Sejarah

17 September 2025 - 12:00 WIB

Banyak dibaca di Esai Budaya