“Jangan berdusta, atau hidungmu akan tumbuh dan tumbuh dan tumbuh,” ucap Gepetto kepada Carlo putranya, dalam film Pinocchio besutan Guillermo del Toro. Kala Carlo mempertanyakan maknanya, Gepetto menjawab, karena bualan itu akan lekas tersingkap sebagaimana hidung panjang yang terlihat oleh semua orang, kecuali oleh si pendusta itu sendiri.
Sudah pasti, sebagai hamba gereja yang saleh, Gepetto ingin putranya terhindar dari dosa yang tak luput disebut dalam Sepuluh Perintah Tuhan itu. Sebab, bagaimanapun, neraka akan menjadi ganjarannya. Namun, bagaimana bila “dusta” terpaksa dilakukan demi tujuan mulia?
Pada 1940-an, semasa Perang Dunia II, Henry Beecher, seorang dokter Amerika, menghadapi situasi genting. Jumlah prajurit dengan tulang remuk atau daging terkoyak melonjak tajam, sedangkan cadangan morfin menipis. Henry punya dua pilihan: berkata jujur bahwa ia kehabisan morfin dan membiarkan para prajurit melenguh kesakitan atau berdusta. Ia memilih cara kedua.
Meski menyuntikkan larutan saline, ia berkata bahwa yang ia berikan adalah morfin. Menakjubkan, hampir dari separuh prajurit penerima cairan tersebut menyatakan bahwa nyeri mereka berkurang dengan signifikan sehingga dapat dioperasi tanpa anastesi memadai. Kelak ini akan dikenang sebagai legenda penemuan “efek plasebo”.
Praktik semacam ini sesungguhnya tidak etis dilakukan para dokter yang telah mengikrarkan sumpah Hipokrates. Praktik plasebo—pemberian zat yang tak mengandung senyawa terapeutik aktif—hanya dilakukan di ranah penelitian atas subjek-coba untuk melihat sejauh mana efektivitas obat. Meski begitu, agaknya laku ini dikerjakan secara luas oleh “penyembuh-penyembuh” lain dengan dalih pengobatan alternatif. Beberapa penerima layanan tersebut tampaknya memberikan testimoni positif berupa “kesembuhan”. Ini menarik. Pasti ada penjelasan masuk akal di balik klenik tersebut.
Apakah kamu pernah jatuh di aspal, lalu kekasihmu mencium luka robek di lututmu dan berkata, semua akan baik-baik saja? Lantas, voila! dan nyeri itu hilang tak berbekas? Sama, saya juga tidak pernah. Namun, secara hipotesis, hal itu mungkin dan seperti itulah kerja efek plasebo. Kecupan itu tentu tidak serta merta membuat luka robek itu terjahit sendiri, tetapi nyatanya nyeri tersebut mungkin berkurang atau lenyap. Lihat saja orang yang menderita encok menahun, kemudian minum air kobokan tangan dan batu Ponari, tiba-tiba merasa sehat walafiat tanpa nyeri pinggang dan pulang dengan melenggang.
Bruce Lipton dalam Biology of Belief percaya bahwa tubuh fisik dapat dipengaruhi pikiran yang immaterial. Baginya, pikiran bisa memengaruhi secara langsung bagaimana otak mengontrol fisiologi tubuh. “Energi” dari pikiran, bagi Lipton, bisa mengaktifkan atau menghambat fungsi sel dalam memproduksi protein melalui mekanika interferensi konstruktif dan destruktif. Sederhananya, ketika seseorang meyakini bahwa tubuhnya bisa pulih sendiri melalui olah pikir, segala penyakit, entah radang sendi atau kanker bisa sembuh.
Akan tetapi, pengalaman saat praktik membuat saya skeptis. Entah sudah berapa puluh pasien di Puskesmas yang memilih terapi alternatif dan kembali datang dengan sakit lebih parah. Masih segar di ingatan saya tentang seorang lelaki dengan benjolan kecil di lehernya yang menolak rekomendasi saya untuk rujuk ke onkolog lantaran yakin berobat alternatif lebih cocok untuknya. Ia merasa nyerinya berkurang dan benjolannya mengecil. Delapan bulan kemudian, si pasien datang kembali dengan benjolan sebesar kepalan tangan yang agaknya telah masuk fase terminal.
Dari kasus itu, bisa saya simpulkan bahwa jejampi yang ia terima hanya membuatnya merasakan efek plasebo di tingkat “perseptif”, yaitu menurunkan persepsi nyeri. Padahal nyeri itu sendiri subjektif. Terapi alternatif tersebut sama sekali tidak memengaruhi perjalanan penyakit kankernya. Sel-sel mutan jahanam itu tetap beranak cucu dan bertamasya ke organ-organ yang jauh. Mungkin nyeri lebih ringan tersebut membuat si pasien terlena hingga tak menyadari kanker itu makin merajalela.
Lalu bagaimana efek plasebo bisa memanipulasi nyeri? Kita harus tahu bagaimana nyeri terjadi. Bayangkan (lagi) kamu jatuh di jalan. Kulit lututmu robek. Kerusakan jaringan ini mengaktifkan reseptor nyeri atau nosiseptor yang diubah menjadi sinyal elektrik. Sinyal inilah yang dibawa oleh jaras syaraf atau “kabel” sensoris ke sumsum tulang belakang lantas menjalar ke otak untuk diproses menjadi rasa nyeri.
Kala kamu menjerit kesakitan, kekasihmu datang dan memberimu kapsul. Meski kapsul itu berisi gula, ia berkata itu adalah analgesik paling manjur. Atau, bila ia tak membawa apa pun, sebagai gantinya ia mencium lukamu dan berkata bahwa kecupannya setara morfin atau petidin. Selama kamu percaya kalau kapsul atau ciuman itu berkhasiat sebagai analgesik, sirkuit di otakmu akan terpicu sehingga menghasilkan opioid endogen, oksitosin, vasopresin, dan dopamin. Maka, berangsur-angsur nyeri yang kamu rasakan berkurang. Tentu saja luka itu tetap menganga, tapi kamu tak lagi meraung kesakitan.
Lain halnya kalau kamu lagi ngambek sama dia. Bisa jadi kamu tidak percaya bahwa obat yang dia bawa adalah analgesik, atau bahkan kamu berpikir itu racun untuk membuatmu mampus lantaran dia sedang naksir cewek lain. Jadi, meskipun yang dia berikan adalah obat terbaik, katakanlah COX-2 inhibitor kelas wahid, kalau kamu tidak percaya, nyerimu tak bakal reda dan mungkin malah makin jadi. Itulah yang disebut efek nocebo.
Lalu, apakah semua orang bisa merasakan efek plasebo? Sayangnya tidak. Perilaku dan keputusan kita lebih banyak dikendalikan pikiran bawah sadar. Seseorang yang bunker ketaksadarannya penuh rasa ragu bakal susah tersugesti melalui efek ajaib itu. Agaknya, langkah pertama untuk dapat menikmati khasiat plasebo harus dimulai dengan “iman”.
Bisa digarisbawahi bahwa “kepercayaan” merupakan kunci efek plasebo. Akan tetapi, menjadi sebuah paradoks bila yang menyembuhkan adalah dusta. Maka, sebagai sebuah kebohongan, layakkah plasebo diharapkan?
Sasti Gotama adalah dokter sekaligus penulis prosa fiksi. Karya-karyanya pernah menjadi buku sastra pilihan Tempo 2024 dan 2020, pemenang pertama hadiah sastra RASA 2022, cerpen pilihan Kompas 2020 dan 2023, pilihan juri sayembara novel DKJ 2023, dan pemenang kedua sayembara naskah teater DKJ 2024.
Editor: Asief Abdi