Mempertanyakan wujud kepedulian sastrawan terhadap bahasa, sama saja dengan menyangsikan peran mereka di bidangnya sendiri—kalau bukan menafikannya. Sudah jelas, untuk menciptakan sebuah karya sastra, seorang sastrawan bekerja melalui pergumulannya dengan bahasa. Otomatis ia punya perhatian khusus sekaligus kecintaan besar terhadap bahasa melebihi orang-orang pada umumnya. Tanpa kedua hal tersebut, mustahil ia dapat menelurkan karya sastra bermutu, selain ditopang oleh keahlian yang dimiliki.
Ketika sastrawan bergumul dengan bahasa, berarti keduanya saling memberi gairah, saling menghidupi. Sastrawan mendapatkan kenikmatan berekspresi dalam kata-kata terbaiknya, sedangkan bahasa tak henti-hentinya melahirkan diri dengan wajah baru. Dalam karya sastra, bahasa punya kemungkinan untuk sintas dan terus berganti kulit, dan dari situlah kemudian karya sastra dapat dinilai bobot pencapaiannya. Dengan demikian, pembaca karya sastra juga dapat menikmati kesegaran dan keunikan bahasa yang dicipta sastrawan. Begitu pun pengguna bahasa secara umum, cepat atau lambat.
Joko Pinurbo adalah penyair yang tidak hanya lihai mengolah bahasa dan membuatnya segar, tetapi juga memiliki kecenderungan untuk menyentuh sisi-sisi unik dari bahasa itu sendiri. Dengan tetap berpegang teguh pada kredo “nakal bin jenaka”-nya sejak berkibarnya Celana (1999), puisi “Kamus Kecil” yang terhimpun dalam Buku Latihan Tidur (2017), Joko Pinurbo begitu telaten memungut dan mengumpulkan sejumlah kosakata yang secara fonetik hampir selaras.
Di situ, dua kata yang disandingkan dalam suatu klausa hanya dibedakan oleh satu-dua fonem, seolah-olah fonem yang dimiliki setiap kata mengalami perubahan wujud atau pertukaran tempat. Dari pergeseran unsur tersebut menjelmalah kata “kembar” yang sama sekali berbeda makna. Namun dalam pembacaan, semua itu tampak koheren karena tiap pasang anagram dibikinkan narasi ringan dan logis, di mana kehadirannya memantik kesadaran kolektif tanpa terjebak pada pusaran pesan didaktis. Berikut saya nukil bait pertama dari puisi tersebut:
Saya dibesarkan oleh bahasa Indonesia
yang pintar dan lucu walau kadang rumit
dan membingungkan. Ia mengajari saya
cara mengarang ilmu sehingga saya tahu
bahwa sumber segala kisah adalah kasih;
bahwa ingin berawal dari angan;
bahwa ibu tak pernah kehilangan iba;
bahwa segala yang baik akan berbiak;
bahwa orang ramah tidak mudah marah;
bahwa seorang bintang harus tahan banting;
bahwa untuk menjadi gagah kau harus gigih;
bahwa terlampau paham bisa berakibat hampa;
bahwa orang lebih takut kepada hantu
ketimbang kepada tuhan;
bahwa pemurung tidak pernah merasa
gembira, sedangkan pemulung
tidak pelnah melasa gembila;
bahwa lidah memang pandai berdalih;
bahwa cinta membuat dera berangsur reda;
bahwa orang putus asa suka memanggil asu;
bahwa amin yang terbuat dari iman
menjadikan kau merasa aman.
Bahasa Indonesia diibaratkan orang tua yang sukses membesarkan saya-lirik. Ia digambarkan sebagai entitas /yang pintar dan lucu walau kadang rumit dan membingungkan/. Apa motif si subjek mengatakan demikian? Barangkali pintar dan lucunya bahasa itu terpancar saat /mengajari saya cara mengarang ilmu/. Sebuah teori nyentrik hal ihwal yang melingkupi alam pikir dan batin manusia, /sehingga saya tahu/ bahwa sumber segala kisah adalah kasih;/ bahwa ingin berawal dari angan;/ bahwa ibu tak pernah kehilangan iba;/ dan seterusnya. Kita, sebagai pembaca, mau tak mau dibuat mengangguk sepakat atas pernyataan tersebut.
Namun, di mana letak dari bahasa itu yang konon rumit dan membingungkan? Alih-alih menunjukkan satu saja gejala tersebut dalam puisi, Joko Pinurbo justru makin enteng menggoreng kata-kata: /bahwa pemurung tidak pernah merasa/gembira, sedangkan pemulung/ tidak pelnah melasa gembila;/ Suatu pelanggaran kaidah gramatika yang cukup mengejutkan. Dua klausa yang sejatinya kembar dibuat (seolah) kontras dengan mengubah semua huruf r menjadi l pada klausa kedua, yang apabila diucapkan terdengar seperti pelafalan orang cadel.
Tatkala pemurung menjadi pemulung, ini masih dalam taraf wajar karena dua kata itu jelas menyiratkan makna berbeda. Tapi, ketika tidak pernah merasa gembira menjadi tidak pelnah melasa gembila, sungguh di luar dugaan. Kita boleh beranggapan bahwa semua huruf l pada klausa kedua mengikuti huruf l pada kata pemulung. Apa maksudnya? Jangan-jangan, itulah bahasa rumit dan membingungkan yang ditawarkan Joko Pinurbo kepada kita. Sementara bagi Joko Pinurbo sendiri masa bodoh. Tapi kita juga bisa menafsirkannya secara manasuka: pemurung, bagaimanapun, punya peluang lebih besar untuk bergembira ketimbang pemulung yang bernasib kurang mujur dan karenanya susah merasakan kegembiraan sebagaimana susahnya atau tidak mampunya orang cadel melafalkan huruf r.
Mari kita pindah ke bait kedua:
Bahasa Indonesiaku yang gundah membawaku
ke sebuah paragraf yang menguarkan
bau tubuhmu. Malam merangkai kita
menjadi kalimat majemuk bertingkat
yang hangat di mana kau induk kalimat dan aku
anak kalimat. Ketika induk kalimat bilang pulang,
anak kalimat paham bahwa pulang adalah masuk
ke dalam palung. Ruang penuh raung.
Segala kenang tertidur di dalam kening.
Ketika akhirnya matamu mati, kita sudah
menjadi kalimat tunggal yang ingin tetap
tinggal dan berharap tak ada yang bakal tanggal.
Narasi puitik yang dimainkan pada bait di atas terasa lebih kompleks: Bahasa Indonesiaku yang gundah membawaku/ke sebuah paragraf yang menguarkan/bau tubuhmu. Saya-lirik telah bersalin menjadi aku-lirik. Bahasa Indonesia yang pintar dan lucu sekaligus rumit dan membingungkan sudah berubah gundah. Sedang enklitik –mu sebagai pengganti kau tampak lebih esensial kehadirannya dibandingkan kau pada bait pertama. Di samping itu, pasangan anagram pun tampil lebih berat dan intim: /bahwa pulang adalah masuk/ke dalam palung. Ruang penuh raung./ Segala kenang tertidur di dalam kening./ Sayang, kalimat penutup terkesan sangat dipaksakan gara-gara mengejar tiga anagram yang memiliki kemiripan bunyi, yang parahnya masih dilestarikan oleh satu-dua penyair lain setelah Joko Pinurbo: /Ketika akhirnya matamu mati, kita sudah/menjadi kalimat tunggal yang ingin tetap/tinggal dan berharap tak ada yang bakal tanggal./
Demikianlah Joko Pinurbo mengangkat tema bahasa ke dalam puisinya dengan narasi-narasi apik dan asyik; begitu ringan saat dilafalkan, didukung kesedapan pusparagam bunyi yang berganti-ganti, sesekali membuat kita mengangguk, terkejut, dan tersenyum. Khas Joko Pinurbo.
Tentu penggalian tematik sang penyair tak berhenti di situ. Dari “Kamus Kecil” itulah kemudian lahir puisi-puisi bertema serupa. Dalam buku kumpulan esainya Bermain Kata Beribadah Puisi (2019), Joko Pinurbo mendaku, “Sebagaimana “Celana”, puisi “Kamus Kecil” adalah pembuka jalan bagi puisi-puisi lain yang mencoba mengolah keunikan bahasa Indonesia. Di sini bahasa tidak sekadar instrumental; ia juga bisa substansial.” Sederhananya, bahasa dalam sebagian puisi Joko Pinurbo tidak hanya dimanfaatkan sebagai sarana untuk menyampaikan sesuatu, melainkan sesuatu itu sendiri. Bahasa yang diolah bukan saja bahasa yang berwujud teks, tetapi juga bahasa yang menjadi konteks.
Kematangan pengolahan bahasa yang di waktu bersamaan juga menyinggung perihal kebahasaan, terdapat pula pada puisi “Keluarga Puisi”. Joko Pinurbo mengarang cerita dalam puisi tersebut tentang aku-lirik yang /mendapat tugas mengarang dengan tema/keluarga bahagia/. Lantas aku-lirik pun mengerjakan tugas itu dengan harapan /Semoga guruku yang baik/dan benar dapat mengagumi karanganku/. Frasa guruku yang baik dan benar mengingatkan kita pada sebuah seruan yang galib kita dengar: “Tulislah dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar.” Bisa jadi guruku di sini tak lain adalah bahasa Indonesia yang telah memberikan pelajaran/pengalaman berharga bagi aku-lirik (atau bagi Joko Pinurbo sebagai penyair).
Ibu sedang mekar di ranjang,
harumnya tersebar di seluruh kamar.
Ayah sedang berembus di beranda
dan aku masih menyala di atas meja.
Joko Pinurbo mencipta imaji pengibaratan yang sama sekali ganjil, di mana setiap subjek tidak dikawinkan dengan kata lain sebagai kiasannya, tetapi langsung diberi verba mekar, berembus, menyala, dari sesuatu yang menjadi kiasan tersembunyi itu: bunga untuk ibu, angin untuk ayah, dan benda bercahaya untuk aku. Saya tulis benda bercahaya karena kata menyala pada kutipan di atas bisa merujuk pada lampu, lilin, laptop, atau lainnya. Adapun bait berikutnya menyuguhkan nuansa yang lebih kurang sama:
Pagi-pagi ibu sudah mengepul di dapur,
ayah berderai di halaman,
dan aku masih gemercik di tempat tidur.
Jika hendak diinterpretasikan, yang mengepul di dapur tentu saja bukan ibu, melainkan tungku atau kompor yang mungkin dinyalakan oleh seorang ibu. Dan yang berderai di halaman tentu saja bukan ayah, melainkan hujan yang barangkali tengah disaksikan oleh seorang ayah. Begitu pun yang gemercik di tempat tidur bukanlah aku, melainkan bunyi butir hujan yang boleh jadi menitik dari genting bocor dan jatuh di tempat tidur si aku. Baik tungku/kompor, hujan, maupun gemerciknya, dianggap keluarga oleh aku-lirik saking akrabnya ia dengan suasana syahdu semacam itu. Tungku/kompor yang menyala juga sangat pas dijadikan simbol bagi sosok ibu yang memberi kehangatan kepada aku, pun derai hujan begitu cocok menjadi lambang kehadiran seorang ayah yang menghidupi keluarga. Nah, yang menjadi pertanyaan kemudian ialah ilustrasi pada bait ini:
Kakek sudah menguning,
tak lama lagi terlepas dari ranting
dan menggelepar di pekarangan.
Nenek sudah matang,
sudah bersiap meninggalkan dahan
dan terhempas di rumputan.
Bukankah penggambaran tersebut kontradiktif dengan tema keluarga bahagia? Bertolak dari citraan pada dua bait sebelumnya, Kakek sudah menguning dan seterusnya, juga Nenek sudah matang dan seterusnya, mengindikasikan bahwa kakek dan nenek sudah terlalu renta. Oleh sebab itu, keduanya bisa diperkirakan sudah dekat dengan kematian dan perpisahan paling memilukan akan segera terjadi. Atau, kita bisa membuatnya tetap relevan dengan cara melihatnya dari perspektif lain, bahwa yang sudah menguning adalah tanaman kakek dan yang sudah matang adalah buah dari tanaman nenek di pekarangan rumah.
Lalu, di ujung puisi, muncul daya kejut yang spontan membuat saya tersenyum lebar: Guruku tersenyum serius membaca tulisanku./Ia mendatangiku dan berkata bahwa aku telah/membuat karangan bagus tentang keluarga gaib./ Joko Pinurbo seakan-akan mencibir puisinya sendiri, padahal kita boleh menduga bahwa itulah cara Joko Pinurbo menyentil orang-orang yang suka menganggap puisi sebagai omong kosong belaka tanpa ada kemauan untuk mengenali dan mengakrabinya.
Upaya mengutak-atik kemapanan bahasa yang dilakukan Joko Pinurbo demi menemukan pengucapan-pengucapan baru, masih mudah kita jumpai pada puisi-puisinya yang lain. Misalnya dalam “Dongeng Puisi” yang menyanjung pedoman ejaan bahasa Indonesia; “Buku Latihan Tidur” yang menyajikan jukstaposisi antara aforisme dengan semacam peribahasa yang dicetuskan oleh si penyair; “Yang” yang bermain-main dengan kata hubung yang; dan “Pada Suatu” yang mengeksplorasi frasa pada suatu menjadi lebih longgar dan liar.
Akhirnya, tanpa mengesampingkan inovasi dan cara kerja penyair-penyair lain untuk mencapai mutu artistik dalam puisinya, tidak berlebihan kiranya jika saya menyimpulkan bahwa Joko Pinurbo merupakan salah satu penyair yang memiliki kegandrungan di atas rata-rata terhadap bahasa. Kendati puisinya konsisten menggunakan diksi-diksi pasaran, istikamah pula bergaya nyeleneh, ia kerap—jika bukan senantiasa—menyodorkan kebaruan dan kesegaran model bahasa. Lebih daripada itu, ia punya kamus kecil tersendiri yang menampung berbagai kosakata receh, dan (hanya) melalui sentuhan tangannyalah kosakata receh itu dapat menyemburkan bisa.
Daviatul Umam, menulis puisi dan prosa. Bergiat di Komunitas Damar Korong dan Malate Artspace, Sumenep.
Editor: Ikrar Izzul Haq