Menu

Mode Gelap
Festival Sastra-Sains 2025, Epistemologi Maut dan Cinta Tentang Roh dan Seks Park dan Roman Klise Mencari Surga dalam Peta Perihal Puisi dan Gejala Kematian Sejarah One Piece, Nika, dan Genderang Pembebasan

Kritik Seni

Istri Bapak Diembat Bencong


					Foto oleh Ikrar Izzul Haq/Sivitas Kothèka Perbesar

Foto oleh Ikrar Izzul Haq/Sivitas Kothèka

Pembacaan atas isu gender sejatinya tak terpisahkan dari peta sosio-kultural suatu masyarakat, sebab gender merupakan konstruksi sosial. Gender (maskulin-feminin) tak lahir secara alami laiknya seks (lelaki-perempuan). Bocah laki-laki yang tumbuh dalam ekosistem pekat maskulinitas tak pelak bakal menjadi maskulin. Begitu pula sebaliknya. Namun, bagaimana jika yang terjadi adalah sebaliknya? Dalam cerpen “Bapak” karya Felix K. Nesi yang dimuat Jawa Pos pada akhir 2019 lalu, kondisi ganjil macam itu muncul.

Judul “Bapak” dapat melahirkan setidaknya dua citra, yakni gambaran kebapakan dan ke-maskulin-an. Tetapi, yang pertama segera luruh ketika dalam pembukaan cerpen, Romi, sang tokoh utama, menyimpan ketakutan terhadap ayahnya, “Matanya datang dari masa lalu”. Masa lampau tak lepas dari memori. Sehingga, kutipan tersebut menandakan bahwa Romi menyimpan suatu ingatan atas bapaknya. Kenangan itu ialah saat sang bapak bersikeras bahwa Romi tak becus bermain bola, memanjat pohon tuak, menunggang kuda, dan mencari sapi. Absennya figur orang tua sebagai penyokong membuat Romi tak mengalami sifat-sifat paternal dari sang bapak. Sifat-sifat kebapakan di sini adalah pengalaman atas rasa aman dan nyaman. Romi tak mampu mengimajinasikan bahwa akan ada sosok pelindung saat dunia begitu kejam padanya. Alih-alih, tokoh Bapak mengambil posisi kontra atas Romi.

“Anak tidak berguna. Seperti perempuan saja. Disuruh masukkan sapi saja tidak bisa.”

Terdapat sebuah harapan yang dipaksakan tokoh Bapak terhadap Romi, yakni menjadi seorang lelaki yang sanggup menjaga ternak. Kalimat “Seperti perempuan saja.” menandai kegamangan si Bapak terhadap sifat lanang yang ia inginkan dalam diri Romi. Dia menuntut kejantanan atas Romi. Dalam lingkup sekecil keluarga, gender telah dikonstruksikan.

Ia selalu tahu bahwa saya tidak bisa melakukan apa-apa. Saya tidak bisa bermain bola. Saya tidak bisa memanjat pohon tuak. Saya tidak bisa menunggang kuda. Saya tidak bisa mencari sapi.

Saya tidak pernah bisa menjadi Bapak.

Kondisi yang dipaksakan oleh tokoh Bapak melahirkan keputusasaan dalam diri Romi. Tak perlu mengutip Bourdieu untuk menjelaskan persoalan seperti ini, kejadian serupa begitu dekat dengan pembaca. Keputusasaan Romi menjelaskan bahwa sebuah cita-cita diturunkan melalui strategi biologis dan cita-cita yang disematkan di sini adalah misi maskulinitas. Pada akhirnya, peran anak tak ubahnya aset bagi kepuasan orang tua belaka. Siasat ini membuat seorang anak tercerabut dari asalnya sebagai manusia. Sebab ia tak lagi punya kehendak bebas. Tak berhenti di situ, kondisi yang dialami Romi cukup berlapis. Dia didiskriminasi dan dianggap gagal sebagai seorang anak, pun sebagai seorang pria. Tentu saja pengalaman Romi dalam lingkup keluarga dapat ditengarai sebagai sebuah konflik gender. Kondisi sosio-kultural yang maskulin secara paksa akan menjangkiti setiap kaum Adam. Gejala tersebut dikenal baik dewasa ini dengan istilah toxic masculinity.

Sebagaimana namanya, toxic masculinity melahirkan tindak diskriminatif. Dalam cerpen ini ia digambarkan secara fisik dan juga verbal.

Kami berkelahi karena saya mendebatnya di kelas. Ia setuju bahwa upacara penerimaan mahasiswa baru harus dengan gaya militer. Katanya, agar mengubah yang banci menjadi laki-laki sejati. Saya bilang ia bodoh, apa itu laki-laki sejati? Mereka tertawa dan bilang saya menolak karena saya memang terlihat seperti banci. Saya bilang ayo berkelahi sekarang juga. Ia menolak berkelahi. Tetapi ia baru saja mengeroyok saya di luar kelas, dan sekarang bertanya apakah saya menyukai perempuan. Tentu, goblok.

Diskriminasi tokoh Bapak terhadap Romi dapat diklasifikasikan sebagai diskriminasi verbal, sedangkan diskriminasi yang dilakukan oleh kawan-kawan Romi ialah diskriminasi fisik. Kutipan “agar mengubah yang banci menjadi laki-laki sejati” menandai sebuah cita-cita maskulin. Dari sini dapat diketahui bahwa dalam lingkungan sekitar Romi, konstruksi maskulinitas benar-benar merupakan impian masyarakat. Cita-cita ini dimungkinkan oleh kondisi sosio-kultural yang sedari awal memang maskulin.

Keadaan macam itu tak melahirkan apa-apa selain laku diskriminatif secara masif. Ia menggigit batang leher setiap laki-laki dan menyeret paksa mereka untuk menjadi pria sejati. Kali ini, tak hanya Romi yang disasar diskriminasi, orang-orang di tempat kosnya pun kena.

”Kos Pelangi itu isinya bencong semua! Termasuk Bapak Kos juga bencong!”

”Kau berkelahi seperti bencong!”

Kutipan di atas menandai kegagapan masyarakat atas inklusivitas. Dalam cerpen ini, seorang pria yang tidak jantan dianggap sebuah kegagalan. Sehingga, label laki-laki kemudian dicopot dan diganti dengan identitas baru; bencong.

Jika Tomi dan kawan-kawannya menganggap Romi sebagai banci, tokoh Bapak berada pada diskriminasi yang lebih parah. Selain berpikir anaknya gagal sebagai pria, sang Bapak juga menganggap anaknya bahkan tak pernah menjadi laki-laki.

“Kalian cocok sekali,” katanya sambil mencari. “Yang satu perempuan cantik. Yang satu laki-laki tetapi tidak tahu cara ikat sapi. Laki-laki tetapi pakai baju perempuan untuk malam Natal. Seperti perempuan kecil. Dua perempuan di rumah saya. Cocok sekali. Kalian cocok sekali.”

Kondisi ini kemudian membuat Romi teralienasi dari dirinya sendiri. Ia tak lagi dianggap sebagai jaka, sehingga ketika hendak membeli kemeja di pasar Kupang untuk malam Natal, dia membayangkan dirinya dalam balutan kemeja Seperti laki-laki pada umumnya. Kalimat tersebut menandai jarak antara Romi dan figur laki-laki lazimnya. Padahal, secara biologis, ia pria sejati. Maskulinitas telah mencabut Romi dari muasalnya dan melemparnya ke dalam liang kegamangan.

Tokoh Romi dalam cerpen tidak digambarkan sebagai sosok yang jantan. Kehadirannya berfungsi sebagai narasi tanding.   

Saya akan memasak untuk Ibu”

“Saya selalu senang berada di dapur.”

Perihal memasak dan dapur, dalam kerangka pikir maskulin, merupakan dua hal yang lekat dengan perempuan. Sesiapa yang bekerja di ranah tersebut adalah perempuan. Sebuah nalar menyesatkan. Romi yang merupakan seorang lelaki dan mengambil posisi domestik merupakan antitesis maskulinitas. Ia hadir dan seolah berkata bahwa dikotomi zona kerja pria-wanita merupakan persoalan yang kompromis alih-alih mutlak. Seorang lelaki sah-sah saja berkutat di ranah domestik sebagaimana perempuan beraktivitas di ruang publik.

Meski banyak tokoh yang mendiskriminasi Romi, terdapat satu tokoh yang mendukungnya. Agatha, sang ibu tiri, menjadi messiah bagi Romi. Pada awal cerita, kecenderungan tersebut telah tampak melalui kutipan “Suara Agatha mengembalikan saya dari masa lalu”. Agatha menarik Romi dari ketakutannya terhadap Bapak.

“Kamu bisa menjadi siapa pun yang kamu mau. Apa pun. Berhentilah mendengarkan Bapak. Berhenti mendengarkan orang-orang. Mereka hanya bisa menghakimi.”

Sejak mula, tokoh Agatha sudah muncul sebagai juru selamat. Ia adalah perempuan yang dinikahi Bapak selepas ibu Romi meninggal. Dia dapat membaca lagak feminin dalam diri Romi dan mendukungnya.

Ia membuka tas, mengeluarkan gincu, dan mengoleskannya ke bibir saya.
“Kamu cantik sekali. Kamu seharusnya menjadi perempuan!”

Kutipan di atas sekilas menunjukkan kemiripan antara tokoh Agatha dengan Bapak. Keduanya sama-sama memandang bahwa Romi bukan lelaki. Akan tetapi, keduanya bertolak dari intensi yang berbeda. Dalam cerpen ini, terdapat sekuen saat Agatha menjenguk Romi yang bonyok usai berkelahi. Bagian tersebut dicurigai sebagai momen terjalinnya kedekatan antara Romi dan Agatha. Pada saat inilah Agatha merasakan tendensi feminin dalam diri Romi. Kecenderungan tersebut ditunjukkan ketika Romi berkelahi dengan Tomi.

Tentu saja saya menyukai perempuan. Saya menyukai rambut mereka. Saya menyukai lekuk payudara mereka. Lengan mereka yang halus. Tengkuk yang wangi. Saya sangat menyukainya. Saya berharap saya mempunyai semua hal itu.

Kedekatan antara Agatha dan Romi berlangsung dalam intensi yang samar. Tak seorang pun tahu apa yang sebenarnya terjadi antara keduanya di Kupang. Maka, cukup sulit untuk meraba modus keakraban keduanya sebagai ibu dan anak atau dua sejoli dalam balutan cinta–mengingat umur keduanya tak terpaut terlalu jauh. Namun, hal ini tidak buruk, sebab ruang kosong tersebut dapat menjadi ruang eksplorasi bagi pembaca. Barangkali, Romi dan Agatha memang menjalin hubungan asmara. Dapat diketahui dalam cerita ini bahwa relasi antara Agatha dengan Bapak dimulai dari sebuah perselingkuhan. Hubungan antara ibu tiri dan anaknya itu, saya pikir, malah dapat dianggap sebagai kemenangan Romi atas bapaknya.

Kami memang cocok sekali. Saya dan Agatha. Bapak tidak tahu apa yang kami lakukan di Kupang.

 

Muhammad Jibril atau Jai, menamatkan studi Sastra Indonesia di Universitas Airlangga. Saat ini bergiat di Komunitas Titik Nol.

 

Editor: Asief Abdi

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Park dan Roman Klise

24 September 2025 - 20:31 WIB

Anastomosis Maut dan Cinta

6 September 2025 - 13:00 WIB

Memandang Cinta dari Jauh

3 September 2025 - 16:00 WIB

Banyak dibaca di Kritik Seni