Waktu menyaksikan proses penyembelihan sapi kurban, kumpulan puisi Sapi dan Hantu karya Dadang Ari Murtono melintas di kepalaku. Di dalamnya, sapi memiliki satu bab khusus berisi beberapa puisi yang seluruh personanya adalah sapi itu sendiri. Sapi digunakan untuk menuturkan berbagai macam topik dan peristiwa, tak terkecuali peristiwa kurban. Salah satu puisi yang mendaras momen Besaran itu ialah “sejumlah sapi di kandang ganjaran” fragmen 1/brahman,
sejumlah sapi di kandang ganjaran
1/brahman
ia menggelosor seperti pesakitan dalam sebuah cerita horor,
sehelai tampar melubangi tulang rawan hidungnya, menghela
kebebasannya, dan setiap kali penyabit rumput tiba untuk
mengantar pakan, seperti ia dengar kepak maut
hendak menyabetkan
sabit panjang di gelambir lehernya
tapi matanya teduh:
sebuah telaga tak beriak
dengan air dari gangga yang suci
ia tak mencemaskan apa-apa, sebenarnya
hanya saja, kadang-kadang, ia kenang sebuah masa
di mana orang-orang memujanya sebagai cicit nandiswara
dan menyetarakannya dengan para brahmana
sebelum pada abad kesembilanbelas, orang-orang amerika
membersihkan punggungnya dari segala
yang kudus, melepaskan neraka yang melekat
di serat dagingnya
lalu mengakutnya ke mana-mana
hingga di kandang penggemukan ini
tapi ia tak kecewa, sesungguhnya
meski sesekali ia bayangkan maut akan datang, hanya
akan datang bersama takbir di hari haji
dan lembar-lembar dagingnya akan dilapisi
hijau pahala, punggungnya kembali suci,
dan ia menggoyangkan punuk gemuk ke surga
sekalipun bukan surga yang sama
dengan surga yang dihuni buyutnya:
nandiswara yang menyunggi siwa
Bait pertama puisi dibuka oleh ia-lirik yang seperti pesakitan dalam sebuah cerita horor. Citra pesakitan dan bangun ruang cerita horor menghadirkan nuansa ngeri. Nuansa ini tak hanya beroperasi pada larik pertama, tetapi lebih jauh pada keseluruhan bait. Pada larik kedua, sehelai tampar melubangi tulang rawan hidungnya dan menghela kebebasannya. Lebih jauh, setiap kali penyabit rumput tiba, alih-alih merasa senang karena makanan segera datang, ia-lirik diliputi perasaan getir sebab pada waktu-waktu demikian ia mendengar kepak maut yang hendak menyabetkan sabit panjang di gelambir lehernya. Bait pembuka membangun nuansa horor sebagai prolog semesta teks.
Bait kedua menyasar kondisi ia-lirik atas peristiwanya di bait pertama. Bait ini berbicara melalui matanya yang teduh seperti sebuah telaga dan bukan telaga biasa, melainkan telaga dengan air gangga yang suci. Pada bait ini ia-lirik digambarkan lila, alih-alih kesal dan marah.
Bait ketiga puisi menebalkan kondisi ia-lirik pada bait kedua. Bahwa sikap menerima yang tampak, sebenarnya karena ia tak mencemaskan apa-apa.
Bait keempat puisi memutar sebuah peristiwa lampau. Mulai dari kerinduan ia-lirik pada sebuah masa ketika orang-orang memujanya sebagai cicit nandiswara dan menyetarakannya dengan para brahmana. Kerinduan sebagai tanda sesuatu yang pernah terjadi kini tak ada lagi. Dengan kata lain, pada kewaktuan kini, ia-lirik tak lagi dipuja sebagaimana sediakala. Alasannya terungkap di larik berikutnya, sebab orang-orang amerika membersihkan punggungnya dari segala yang kudus dan mengangkutnya ke mana-mana hingga berakhir di kandang penggemukan. Di sinilah pergeseran identitas ia-lirik tampak jelas: dari yang dipuja menjadi yang terpenjara.
Bait kelima menarik peristiwa kembali pada masa kini melalui gambaran sikap ia-lirik atas peristiwa lampau itu. Sikapnya di sini linear dengan yang sebelumnya pada bait ketiga. Meski peristiwa lampau itu telah menggeser identitasnya, membuatnya selalu rindu. Namun, ia sesungguhnya tak kecewa.
Bait keenam kembali dibuka dengan nuansa horor. Ia-lirik membayangkan kematiannya yang datang bersama takbir di hari haji. Deiksis kewaktuan ini berada dalam definisi khusus, sebab menandai ritus suci agama Islam. Dari sini terlihat titik singgung dua sistem kepercayaan. Pada mulanya, ia-lirik dibangun dengan identitas yang lekat dengan tradisi Hindu, sebelum kemudian dinihilkan dan perlahan digeser ke tradisi Islam. Persegeran ini digambarkan dengan kembalinya kekudusan ia-lirik yang bakal mengantarnya menuju surga. Namun, kudus yang beroperasi pada bait ini sama sekali berbeda dengan kekudusannya yang asali sebagai akibat rentetan pergeseran identitas yang ia-lirik alami.
Persinggungan dua sistem kepercayaan pada bait keenam kemudian lebih terang terbaca pada bait terakhir puisi melalui deiksis keruangan surga. Digambarkan bahwa surga yang dituju ia-lirik berbeda dengan surga yang dihuni oleh buyutnya: nandiswara yang menyunggi siwa.
Ketika dibaca secara utuh, fragmen “brahman” menampakkan pergeseran identitas. Mula-mula sebagai sosok kudus yang disembah menuju sosok kudus yang dikurbankan. Pergeseran identitas ia-lirik diikuti dengan pergeseran konsep kudus itu sendiri. Sosok kudus yang pertama ia-lirik sandang ialah kudus dalam teologi Hindu. Lantas kekudusannya luruh ketika ia-lirik dijadikan sebagai hewan ternak. Kemudian, ia-lirik mendapatkan kembali predikat itu ketika ia-lirik bertransformasi dari hewan ternak ke hewan kurban yang memiliki predikat kudus dalam teologi Islam. Pergeseran inilah yang kemudian melandasi bentangan jarak antara ia-lirik dengan leluhurnya. Ruang antara keduanya dikonstruksi secara berbeda sebagai imbas dari gesekan teologi Islam dan Hindu. Konstruksi ruang yang menghambat keterhubungan antara ia-lirik dan sang leluhur.
Selain konstruksi ruang, ia-lirik terus menerus terlempar dari satu identitas ke identitas yang lain, menjadikan dirinya begitu tak pasti. Mulai dari seekor lembu yang suci menuju hewan ternak dan berakhir sebagai hewan kurban. Siasat ini memanfaatkan identitas sapi yang digeser, diposisikan ulang untuk memperluas wacana soal sapi. Di sini, sapi tak berhenti sebagai alat produksi, hewan kurban, hewan ternak, dan sejenisnya, tetapi lebih jauh pada relasi hubungan dengan yang liyan.
Seturut dengan hentak kaki sapi pascapenyembelihan, satu identitas kembali bergeser. Sapi kurban itu dipotong dalam beberapa bagian, dibagikan, dan berakhir di atas wajan. Mereka yakin kelak akan menuju surga.
Muhammad Jibril, atau kerap disapa Jai, adalah ordinary guy.
Editor: Ikrar Izzul Haq