Menu

Mode Gelap
Kawin Silang Ekonomi dan Politik Festival Sastra-Sains 2025, Epistemologi Maut dan Cinta Tentang Roh dan Seks Park dan Roman Klise Mencari Surga dalam Peta Perihal Puisi dan Gejala Kematian Sejarah

Esai Budaya

Iblis Vegetarian


					Foto oleh Asief Abdi/Sivitas Kothèka Perbesar

Foto oleh Asief Abdi/Sivitas Kothèka

Kim Yeong Hye akan dipaksa rukiah bila berkarib dengan kawan saya, si Fulan. Sebab, karakter novel Vegetarian karya Han Kang itu mulai berperilaku ganjil pasca-bermimpi menggorok leher sosok-sosok berdaging. Namun, leher tersebut tak kunjung putus, sedangkan tangan dan mulutnya berlumur darah. Sejak itu, ia menolak memamah daging—hidangan lazim masyarakat Korea, khususnya di acara perjamuan. Ia juga tak lagi gemar mengenakan pakaian, bahkan berzina dengan kakak ipar usai tubuhnya dilukis bebungaan. Mengendus keganjilan itu, si Fulan tentu akan mencibir Yeong Hye sebagai puan lemah iman hingga iblis menghasrati tubuhnya sebagai inang.   

Tampaknya, pikiran Fulan tak jauh berbeda dengan Homo sapiens abad ke-14 yang percaya bahwa Bumi merupakan axis mundi. Sebelum Nicolaus Copernicus meluncur dari rahim sang ibu, orang menganggap gangguan semacam itu kuasa iblis. Untuk mengusir iblis di kepala, mereka memandang trepanasi sebagai intervensi medis yang arif seperti yang disinggung Sam Harris dalam The End of Faith. Caranya sederhana: Mereka akan melubangi tengkorak sebagai jalur bagi roh jahat yang bakal lintang pukang dari otak manusia.

Batok kepala akan selamat jika pemiliknya koprol sedikit ke arah Sigmund Freud kala beliau getol berpraktik di Wina. Alih-alih mengebor tengkorak, Freud bakal menggunakan psikoanalisis supaya pasien mampu mengatarsiskan timbunan limbah beracun akibat trauma yang direpresi, yang mengendap di rawa ketaksadaran. Mari kita bayangkan Yeong Hye bertemu Eyang Freud. Beliau akan menuntun perempuan itu ke sofa merah, memintanya berbaring dan berperan sebagai pencerita ulung seperti Syahrazad. Namun, alih-alih mendongeng, Yeong Hye harus mengisahkan mimpi buruk dan ketakutan-ketakutannya terhadap daging. Sayang, dalam bingkai Vegetarian, Yeong Hye bersetia pada mutisme sebagaimana Gandhi pada ahimsa. Dengan laku bisu selektif semacam itu, tak ada yang bisa Eyang Freud petik selain rasa bosan. 

Tapi, apa sih yang terjadi di balik batok kepala Kim Yeong Hye? Benarkah ada iblis yang mendesis dan mengganggu jiwanya? Memangnya apa itu “jiwa” dan mengapa ia disasar iblis?

Awalnya, para filsuf memandang manusia punya dua entitas terpisah: tubuh dan jiwa. Plato, misalnya, berpostulat bahwa kelak, setelah wafat, jiwa akan abadi walau jasad sudah jadi santapan belatung. Maka, sang filsuf menantikan kematian ragawi agar arwahnya yang kekal bebas dari segala hasrat duniawi. Sebagai entitas independen, jiwa dianggap bisa digoda iblis. Namun, bagaimana jika sesungguhnya jiwa itu “tidak ada”?

Di era pascagenom, orang yang mengimani sapere aude mafhum kalau jiwa—seluruh kehidupan batin manusia, baik rasa maupun pikiran—hanyalah keluaran dari kinerja otak dan merupakan bagian dunia material yang patuh pada hukum fisika. Laku dan rasa kita dipicu loncatan listrik dan reaksi kimia neuron. Kinerja otak bergantung pada transmisi sinaptik antarsel saraf. Begitulah pola interkonektivitas antarneuron otak mencerminkan hakikat manusia. Maka, mari amini keras-keras sabda Joseph LeDoux: Sinaps adalah “diri kita”.  

Lalu, bagaimana “diri kita” itu terbentuk? Ada dua faktor penentu: nature (gen) dan nurture (epigenetik). Pada mulanya manusia maujud berkat informasi dari sekumpulan gen atau genom. Sekumpulan cetak biru itu secara detail mengatur “masa depan” manusia, termasuk kerentanan terhadap penyakit mental tertentu. Lantas, gen kita ditempa nurture alias intervensi lingkungan, seperti trauma dan kekerasan yang dapat menginduksi perubahan fungsi konstelasi saraf serta ekspresi gen. Uniknya, hal ini tak mengubah urutan DNA. Inilah yang dikenal sebagai mekanisme epigenetik. Semua itu terjadi karena neuroplastisitas atau kemampuan otak untuk berubah dan beradaptasi, baik struktur maupun fungsinya, sebagai respons terhadap pengalaman hidup. Dua faktor tersebut berkontribusi dalam pembentukan koneksi sinaptik otak dan pada akhirnya menentukan sikap, perilaku, serta pola pikir kita.

Secara hipotesis, Yeong Hye lahir dengan cetak biru berupa kecenderungan major depressive disorder (MDD). Menurut penelitian, gen tersebut memang diwariskan meski probabilitas ekspresinya hanya 30%—40%. Sekarang bayangkan, bagaimana jika ia tidak lahir di tengah keluarga patriarki yang otoriter di mana ayah begitu temperamental dan mendidik anaknya dengan kekerasan? Bagaimana jika ia tidak menyaksikan kekejian sang ayah saat menghabisi anjing malang yang menggigitnya saat kecil? Bagaimana jika Yeong Hye menjadi anak abah di keluarga Cemara? Apa rasa kasih abah bisa mengintervensi reaksi di sinaps sehingga “menetralisisasi” ekspresi gen yang menjurus pada MDD? Apakah Yeong Hye akan bebas dari mimpi buruk dan bisa ketawa-ketiwi jayus laiknya Ara si anak abah? Saya pikir, semua itu mungkin.

Mari kita tilik balik riwayat hidup perempuan vegetarian itu. Sedari kecil ia menghadapi pola didik brutal. Lalu, begitu dewasa, Yeong Hye bertemu suami yang sama dominannya dengan sang ayah, yang mendamba istri submisif nan pasif. Ketidakberuntungan ganda itu mengganggu sinyal sinaps otaknya. Andaipun ia lahir dengan cetak biru genetik tanpa-kecenderungan-depresi, intervensi brutal semacam itu dapat memicu gangguan regulasi sistem saraf. Kondisi demikian dapat mengubah ekspresi gen dan mengejawantah menjadi depresi mayor.

Sayang, Yeong Hye hidup di masyarakat patriarki yang represif. Adagium yang berlaku: Perempuan baik adalah yang tak banyak cakap. Karena itu, alih-alih meluapkan beban di kepala dalam bentuk omelan atau kecerewetan atau gibahan di forum tukang sayur lazimnya emak-emak, ia mengekspresikan pemberontakannya melalui penolakan terhadap daging—simbol maskulinitas—dengan laku mutisme laiknya bebungaan. 

Singkatnya, Yeong Hye mengalami tekanan bertubi-tubi tanpa bisa lepas. Ketika itu terjadi, di ranah seluler, korteks adrenal akan menghasilkan kortisol. Lalu, hormon stres itu berkelonan dengan reseptor di amigdala. Tubuh yang dibanjiri kortisol akan lebih peka terhadap rasa takut. Melalui koneksinya dengan hipokampus dan area lain dari sistem memori, amigdala memodulasi konsolidasi ingatan eksplisit yang terbentuk selama stimulus emosional sehingga detail teror menjadi lebih nyata. Padahal, setiap malam di alam mimpi, Yeong Hye mesti berhadapan dengan kengerian brutal perihal daging yang makin lama kian nyata. Semua itu, pada akhirnya, mengganggu persepsinya akan realitas. 

Selain nongkrong di reseptor otak, kortisol juga bertamasya dengan wahana aliran darah ke seluruh tubuh. Sebetulnya, laku ini dibutuhkan tubuh untuk menghadapi keadaan bahaya agar tubuh waspada. Akan tetapi, pada kasus Yeong Hye, teror terjadi secara kronis hingga terjadi lonjakan eksesif kortisol. Ujung-ujungnya kondisi tersebut dapat memicu gangguan jantung, kelemahan otot, borok di lambung, kencing manis, osteoporosis, dan dekadensi imun. Wajar jika penderitanya gampang tumbang oleh kuman-kuman jahanam. Menurut studi yang dilakukan Robert Sapolsky, Bruce McEwen, dan peneliti lainnya, sistem stres ugal-ugalan ini bisa bermuara pada skenario mengerikan: pengerutan hingga kematian sel saraf.

Namun, lupakan sejenak kortisol. Ada kabar buruk lain. Dalam stres berkepanjangan, konsentrasi neurotransmiter di sinaps, seperti dopamin, norepinefrin, dan serotonin, terjun bebas. Atau kalaupun kadarnya aman, dapat timbul abnormalitas pada reseptor yang akan mengganggu fungsinya dalam koordinasi. Padahal, selain berfungsi mengatur multiorgan, senyawa-senyawa itu lazim dikenal sebagai “agen kebahagiaan”. Bayangkan saja hidup tanpa rasa bahagia: dunia senyap dan kelam laiknya palung laut terdalam. Bisa dipahami jika akhirnya Yeong Hye memilih kondisi vegetatif, atau setidaknya sebagai titik singgah sebelum maut menjemput.

Jadi, adakah iblis di kepala Kim Yeong Hye? Tidak. Yang terjadi hanyalah kombinasi antara manifestasi cetak biru DNA yang kodrati dan perubahan ekspresi gen akibat asuhan lingkungan. Alih-alih orang kesurupan, Yeong Hye lebih mirip Sisifus yang mendorong batu raksasa di kawah gunung api: kesialan kombo. Betapa terkutuk orang yang seenak jidat mengatai perempuan vegetarian itu miskin iman. Agaknya, satu-satunya iblis di sini, yaitu orang yang berkata demikian.

 

Sasti Gotama adalah dokter sekaligus penulis prosa fiksi. Karya-karyanya pernah menjadi buku sastra pilihan Tempo 2024 dan 2020, pemenang pertama hadiah sastra RASA 2022, cerpen pilihan Kompas 2020 dan 2023, pilihan juri sayembara novel DKJ 2023, dan pemenang kedua sayembara naskah teater DKJ 2024.

 

Editor: Asief Abdi

 

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Kawin Silang Ekonomi dan Politik

4 Oktober 2025 - 13:00 WIB

Tentang Roh dan Seks

27 September 2025 - 11:52 WIB

Foto oleh Asief Abdi/Sivitas Kothèka

Mencari Surga dalam Peta

20 September 2025 - 13:00 WIB

Foto oleh Asief Abdi/Sivitas Kothèka
Banyak dibaca di Esai Budaya