Menu

Mode Gelap
Kawin Silang Ekonomi Politik Festival Sastra-Sains 2025, Epistemologi Maut dan Cinta Tentang Roh dan Seks Park dan Roman Klise Mencari Surga dalam Peta Perihal Puisi dan Gejala Kematian Sejarah

Esai Budaya

Hikayat Ojhung


					Foto oleh Asief Abdi/Sivitas Kothèka Perbesar

Foto oleh Asief Abdi/Sivitas Kothèka

Semasa kecil, saya selalu riang tiap kali ada gelaran ojhung. Pertunjukan tersebut menjadi magnet bagi orang-orang. Namun, di tengah suasana ramai itu, ada perasaan lain yang sulit saya abaikan: rasa takut. Kengerian itu muncul saat menonton dua manusia saling menghunjamkan rotan ke tubuh satu sama lain. Setiap lecutan meninggalkan bercak darah. Saya meringis membayangkan sakitnya.

Saya mendengar cerita dari saudara nenek yang menjadi saksi betapa perih pecutan rotan ojhung. Gara-gara luka kala bertarung, lebih dari seminggu ia tak bisa tidur telentang. Cedera seperti itu tak cuma meninggalkan bekas di tubuh si pemain, tapi juga di memori saya sebagai anak kecil yang turut menyaksikan kebengisan tradisi tersebut.

Dulu, saya anggap ojhung merupakan tradisi yang tidak manusiawi. Bagaimana mungkin seseorang rela menyakiti diri demi hiburan atau ritual yang belum tentu dihargai orang lain? Luka dan rasa sakit itu, bagi saya, adalah harga yang terlampau mahal untuk sebuah pengorbanan.

Namun, seiring usia, saya mulai paham bahwa ojhung bukan sekadar tontonan atau ajang adu kekuatan. Di balik suasana riuh dan kerasnya pecutan rotan, terdapat nilai filosofis yang mendalam. Ojhung ternyata merupakan bagian dari ritual pemanggilan hujan saat masyarakat dilanda kemarau panjang. Peserta yang rela menahan sakit akibat cambukan rotan dipercaya sedang mempersembahkan diri kepada alam serta penghormatan kepada kekuatan yang lebih besar.

Semakin mendalami maknanya, kian saya sadar kalau tradisi ini merupakan ekspresi relasi unik antara manusia dan alam. Ojhung bukan sekadar ritual adat yang diwariskan turun-temurun, melainkan juga simbol ketergantungan manusia akan jagat raya. Dalam tradisi tersebut, terdapat kesadaran mendalam bahwa manusia tidak bisa sepenuhnya mengendalikan kosmos, tapi hanya bisa memohon, menghormati, dan berupaya untuk hidup selaras dengannya.

Pada kemarau panjang, tanah-tanah kering mengelupas dan tentu panen bakal tertunda. Maka, masyarakat menggelar ojhung sebagai wahana meminta hujan. Dalam pandangan mereka, hujan bukan cuma air yang jatuh dari langit, melainkan juga anugerah yang hanya dapat diperoleh melalui pengorbanan dan doa. Lewat cambukan rotan yang meninggalkan bekas di raga, para peserta menunjukkan kerelaan mereka untuk menanggung rasa sakit demi kebaikan bersama. Setiap luka yang menganga menjadi lambang kerendahan hati manusia di hadapan alam, seolah mereka ingin berkata, “Kami sadar akan kelemahan kami, dan kami berserah diri pada kuasa yang lebih agung.”

Ritual ojhung diawali dengan doa dan persembahan. Peserta, yang biasanya adalah laki-laki dewasa, akan saling memukul badan lawan menggunakan rotan panjang di hadapan penonton, layaknya gladiator. Lantunan doa serta nyanyian yang mengiringi duel itu menambah nuansa sakral dan menjadikan ojhung tak sebatas ritual fisik, tapi juga jiwa.

Dimensi ekologis dari tradisi ojhung dapat kita lihat dari kepercayaan bahwa alam sepatutnya dihormati dan dipelihara. Kekeringan, misalnya, bukan fenomena alam semata, melainkan juga teguran semesta atas kerusakan lingkungan yang disebabkan manusia. Ojhung berfungsi sebagai pengingat bagi manusia untuk terus menjaga keseimbangan ekosistem dan siklus alam.

Di masa kini, makna seperti itu perlahan terlupakan. Urbanisasi dan modernisasi telah menjauhkan manusia dari alam. Tradisi seperti ojhung acap dipandang kuno dan tak cocok lagi. Padahal, di tengah krisis lingkungan global seperti sekarang, mestinya pesan tradisi tersebut malah kian relevan. 

Dapat kita ketahui bersama bahwa ojhung mengajarkan manusia akan pentingnya laku hormat dan tanggung jawab kepada alam. Manusia tidak bisa terus menerus mengambil tanpa memberi kembali. Tradisi ini menyiratkan bahwa memelihara ekuilibrium bukanlah tugas individu, melainkan keharusan kolektif. 

Untuk menguak tradisi ini, kita perlu menggali ulang makna filosofis ojhung dan korelasinya dengan isu lingkungan kontemporer. Pemerintah daerah dan budayawan mestinya memberikan edukasi perihal nilai tradisi lokal kepada generasi muda. Dengan begitu, anak muda tak cuma tahu ojhung sebagai warisan budaya, tapi juga sebagai sumber inspirasi untuk welas asih pada jagat raya.

Akan tetapi, seperti tradisi lain, ojhung tak luput dari perubahan. Di era kini, ritual tersebut telah bergeser tujuannya. Sekarang, ojhung kerap digelar semata-mata sebagai ajang untuk menarik penonton dari segala penjuru. Dalam bentuknya yang modern, ojhung tak lagi sepenuhnya berfungsi sebagai pemanggil hujan. Alih-alih, ia beralih jadi tarung fisik biasa. Setiap lecutan rotan kini diayun demi unjuk keberanian, bukan lagi untuk persembahan.

Walau begitu, saya merasa bahwa pesan penghormatan dalam tradisi ini tetap eksis dengan wajah yang berbeda. Ada keuletan peserta dalam mengayunkan cambuk  ke tubuh lawan. Bagi saya, aksi tersebut merupakan wujud manusia dalam menyikapi masalah. Keteguhan melambangkan kesadaran bahwa hidup akan selalu penuh tantangan, baik dari luar maupun dalam diri, dan manusia kudu siap menghadapinya. 

Kini, kita tahu kalau ojhung menyiratkan relasi alam-manusia. Tradisi tersebut mengandung pesan bahwa manusia adalah bagian dari siklus hidup jagat raya. Akan tetapi, dewasa ini mampukah kita menjaga nalar mendalam tersebut? Akankah tradisi leluhur itu perlahan kehilangan maknanya dan menjadi sekadar hiburan banal tanpa roh?

Tantangan besar ini muncul di tengah arus modernitas. Ketika ojhung menjadi tontonan komersial belaka dan kehilangan esensi spiritualnya, ada risiko ajaran luhur yang termuat di dalamnya akan terkikis pula. Bagaimana kita, sebagai generasi hari ini, dapat menjamin bahwa  ojhung  bakal tetap menjadi tanda ketakziman manusia terhadap kosmos tanpa terjebak dalam eksploitasi budaya?

Pertanyaan itu agaknya perlu kita renungkan bersama. Sebab, jika hubungan manusia dan alam kian renggang, tradisi seperti ojhung, yang semula merupakan manifestasi sikap rendah hati kita terhadap semesta, bisa-bisa hanya akan menjadi cerita masa silam yang akan sirna maknanya kelak. Atau, barangkali malah punah dan hilang dari ingatan orang.

 

Mh.D. Hermanto belajar filsafat dan bergiat di Gasebu Pembebasan.

 

Editor: Asief Abdi

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Kawin Silang Ekonomi Politik

4 Oktober 2025 - 13:00 WIB

Tentang Roh dan Seks

27 September 2025 - 11:52 WIB

Foto oleh Asief Abdi/Sivitas Kothèka

Mencari Surga dalam Peta

20 September 2025 - 13:00 WIB

Foto oleh Asief Abdi/Sivitas Kothèka
Banyak dibaca di Esai Budaya