Pada pembukaan Ramadan kemarin, seorang kawan membikin status, “Selamat datang di bulan suci, bulannya orang-orang cari atensi. Baik secara sosial maupun ekonomi.” Entah apa yang memotori landasnya status tersebut. Bisa jadi sekadar julid, boleh juga tidak. Kendati begitu, saya pikir kita dapat sepakat perkara atensi sosial. Tentu di bulan puasa akan ada orang yang unggah gambar tarawih di masjid, menu buka puasa, hasil berburu takjil, dan es teh berkeringat dingin di siang bolong. Kita semua sadar akan yang sosial macam itu dan bukan tak mungkin kita salah satu pelakunya. Akan tetapi, yang ekonomi lain. Ia kerap mahir bersembunyi.
Ramadan merupakan momen sakral yang datang sekali dalam setahun. Maka, ia istimewa dan penuh euforia. Meski begitu, di balik itu semua, sesosok bayangan serupa hantu bisa mencederai sang bulan suci. Hantu tersebut bertaring konsumerisme dan sesiapa yang kerasukan bakal terjangkit wabah konsumtif. Namun, dari mana sebenarnya hantu itu muncul?
Saya bisa pastikan bahwa kita semua adalah konsumen. Setiap hari kita melakukan kegiatan konsumsi. Mulanya mungkin untuk memenuhi kebutuhan, lalu berlanjut lebih jauh dan lebih banal ke arah pemuasan keinginan. Kadang kita sadar, tapi lebih sering tidak. Kecenderungan tersebut dimungkinkan oleh teknik pemasaran yang sukses mengimitasi kebutuhan kita, menggeser keinginan hingga titik seolah kita benar-benar butuh. Di bulan puasa dan momen-momen akbar lain, skema tersebut mempertajam giginya.
Ramadan, dari kacamata pemodal, merupakan waktu paling pas untuk membangun akumulasi kapital. Di momen tersebut, moda konsumsi seseorang acap disetir hawa nafsu. Model penjualan untuk merangsang hasrat belanja kerap tak disadari, sebab ia berselindung di balik jubah suci bernama Promo Ramadan.
Iklan tersebut sejatinya cuma sebuah nama. Ia dapat menyaru dalam berbagai kesempatan, seperti saat Natal dan Tahun Baru. Tawarannya sama, yakni berupa diskon barang, gratis ongkos kirim, bundling, flash sale, buy one get one, atau cashback. Sejauh ini, Anda sudah pakai promo yang mana?
Secara historis, strategi penjualan semacam itu bukan perihal baru. Diskon, misalnya, bisa kita lacak pada 1887 ketika Coca-cola menawarkan kupon produk minuman gratis. Seiring waktu, kupon tersebut berubah jadi tiket potongan harga. Pergeseran tersebut ditandai dengan besaran atensi yang diperoleh. Pada 1895, Coca-cola sahih tersebar di seluruh Amerika dan hari ini di seluruh dunia. Sejak pertama kali diaplikasikan sampai sekarang berkembang dalam banyak bentuk, tujuan dari strategi pemasaran seperti itu hanya satu: atensi. Ia hanya bertugas mengenalkan suatu produk. Tugas tersebut tak dapat dianggap sepele mengingat sistem ekonomi kita mengamini gaya persaingan bebas. Lagi pula, bukankah kita juga kerap mengonsumsi suatu barang hanya karena tertarik?
Atensi merupakan syarat mutlak kemenangan persaingan dagang. Dewasa ini kompetisi itu telah mencapai titik brutalnya. Saya sempat hendak membeli sebuah tumbler melalui aplikasi belanja daring. Baru mulai mengetik di kolom pencarian, tawaran yang muncul sudah beragam: “tumbler besi anti karat”, “tumbler lucu gambar Labubu”, “tumbler termos tahan seharian”, dan beraneka tumbler yang lama-lama bikin pusing kepala. Padahal, saya cuma butuh tumbler. Merangsek lebih dalam, produk yang muncul tambah tak karuan banyaknya, dari penjual yang tak terhitung jumlahnya. Gila, sebuah tumbler mendapat lebih banyak titel daripada saya. Di satu sisi, saya merasakan distingsi. Namun, pasar telah bersaing sedemikian rupa sehingga perlu ada satu senjata yang tidak lain ialah atensi untuk mencuatkan suatu produk ke mata pembeli. Titel-titel tadi merupakan upaya menarik animo dan aplikasi belanja daring mengakomodasinya lebih dari cukup.
Periode sekitar 2010 merupakan titik tenar bagi aplikasi belanja daring. Platform tersebut tak hanya praktis, tapi juga mampu bikin dompet meringis. Siapa saja bisa dengan gampang check out apa pun. Sebulan sepuluh paket tak jadi soal. Kehabisan uang? Tenang, sudah ada pay later. Kalau sudah begini, siapa yang tidak keranjingan belanja? Lalu bayangkan, di tengah wabah konsumerisme, para raksasa modal datang kepada kita sembari berteriak, “PROMO RAMADHAN! FLASH SALE SAMPAI DENGAN DISKON 70% GRATIS ONGKIR! BELI SATU GRATIS SATU DAN DAPATKAN CASHBACK SAMPAI SEPARUH HARGA!” Aduh, mampus kita.
Sistem ekonomi hari ini bukan terletak pada moda-moda produksi, melainkan pada moda-moda konsumsi. Dengan mengonsumsi, kita eksis. Kira-kira begitu dawuh Baudrillard. Akan tetapi, tanpa mengurangi rasa hormat pada filsuf Prancis itu, eksistensi yang lahir dari moda konsumsi hanyalah eksis yang candu dan terus memaksa untuk membeli. Sementara kita, sungguh tak setiap hari punya uang. Pun, juga belum tentu berpendapatan cukup. Maka, ada baiknya saya kutip kata-kata kaum Gen-Z: “In this economy? Mengonsumsi?” Kita senantiasa terjebak dalam kerangkeng para kapitalis. Bahkan, barangkali kita sendiri yang menyerahkan diri ke belenggu mereka hanya untuk membuat hidup kian melarat. Namun, demi barang-barang itu kita selalu bisa berdalih, “Siapa tau besok-besok perlu. Mungkin promo.” Siapa tau?
Agar tulisan ini tetap bernuansa Ramadan, saya pikir cukup bijak untuk menutupnya dengan sepenggal ayat suci. “Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya orang-orang pemboros itu adalah saudara setan” (Al-Isra’: 26-27).
Muhammad Jibril atau Jai menamatkan studi Sastra Indonesia di Universitas Airlangga. Saat ini bergiat di komunitas Titik Nol.
Editor: Asief Abdi