Menu

Mode Gelap
Kawin Silang Ekonomi Politik Festival Sastra-Sains 2025, Epistemologi Maut dan Cinta Tentang Roh dan Seks Park dan Roman Klise Mencari Surga dalam Peta Perihal Puisi dan Gejala Kematian Sejarah

Kritik Seni

Galahku Janur Kuning


					Foto oleh Kelik Tri Rahmadi/Sivitas Kothèka Perbesar

Foto oleh Kelik Tri Rahmadi/Sivitas Kothèka

Berpidato sangat berbeda dengan sambutan. Ia memiliki alur sikap sebagai yang memahami duduk perkara ihwal sesuatu. Kemudian menjelaskan, mengimbau, mengajak, dan menyadarkan orang lain tentang hal tersebut. Jika digambarkan sebagai siklus, pada awalnya orator berada di luar suatu pemikiran, lalu masuk ke dalamnya. Kemudian keluar lagi untuk mengurai, menghimpun energi dari luar dengan cara mengetuk kesadaran sosialnya. Lalu kembali menyelinap ke dalam bersama rangsangan energi yang menggugah gelora dan semangatnya. Keluar lagi, masuk lagi, terus keluar-masuk. Begitu seterusnya sampai nafas, deru, gebu mengendus bau keringat organ saraf sensualnya.

Kalimat mengkristal, kata mengental, aksara keruh putih mendesak, berjejal-gerombol di lorong labirin. Diperas, dijambak, dipintal, ditindih menjadi tetesan. Semakin cepat keluar-masuk, kian cepat turbin energinya mengorelasikan makna, nilai, dan rangkuman persepsi hingga terdesak, terjepit di gerbang kosong imajinasi. Tetesan menjadi cipratan, menjadi guyuran, menjadi semburan. Bergerombol melesat laju berebut lubang keluar, dan melubangi lubang masuk. Keluar lubang di dalamnya, masuk makin dalam, semakin berlubang, semakin keluar, dan terus masuk hingga puncak. Keluar di dalam sekat-sekat transendental yang limit dan tuntas. Lèya’ lètes kembhâng ates tes tes tes.  Sampai tocca’ toccer.

Berpidato itu sungguh laku pejantan, laki-laki tulen. Ia kekar, tegas, garang, dan sedikit merongrong. Mikrofonnya jangan lepas, semakin dicengkeram semakin kokoh. Tegak melawan, berdiri menikam, semakin galah. Mikrofon tidak lurus ke samping, tetapi seperti ancang-ancang menyundul. Seperti akan masuk dan tembus ke ubun-ubun melalui mulut.

Sangat berbeda dengan sambutan. Penyambut harus lentur, pemikat ulung yang manis. Mulut adalah bunga wajah, gula kembhâng ates, menebar pesona agar sang jantan sudi masuk menikmati suguhan surgawi, semerbak khayali. Rumbai-rumbai jhânor konèng dijunjung sederhana untuk memberikan isyarat tunduk, pasrah, rela, dan merendah.

Hai, Galah. Akulah adikmu yang berlapang dada meluluhkan semua ambisi-ego ghâi’ angkuhmu. Menjadikannya sebagai lengkungan yang runduk menunjuk ulu hati, jantung cinta yang tak kauhiraukan lagi. Tega hendak kautukar dengan gemerlap kemilau bintang. Kauanggap itu lebih mulia dan aku akan bahagia karena persembahanmu itu?

Tidak, sebab kedua tanganmu sendiri tak mampu menggapainya. Jemarimu yang seharusnya dapat meraba detakku, degup kasih, desir nadi darah ketulusanku selama ini selalu kauabaikan. Bahkan seandainya lengan pun yang kaujulurkan, itu hanya sejengkal lebih tinggi di atas kepala. Maka lihatlah bulan-ku jatuh, biarkan bintang gemintang tetap menjadi hiasan semata sebelum aku menjauh di antara sekian kehilanganmu. Cukup sudah untuk selalu mempertanyakan apa yang kaudapatkan dari setiap keinginan. Mendongakkan pandangan tak lebih dari sekadar mengukur rangkuman bentuk sudut berwarna di kaca kornea. Mata kakak, tatapan adik, penglihatan ini tidak pernah dapat menjelaskan arti tersimpan dari sebuah kedipan. Berkedip bukanlah memejam. Fana, fana, kaka’ èlang alè’ sajân jhâu. Berkediplah, Kak. Kumohon sekali ini saja terimalah kesendirianku yang purnama sebelum mata sabit mengedipkan malam rebah di ufuk waktu. Aku di sini di saat dirimu di sana. Ketika kau di sini kurasa diriku masih di sana. Kadangkala kita bersama berada di mana aku, kamu, dia, mereka, kalian semua menjadi kita. Di alun-alun, Kak. Temukan di sana. Di lingkar jalan tak putus langkah memutar. Titik tumpu segala arah diurai. Hilang kakak aku datang, jauh adik aku jelang.

Kak, buanglah pikiran benalu yang menggerogoti cangkang bulat batok kosong otak yang rentan retak lalu pecah! Saksikan yang berserakan di jalanan kerak karat bertumpuk sampah membusuk semua ingatan tentang konèng-ku, galahmu. Hanya seolah-olah berkesan cerah terang cemerlang di balik realitasnya yang menjebak dan penuh kepura-puraan.  Bungkus dekil, kumal, dan kotor dibuang. Tak dikehendaki, disekap ke dalam tangki-tangki comberan. Ditelantarkan pada ruang gas berbau busuk, disimpan sebagai tau, lalu tua jadi tai.

Kita telah terombang-ambing, mengambang hanyut melalui samudera sunyi, melewati masa yang terlupa, kedekatan kita dulu di titik paling asali. Kakak telah menghilang, menyelipkan rindu pada gugus kejora fajar yang terus menikam. Tocca’ Rahman-Nya, toccer Rahim-Nya. Masuk tembus keluar di dalam sampai muncrat lèya lètes kembhâng ates. Sampai tidak inginku menjadi keinginan kita paling bersahaja.

Sahaja yang sahaya menjadi galah yang janur, kuning yang galah, yang mengalah sebelum kalah. Karena tak sebatang padi dapat berdiri ketika bulirnya kuning, ia merunduk. Tak serumpun bambu selalu tegak yang ketika tua pasti tertunduk. Tak sebadan sembah selalu membusung yang di tiap rakaatnya ia rukuk.

 

*Tulisan ini disajikan sebagai pidato kebudayaan di Mukadimah Festival Sastra-Sains 2024 Sivitas Kothèka.

Turmedzi Djaka adalah seorang seniman serbabisa.

 

 

Editor: Ikrar Izzul Haq

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Park dan Roman Klise

24 September 2025 - 20:31 WIB

Anastomosis Maut dan Cinta

6 September 2025 - 13:00 WIB

Memandang Cinta dari Jauh

3 September 2025 - 16:00 WIB

Banyak dibaca di Kritik Seni