Menu

Mode Gelap
Pesantren, Sastra, Saya Dari Verbal ke Visual Diskursus Patah Hati Frau dan Sesudahnya Kawin Silang Ekonomi dan Politik Festival Sastra-Sains 2025, Epistemologi Maut dan Cinta

Kritik Seni

Frau dan Sesudahnya


					Foto oleh Ikrar Izzul Haq/Sivitas Kothèka Perbesar

Foto oleh Ikrar Izzul Haq/Sivitas Kothèka

Sebelum Nadin Amizah, Dere, Feby Putri, dan kawan-kawan, ada solois perempuan Indonesia yang lebih dulu menciptakan dan memainkan lagu dengan komposisi musik yang lirih dan lirik yang liris. Solois tersebut adalah Frau. Sebenarnya Frau tidak bisa sepenuhnya disebut sebagai solois sebab terdiri dari seorang perempuan bernama Leilani Hermiasih alias Lani dan piano digital tipe Roland RD700SX yang ia beri nama Oskar. Nama Frau berasal dari kata dalam bahasa Jerman yang berarti “nyonya”. Menurut Lani, nama tersebut juga merepresentasikan lagu-lagunya yang bernuansa Eropa.

Bakat musikal Lani berasal dari kedua orang tuanya yang juga musisi. Ayahnya adalah seorang pemain dan pembuat instrumen gamelan. Sementara ibunya yang berdarah Jepang adalah seorang pemain biola dan piano. Lani dibebaskan untuk memilih instrumen yang akan ia pelajari. Pilihannya jatuh pada piano. Ia mengikuti kursus piano klasik sewaktu masih duduk di bangku kelas 1 SD. Setelah enam tahun menekuni piano klasik, Lani memutuskan untuk mengembangkan keterampilannya secara otodidak. 

Kelas 2 SMA, Lani menciptakan lagu pertamanya, “Tears of Disappointing Ties”, yang menjadi pemantik lahirnya lagu-lagu lain. Album perdana Frau, Starlit Carousel (2010) terbit saat Lani berusia 20 Tahun. Album ini disebarkan secara cuma-cuma melalui situs resmi label rekaman Yes No Wave Music, sebelum kemudian dirilis dalam format cakram padat oleh Cakrawala Records dan didistribusikan oleh Demajors. Berkat album ini, ia dinobatkan sebagai Tokoh Seni Tempo tahun 2010. Judul Starlit Carousel diberikan oleh ibunya yang menilai lagu-lagu dalam album itu memiliki ritme dan dinamika macam permainan anak-anak, carousel, atau komidi putar.

Setelah merilis single “Tarian Sari”, Frau kemudian meluncurkan album Happy Coda (2013) dan memasukkan lagu tersebut ke dalam album. Happy Coda dirilis dalam format cakram padat oleh Cakrawala Records dan didistribusikan oleh Demajors.

Untuk beberapa lagu dalam Starlit Carousel, Frau bekerja sama dengan sejumlah musisi. Wok the Rock (tamu pengisi vokal dalam lagu “Rat and Cat”), Nadya Hatta (tamu pengisi keyboard dalam “Salahku, Sahabatku”), dan Ugoran Prasad, yang turut mengisi vokal dalam “Sepasang Kekasih yang Pertama Bercinta di Luar Angkasa”. Lagu “Sepasang Kekasih yang Pertama Bercinta di Luar Angkasa” ditulis oleh Ugoran Prasad dan telah dirilis pada 2005 bersama bandnya, Melancholic Bitch.

Lagu-lagu kolaborasi tersebut membangun fondasi Happy Coda. Berbeda dengan Starlit Carousel, seluruh lagu dalam Happy Coda dimainkan sendiri oleh Lani. Ia bahkan menciptakan, mengaransemen, dan memproduksi sendiri lagu-lagu tersebut. Happy Coda direkam secara live. Ini dapat ditengarai dari trek piano yang tak terlalu rapi pada beberapa bagian serta vokal Lani yang sesekali terdengar goyang dan samar. Akan tetapi, dengan melakukan rekaman secara live, Frau telah menguji kapasitasnya sebagai seorang penyaji musik yang andal.

Hampir semua lirik lagu dalam Happy Coda menggunakan dramatik persona. Hal yang sesungguhnya sudah diterapkan, terutama dalam lagu-lagu kolaborasi pada Starlit Carousel. Sebagai album, Happy Coda lebih matang ketimbang Starlit Caroursel, walaupun album pertama itulah yang membuat Frau meraih berbagai penghargaan.

Happy Coda berisi delapan lagu. Trek dengan musik yang kompleks akan disusul dengan musik yang lebih sederhana pada trek selanjutnya, vice versa. Tampaknya Frau sangat memperhatikan dinamika, baik di dalam komposisi setiap lagu maupun susunan lagu pada album.

Komposisi musik Happy Coda cenderung dibangun sebagai sesuatu yang dramatik melalui permainan akor minor, tangga nada kromatik dan pentatonik, serta tempo cepat yang memberi nuansa mencekam. Ketegangan dalam permainan itu silih berganti dengan akor mayor, tangga nada diatonik, dan tempo sedang atau pelan, yang kemudian memberi nuansa tenang. Permainan musik seperti itu semakin dramatis dengan klimaks di bagian tengah atau menjelang akhir yang menandakan puncak keseluruhan lagu, di mana permainan piano Frau biasanya akan terdengar lebih keras, cepat, dan emosional. Bagian ini perlahan menurun untuk masuk ke tahap koda yang menandakan akhir sebuah lagu. Koda dalam hal ini menggunakan potongan komposisi bagian verse atau chorus dan juga liriknya atau komposisi piano yang baru tanpa disertai lirik. Semua itu menimbulkan fluktuasi emosi.

Lagu “Something More”, misalnya. Lagu ini diawali intro piano berisi perpaduan akor minor dan akor tujuh yang menghasilkan nuansa gelap dan terdengar mengendap-endap. Kemudian, bagai seberkas cahaya, akor mayor muncul pada bagian verse lagu. Memasuki chorus, Frau memainkan akor mayor tujuh dan intro lagu secara bergantian. Pola ini berulang sampai solo piano yang semakin emosional menguasai pertengahan lagu. Lalu, tensi pada lagu perlahan reda hingga bagian koda, yang tidak lain dan tidak bukan adalah intro perpaduan akor minor dan akor tujuh tadi.

Coda merupakan bagian penting dalam Happy Coda. Tidak hanya pada aspek musik, tetapi juga pada aspek lirik. Frau mempererat makna Happy Coda dengan kisah-kisah dalam lagunya yang berujung bahagia. Frau memang pernah mengungkapkan bahwa Happy Coda berisi kisah-kisah bahagia yang ia tangkap dari hal-hal sederhana dalam kehidupan sehari-hari.

Dari Liris ke Dramatis

Secara umum untuk melihat perbedaan antara Starlit Carousel dan Happy Coda, kita dapat mencomot satu lagu di masing-masing album dengan mengandaikan bahwa lagu-lagu tersebut dapat merepresentasikan keseluruhan album. Ambillah “Mesin Penenun Hujan” dari Starlit Caousel dan “Tarian Sari” dari Happy Coda.

Pada aspek lirik, “Mesin Penenun Hujan” dan “Tarian Sari” sama-sama menghadirkan subjek lirik sebagai narator yang menyatakan bahwa subjek lain lebih baik ketimbang dirinya. Aku-lirik dalam “Mesin Penenun Hujan” berkata: Tetapi esok nanti kau akan tersadar/ Kau temukan seorang lain yang lebih baik. Sementara subjek lirik impersonal dalam “Tarian Sari” menggambarkan hal itu secara implisit:  Dalam tawa si mungil/ Semua yang tak akan berganti yang akan. Si mungil adalah subjek lain yang akan mampu, menggantikan subjek lirik implisit yang tak akan mampu, mencapai cita-cita. Selain itu, struktur kisahan kedua lagu juga serupa: Perubahan selalu muncul di baris akhir lirik. Di awal “Mesin Penenun Hujan”, aku-lirik berkata: Merakit mesin penenun hujan/ Hingga terjalin/ terbentuk awan. Namun, di akhir ia justru menjadi hujan itu sendiri: Dan aku ‘kan hilang/ ‘Ku ‘kan jadi hujan. Sedangkan di bagian awal “Tarian Sari”, kita akan mendengar kata-kata seperti mentari dan mimpi (Sari menari/ Di bawah mudanya Mentari…/ Sari menari/ Dalam mimpi kesekian kali…), tapi di bagian akhir muncul kata “pelangi” yang menandakan perubahan (Sari terhenti/ Tetiba muncullah Pelangi…). Pelangi yang biasanya muncul selepas hujan, barangkali mencerminkan kondisi batin Sari yang membaik, setelah sebelumnya dilanda kemuraman.

Apa yang berbeda dari kedua lagu tadi adalah status naratornya. Dalam “Mesin Penenun Hujan”, Frau menggunakan aku-lirik sehingga membuat lagu ini terkesan personal dan liris, di mana segala hal yang terjadi di sekitarnya seolah ditentukan oleh perasaan si aku. Sementara dalam “Tarian Sari”, Frau menggunakan narator impersonal untuk menceritakan sosok penari tua bernama Sari. Pengunaan narator impersonal menunjukkan bahwa Frau berusaha membuat jarak antara ia dan subjek-lirik dalam lagunya. Dengan begitu, bila “Mesin Penenun Hujan” cenderung liris, “Tarian Sari” lebih dekat dengan karakter balada. Hal tersebut diperkuat oleh susunan lirik kedua lagu ini. Dalam “Mesin Penenun Hujan”, Frau mengulang beberapa baris lirik, sementara dalam “Tarian Sari” tidak ada baris yang diulang, sebagaimana ciri dalam lagu-lagu balada.

Pada aspek musik, kedua lagu tersebut masih didominasi permainan piano. Akan tetapi, dalam “Mesin Penenun Hujan” permainan piano terdengar seperti ilustrasi suasana. Tempo yang lambat dan teratur membuatnya bagai gemercik hujan. Sedangkan permainan piano “Tarian Sari” terdengar seperti ilustrasi dramatik. Perubahan ritmis adalah isyarat pergantian adegan. Perlu juga dicatat bahwa “Tarian Sari” adalah lagu yang istimewa dalam Happy Coda karena lagu ini menjadi satu-satunya lagu yang menggunakan tangga nada pentatonik, tangga nada yang sering kali digunakan dalam musik tradisi. Vokal Lani dalam “Tarian Sari” juga bak seorang sinden yang kemayu. Senandung vokal Lani seperti instrumen yang memainkan melodi, mengisi bagian interlude. Gaya bernyanyi Lani juga mirip orang bertutur, ia menghidupkan adegan demi adegan dalam kisahan.

Datang dari Luar Angkasa

Pada awal 2000-an, kita dapat menemukan banyak perempuan yang berkarier sebagai solois di blantika musik Indonesia. Sebut saja Melly Goeslaw, Agnes Monica, Bunga Citra Lestari, Tere, Astrid, Audy, dan lain-lain. Lagu-lagu mereka didominasi komposisi musik yang megah berhias orkestra, bertempo pelan hingga sedang, dengan lirik lagu bertema cinta.

Memasuki tahun 2010, gelombang solois perempuan berangsur surut. Pada periode ini, para perempuan tampaknya mulai tertarik untuk bergabung menjadi vokalis dalam sebuah kelompok musik, seperti band pop rock (Cokelat, Kotak, Vierra, Geisha), band beraliran jazz (MALIQ & D’Essentials dan White Shoes & The Couples Company), formasi duo (Ratu, The Sister, T2, The Virgin), atau bergabung dalam girl group (7icons, Cherry Belle, JKT48, Blink).

Di tengah lanskap musik Indonesia yang demikian, kehadiran Frau jadi istimewa. Frau seakan-akan datang dari luar angkasa, membawa Starlit Carousel, memberinya momentum untuk tampil berbeda, dan mendapat sorotan. Starlit Carousel yang didominasi komposisi piano klasik, vokal Lani yang lirih, lirik yang liris dan personal, menawarkan format musik yang berbeda di kalangan solois perempuan Indonesia saat itu. Akan tetapi, Frau tak sampai menembus pasar industri arus utama. Perlu diingat bahwa Frau bergerak di bawah label rekaman indi yang memiliki pola produksi dan distribusi berbeda dari label rekaman arus utama. Label rekaman indi bertaruh pada kebebasan artistik dan kemandirian, sementara label rekaman arus utama bergantung pada tren dan selera pasar.

Setelah kemunculan pertama Frau, solois perempuan kembali berlahiran dari label rekaman arus utama dan segera digemari penggemar musik Indonesia. Misalnya, Maudy Ayunda, Raisa, Sheryl Sheinafia, Citra Scholastika, Isyana Sarasvati, Yura Yunita, dan lain-lain. Pengaruh solois perempuan era sebelumnya masih terdengar pada aspek lirik dan aransemen musik. Namun, beberapa solois baru tersebut telah menampakkan keterpengaruhan aliran musik lain, seperti jazz dan R&B. Para solois perempuan ini juga beberapa kali tampil sambil memainkan alat musik, terutama gitar dan kibor, pada periode awal karir mereka.

Menjelang akhir tahun 2018 hingga kini, muncul sederet solois perempuan yang menulis lagunya sendiri dengan karakter menyerupai Frau. Mereka adalah Nadin Amizah, Dere, Feby Putri, Raissa Anggiani, Bernadya, dan lain-lain. Kemiripan karakter mereka dengan Frau tampak dari komposisi musik yang lirih, instrumentasi yang minimalis, vokal yang mendayu-dayu, dan lirik lagu yang liris, berbeda dari lirik lagu pop periode sebelumnya. Lagu-lagu mereka tak hanya membahas soal cinta, tapi meluas ke isu kesehatan mental, sosial, dan keluarga. Beberapa di antara mereka juga bernyanyi sambil memainkan alat musik pada penampilan langsung. Akan tetapi, kesamaan antara solois perempuan masa kini dengan Frau hanya tipis semata. Frau dengan pendekatan musik klasik membuat lagu-lagunya terdengar rumit dan dramatik. Aransemen piano Frau seolah bukan disusun untuk mengiringi vokal, melainkan menjadi bagian yang sama pentingnya dengan vokal. Sementara komposisi musik dalam lagu-lagu solois perempuan saat ini cenderung seragam, menggunakan aransemen musik beraliran pop atau folk. Pada penampilan langsung, Frau selalu teguh tampil solo tanpa band pendukung, berbeda dari para solois perempuan saat ini yang lebih sering tampil diiringi band pendukung.

Frau mengembangkan karakter beberapa lagu dalam Starlit Carousel ke dalam Happy Coda, sekaligus menunjukkan peralihan dari liris ke dramatik. Peralihan ini mempertebal perbedaan Frau dengan para solois perempuan terkini. Dengan begitu, meski Frau menandai periode awal tren lagu-lagu solois perempuan masa kini, ia tetap menjadi “yang lain” karena eksplorasinya. Memang, dapat pula kita temukan solois perempuan yang juga melakukan peralihan, misalnya Isyana Sarasvati yang mengombinasikan unsur musik klasik dan metal, menghasilkan lagu-lagu yang terdengar dramatik. Peralihan yang dilakukan Isyana Sarasvati barangkali juga membuatnya tampak seperti “yang lain” di antara solois perempuan Indonesia saat ini.

Pergeseran yang terus terjadi dalam konteks solois perempuan Indonesia seakan-akan mengisyaratkan betapa cepatnya laju perubahan tren musik dan membuat sebuah lagu segera menjelma peninggalan masa lalu. Seperti halnya Frau yang hanya butuh 15 tahun untuk membuat lagu-lagunya terdengar serius dan uzur bagi penikmat musik saat ini.

Pamela Paganini adalah seorang musisi, biduan, dan penulis. Ia belajar di Komunitas Akarpohon dalam program Kelas Praktik Telaah.

Editor: Ikrar Izzul Haq

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Dari Verbal ke Visual

15 Oktober 2025 - 11:00 WIB

Foto oleh Asief Abdi/Sivitas Kothèka

Park dan Roman Klise

24 September 2025 - 20:31 WIB

Anastomosis Maut dan Cinta

6 September 2025 - 13:00 WIB

Banyak dibaca di Kritik Seni