Menu

Mode Gelap
Festival Sastra-Sains 2025, Epistemologi Maut dan Cinta Tentang Roh dan Seks Park dan Roman Klise Mencari Surga dalam Peta Perihal Puisi dan Gejala Kematian Sejarah One Piece, Nika, dan Genderang Pembebasan

Kritik Seni

Fragmen Atmosferik


					Foto oleh Ikrar Izzul Haq/Sivitas Kothèka Perbesar

Foto oleh Ikrar Izzul Haq/Sivitas Kothèka

Dalam dunia percepatan, realitas terus digeser dan dihadirkan sebagai serpihan—yang kerap saling menolak dan tak pernah lengkap. Terlalu cepat untuk dihayati. Terlalu fragmentaris untuk dirangkai utuh. Dan terlalu absurd untuk dipahami hanya dengan satu narasi tunggal. Kita hidup di antara notifikasi yang berjatuhan tanpa jeda, berita yang saling bertolak belakang, dan kenangan yang retak sebelum sempat tumbuh menjadi gugusan reflektif bersama. Di tengah pusaran ini, pengalaman keutuhan adalah kemewahan—kalau bukan sekadar ilusi.

Tanpa kesediaan membangun ruang pembacaan—dengan merefleksikan medan afeksi dalam setiap kepingan—krisis makna adalah keniscayaan yang sulit dihindari. Tragedi kemanusiaan seperti perang di Gaza, Ukraina, atau konflik di Sudan, kini hadir sebagai serpihan gambar, potongan video, suara, korban yang hanya tercatat sebagai angka dan berita yang melintas secepat gulir jempol di layar. Tragedi lantas menjadi fragmen bocor, lebih sering muncul sebagai sensasi sesaat daripada peristiwa eksistensial. Dalam dunia pascamanusia, perang yang semestinya menjadi duka kolektif kini tereduksi menjadi tontonan absurd.

Sastra dan Reduksi Tragedi

Sastra telah lama mengawali upaya melawan reduksi ini—terutama dalam tradisi pascamodern—dengan menceritakan perang dan trauma tidak secara kronologis dan utuh. Narasi dibiarkan melompat dari satu ingatan ke ingatan lain, dari lanskap ke lanskap lain, membiarkan suara-suara tetap tidak selesai. Dalam hal ini, sastra menjadi bentuk perlawanan senyap namun radikal—di saat narasi media telah terlebih dahulu ditekuk oleh kuasa politik dan kapital, dan ketika suara yang retak justru lebih jujur dibanding berita yang, sepintas lalu, tampak terukur dan teratur.

Fragmen menjadi strategi: menghadirkan suasana kehilangan yang mustahil diceritakan penuh, tetapi tetap bergetar dalam setiap jeda narasi. Refleksi kritis atas posisi ini dapat ditambatkan pada sikap Adorno yang berkata bahwa, “Menulis puisi setelah Auschwitz adalah tindakan biadab.” Adorno mempertanyakan kemungkinan etis dari representasi utuh atas tragedi luar biasa kejam dan traumatik—setiap narasi atau seni yang memaksakan keteraturan, resolusi, atau estetika keindahan pada pengalaman yang hancur, menurut Adorno, justru merupakan pengkhianatan terhadap kenyataan luka itu sendiri. Sebaliknya, Adorno membuka ruang bagi fragmen sebagai bentuk kejujuran: “Serpihan di matamu adalah kaca pembesar terbaik.”

Dari Adorno ke Böhme: Retakan yang Menangkap Suhu

Jika Adorno meragukan kemungkinan representasi tragedi secara utuh pasca-Auschwitz, maka hari ini kita berhadapan dengan tragedi yang bahkan tidak sempat diresapi—karena muncul dan tenggelam dalam guliran digital. Kengerian perang tak lagi sempat dikontemplasikan secara mendalam, melainkan didaur ulang sebagai spektakel sesaat—keadaan yang rentan membuat kita kebal dan kehilangan rasa kemanusiaan, sekaligus menyebabkan tragedi itu sendiri kehilangan dimensi etiknya.

Di titik inilah konsep atmosfer dari Gernot Böhme menemukan relevansi radikal. Böhme menolak atmosfer sebagai sekadar latar. Baginya, atmosfer adalah “realitas estetik yang diindera”—kualitas ruang yang menyelubungi, menekan, melunakkan, atau justru menggetarkan tubuh subjek. Atmosfer menempel di tubuh, mengikat serpihan menjadi pengalaman bersama yang dihirup, bukan sekadar dipahami. Dalam dunia hari ini—yang penuh arus trauma, polusi emosi digital, dan keretakan sejarah—estetika atmosfer Böhme menawarkan perangkat untuk membaca dan menciptakan karya yang hidup, menempel, dan bergetar di dalam pengalaman pembacanya.

Fragmen Atmosferik: Yang Melayang antara Benda dan Ruang

Maka, fragmen atmosferik bukan sekadar tumpukan pecahan, melainkan medan tinggal afeksi: ruang di mana kehilangan, kegetiran, harapan, atau duka eksis—hadir langsung dalam tubuh dan kesadaran pembaca—bahkan sebelum cerita atau tokoh hadir secara utuh. Ia dengan sadar menempatkan pertemuan fragmen dengan atmosfer sebagai medan afektif yang tidak bertujuan menuntaskan atau menjinakkan tragedi. Sebaliknya, fragmen atmosferik justru menjaga tragedi itu tetap hadir sebagai ketegangan etik dan estetik, yang selalu bocor dan tak selesai sepenuhnya, yang hanya mungkin dihirup bersama sebagai atmosfer duka yang enggan tuntas.

Jika selama ini fragmen dan atmosfer kerap dipahami sekadar sebagai gaya penulisan atau efek suasana, konsep “fragmen atmosferik” berpijak pada pengalaman afektif laten yang bocor melalui cara penulis menata fragmen, menahan pengucapan, atau menghadirkan ruang kosong yang dibiarkan mengendap—sehingga pembaca dapat meraba apa yang tak pernah diucapkan secara eksplisit, merasakan udara yang memenuhi naskah.

Meretakkan Afrizal dan Ishiguro secara Atmosferik

Afrizal Malna adalah salah satu penulis Indonesia yang puisinya dapat dibaca melalui strategi fragmen atmosferik. Dalam puisi maupun prosa pendeknya, Afrizal jarang sekali menyusun fragmen secara linear atau menjelaskan peristiwa lewat suara tokoh. Ia menumpuk benda-benda, potongan ruang, percakapan tak selesai, dan detail urban yang tampak sepele—sepasang kursi di trotoar, sepatu tua, televisi rusak, sisa makanan di dapur—dan justru dari tumpukan itu muncul atmosfer kehilangan, keterpencilan, atau absurditas yang hanya bisa diresapi, bukan dijelaskan secara naratif.

Contohnya, dalam puisi dari Teman-Temanku dari Atap Bahasa:

“Tiga kursi plastik warna hijau. / Sebuah meja pendek. / Ujung mataku menangkap pergelangan tangan / yang lepas dari tubuhnya, di dalam ruang tamu. / Koran-koran jatuh ke lantai, dan bunyi radio / berhenti pada satu gelombang statis…”

Kutipan ini tidak menjelaskan siapa yang duduk di kursi, mengapa koran jatuh, atau apa yang sedang terjadi. Justru, suasana hening, kehilangan, dan kegelisahan urban mengendap di antara benda-benda, menciptakan atmosfer yang dihirup pembaca—lebih kuat dari sekadar cerita.

Sebaliknya, Kazuo Ishiguro dalam novel The Buried Giant menunjukkan bahwa bahkan karya yang tidak fragmentaris-pun bisa diresapi melalui pembacaan atmosferik. Di novel ini, atmosfer kabut—baik literal maupun metaforis—mengisi seluruh ruang cerita dan menyebabkan para tokohnya kehilangan ingatan dan sejarah bersama. Perhatikan deskripsi lanskap berikut:

“Kabut raksasa menggulung keluar dari rawa-rawa, mengubah bukit dan lembah menjadi abu-abu tanpa bentuk …. Kadang-kadang, pada pagi-pagi seperti itu, para penduduk desa sulit mengingat bukan hanya apa yang terjadi kemarin, tetapi bahkan siapa yang tidur di samping mereka, atau duka apa yang menekan hati mereka.”

Alih-alih menuntun pembaca melalui penjelasan tokoh atau resolusi narasi, Ishiguro menghadirkan lanskap sunyi, kabut tebal, percakapan terputus, dan jeda panjang. Justru dari kekaburan dan keheningan inilah atmosfer kehilangan dan trauma kolektif dihirup bersama pembaca. Fragmen atmosferik di sini bukan soal bentuk narasi yang terpotong-potong, melainkan strategi membaca. Situasi ketika suasana yang dibangun dari kabut, bisu, dan ruang kosong justru lebih menentukan pengalaman makna daripada plot atau karakter.

Mengendap dalam Retakan dan Kabut

Kekuatan strategi membaca fragmen atmosferik adalah kemampuannya menangkap “kebocoran” antara apa yang dikhotbahkan narasi/tokoh dan apa yang dihadirkan atmosfer teks. Sering kali, suara tokoh mencoba memegang kendali makna—mengafirmasi harapan, janji, atau kepastian—namun atmosfer justru menunda, membatalkan, bahkan menertawakan kepastian itu. Misal, dalam The Buried Giant:

“Kita akan terus bersama, bukan, Axl?”
“Tentu saja, putriku.”
Namun, kabut di sekeliling mereka tak kunjung menipis. Jalan yang mereka tapaki tetap sepi dan samar, seolah dunia sendiri tak yakin akan janji yang baru saja terucap.

Dan dalam puisi Afrizal Malna:
“Mereka berkata tentang perayaan dan kota yang menyala. Tapi di sudut dapur, aroma basi masih menempel di dinding.”

Atmosfer di sini bukan sekadar latar, melainkan medan afeksi yang membocorkan ilusi narasi. Janji akan kebersamaan atau perayaan tak pernah betul-betul menjadi milik tokoh; ia selalu bocor ke dalam keraguan, bau basi, kabut, atau kehampaan ruang. Fragmen atmosferik sebagai strategi baca mengajak pembaca menghargai retakan, membiarkan makna hadir dalam kebocoran, dan menempatkan afeksi serta suasana sebagai pengalaman utama, bahkan sebelum cerita atau tokoh disimpulkan.

Di titik inilah fragmen atmosferik sebagai strategi membaca tidak hanya dapat digunakan menangkap gema dari bentuk naratif yang terfragmentasi. Bahkan teks yang tampak utuh dan linier pun dapat dibaca sebagai medan fragmen. Sebuah paradoks produktif yang ditekankan oleh strategi ini adalah keterpecahan bisa dihadirkan tidak hanya oleh bentuk, tetapi justru oleh pengalaman afektif yang menyelubungi narasi itu sendiri. Dengan cara ini, pembaca tidak hanya “mengikuti” kisah, tetapi juga turut “hadir” dan merasakan seluruh tarikan napas atmosfer—di antara retak, janji, dan keheningan yang melayang sekaligus menempel di ruang dan tubuh.

Menjadikan fragmen sebagai representasi logika patah dalam merekam tragedi kemanusiaan bukanlah sekadar pilihan gaya, melainkan keputusan sadar yang berakar pada ketegangan etik dan estetik. Tradisi kita sering berhenti pada cangkang gaya—baik dalam menulis maupun membaca fragmen sebagai bentuk estetika—karena keterbatasan keberanian berpikir dan horizon pembacaan. Padahal, fragmen adalah medan tinggal: ruang di mana tekanan, afeksi, dan suasana zaman dihirup dan dialami langsung.

Fragmen atmosferik menawarkan satu kemungkinan strategi sadar: menciptakan ruang solidaritas, etika merawat duka, dan bentuk perlawanan terhadap penyederhanaan tragedi—bukan hanya dengan memecah alur, melainkan dengan menghadirkan atmosfer sebagai medan afeksi, bahkan sebelum ada plot atau subjek. Inilah medan tinggal, tempat makna dihirup perlahan oleh pembaca, bukan ditata dan disajikan dalam bentuk siap santap.

Hal ini memperluas horizon pembacaan kita terhadap tradisi yang telah dibangun—misalnya karya Afrizal Malna, Seno Gumira Ajidarma, atau seniman dunia pascamodern lainnya—bukan hanya sebagai akrobat estetika, melainkan sebagai upaya merawat dan menghadirkan luka, duka, dan afeksi yang tercecer dalam sejarah—yang menjadi banal jika dipaksa utuh.

Menjahit Luka dari Dalam Teks

Kapan dan mengapa atmosfer lebih utama ketimbang alur atau tokoh? Karena ketika seni memeluk dunia yang terlalu hancur untuk dijelaskan secara utuh, dan terlalu sunyi untuk dipecahkan oleh tokoh, ia hadir sebagai udara. Sebagai kabut. Sebagai reruntuhan yang menyimpan gema. Atmosfer adalah pengalaman pertama—udara yang langsung dihirup, resonansi afeksi yang hadir bahkan sebelum ada kisah, alur, atau subjek. Di dunia yang dipenuhi serpihan, atmosfer memungkinkan seni dan pembaca untuk tinggal bersama luka, meresapi sunyi, dan menyimpan sejarah dalam bentuk yang tak bisa diuraikan secara linear.

Fragmen atmosferik adalah undangan untuk tidak hanya membaca dunia, tetapi juga merasakannya; untuk tinggal sejenak di ruang-ruang resonansi yang diciptakan oleh serpihan peristiwa, afeksi, dan memori—sebelum makna dipaksakan utuh, sebelum tragedi dijinakkan oleh data, sebelum identitas dan sejarah didefinisikan oleh narasi tunggal.

Di titik inilah perlu ditegaskan perbedaan antara tradisi estetika fragmen yang telah lama mapan, praktik penciptaan atmosfer dalam seni, dan tawaran “fragmen atmosferik” sebagai strategi pembacaan dan penciptaan. Fragmen dalam sejarah seni, baik sastra maupun visual, memang telah hadir sebagai bentuk ketidakutuhan yang jujur—menampung kegagalan dunia untuk selalu dihadirkan utuh. Sementara estetika atmosfer selama ini sering dipahami sebatas efek suasana atau teknik menghadirkan mood.

Namun, fragmen atmosferik yang ditawarkan di sini adalah persilangan strategis: menjadikan suasana (atmosfer) bukan sekadar latar atau “mood”, melainkan sebagai medan tinggal, sebagai pengalaman utama yang menuntun pembacaan dan penciptaan karya. Bukan hanya pecahan narasi, bukan pula sekadar suasana, melainkan keduanya dalam satu tarikan napas, untuk memungkinkan sejarah, tragedi, dan luka benar-benar hadir dan dihirup bersama, di luar tuntutan utuh dan keharusan “tuntas” narasi.

Lalu Tinggallah di Dalamnya

Akhirnya, saya tidak sedang menawarkan teori baru atau membangun kultus metode. Ini hanyalah ajakan untuk membuka diri pada cara baca lain: cara “tinggal” di ruang-ruang afeksi, suasana, dan tekanan yang diendapkan teks. Di tengah krisis lingkungan, banjir informasi, dan polusi makna di media sosial, strategi ini mengajak kita untuk tidak buru-buru “menyelesaikan” makna, melainkan membiarkan makna mengendap, membayang, dan mengikat pengalaman bersama. Membaca dengan kesadaran atmosferik berarti membiarkan teks menjadi udara yang menghubungkan—melewati pusat, alur, atau identitas—dan memungkinkan duka, trauma, atau bahkan harapan tetap hidup dalam retakan sejarah.

Dari keretakan etis fragmen dan estetika atmosfer—yang tak lagi berpijak pada batas subjek dan objek—fragmen atmosferik hadir sebagai tegangan yang melayang di antaranya. Ia menyempit dan meluas, bergantung pada bagaimana benda, ruang, cahaya, dan suhu ditinggali; lalu menjahitnya dalam satu tarikan napas.

Inilah seni sebagai udara: tak selalu bisa dijelaskan, tapi tetap hidup dan menghubungkan kita—melampaui ruang digital, melewati kekisruhan politik, hingga ruang sunyi kehilangan yang kerap tercecer. Dengan demikian, fragmen atmosferik bukan hanya strategi bentuk atau pembacaan, melainkan sikap etik dan estetika di tengah dunia yang kehilangan pusat—agar makna, sejarah, dan afeksi tetap hidup dalam retakan, sebagai pengalaman bersama.

Muhammad Hamdani pernah belajar di Program Studi Teologi dan Filsafat UIN Sunan Kalijaga. Aktif menulis esai, puisi, dan sesekali melukis.

Editor: Ikrar Izzul Haq

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Park dan Roman Klise

24 September 2025 - 20:31 WIB

Anastomosis Maut dan Cinta

6 September 2025 - 13:00 WIB

Memandang Cinta dari Jauh

3 September 2025 - 16:00 WIB

Banyak dibaca di Kritik Seni