Menu

Mode Gelap
Festival Sastra-Sains 2025, Epistemologi Maut dan Cinta Tentang Roh dan Seks Park dan Roman Klise Mencari Surga dalam Peta Perihal Puisi dan Gejala Kematian Sejarah One Piece, Nika, dan Genderang Pembebasan

Esai Budaya

Eros dan Thanatos sebagai Jalan Pengetahuan


					Foto oleh Ikrar Izzul Haq/Sivitas Kothèka Perbesar

Foto oleh Ikrar Izzul Haq/Sivitas Kothèka

Maut dan cinta adalah pengalaman paling universal bagi manusia. Pengalaman yang tak terelakkan oleh setiap diri kita. Namun, bagaimana kita memahaminya? Cukupkah akal, seperti yang dilakukan para filsuf? Atau justru melalui pengalaman yang mendebarkan: luka, kehilangan, perjumpaan, dan pengorbanan? Manakah yang lebih mengguncang eksistensi kita, maut atau cinta? Manakah efek yang lebih menggema; perjumpaan Rumi dengan Syamsi Tabrizi yang menenggelamkannya dalam cinta–yang juga melahirkan dengki pada orang-orang di sekitarnya? Ataukah justru kematian Syamsi Tabrizi, yang menyalakan api kesedihan Rumi, namun baranya tak pernah padam menerangi kita, menerangi dunia? 

Di sinilah epistemologi menjadi eksistensial. Pengetahuan bukan sekadar tentang “apa” melainkan “bagaimana” maut dan cinta itu sendiri. Filsafat akan menjawab yang pertama, mistik akan menjawab yang kedua.

Evolusi Cinta Plato

Teori evolusi cinta yang digagas Plato secara detail dapat dikaji dalam perspektif filsafat, epistemologi, hingga kaitannya dengan kehidupan spiritual. Sebagai seorang filsuf Yunani pada 427–347 SM, Plato menaruh perhatian besar pada eros (cinta, hasrat). Gagasan cinta terpentingnya tercatat dalam dialog Symposium dan Phaedrus. Bagi Plato, cinta bukan sekadar emosi atau ketertarikan biologis, melainkan kekuatan metafisis yang mendorong manusia menuju kebaikan dan kebenaran. Dalam konteks Yunani klasik, eros awalnya dimaknai sebagai dorongan hasrat seksual. Namun, Plato mengangkatnya ke ranah filsafat sehingga eros tak hanya berarti keinginan atas tubuh, tetapi hasrat jiwa untuk bersatu dengan keindahan dan kebaikan abadi.

Konsep evolusi cinta Plato berlandaskan prinsip tangga cinta (ladder of love). Melalui tokoh Diotima dalam Symposium, Plato menjelaskan evolusi cinta sebagai tangga bertingkat. Tangga ini menunjukkan bagaimana eros dapat ditransformasikan dari hal yang rendah menjadi hal yang tinggi. Dalam hal ini, tingkatnya akan dimulai dari tumbuhnya perasaan cinta pada tubuh tertentu. Dan titik awal cinta biasanya juga berangkat dari ketertarikan fisik, keindahan jasmani yang memikat indra yang masih bersifat partikular. Dari tubuh tertentu, jiwa mulai menyadari keindahan yang sama pada tubuh lain. Kesadaran ini meluaskan perspektif bahwa keindahan bukan monopoli individu. Ketika rasa cinta mengalihkan fokus kepada keindahan jiwa, cinta tidak lagi akan terikat dengan jasad, tetapi tertarik pada keindahan batin: karakter, kebijaksanaan, moralitas. Cinta beralih pada sesuatu yang lebih mulia daripada tubuh, cinta pada keindahan ilmu dan kebijaksanaan (sophia). Dari sinilah cinta mengarahkan jiwa untuk mengagumi pengetahuan, kebenaran, dan kebijaksanaan. Pada tahap ini, eros menjadi kekuatan epistemologis serta terikat kuat dengan keindahan itu sendiri (idea of beauty). Puncaknya, jiwa akan mencapai visi tentang keindahan murni yang abadi, transenden, tidak berubah, dan menjadi sumber semua keindahan yang tampak. Di sinilah eros menjadi jalan menuju yang Ilahi.

Konsep cinta Plato juga erat kaitannya dengan epistemologi (teori pengetahuan). Menurut Plato, pengetahuan sejati adalah mengenali idea (bentuk abadi yang melampaui dunia indra). Cinta, dengan dorongan eros, menjadi motor penggerak jiwa untuk naik dari pengetahuan indrawi menuju pengetahuan intelektual dan metafisis. Dengan kata lain, cinta adalah jembatan antara dunia fenomena (yang tampak) dan dunia nomena (yang abadi).

Cinta bekerja sebagai dorongan transendensi. Plato melihat bahwa eros mengandung paradoks: ia berangkat dari kekurangan (rasa tidak lengkap), tetapi sekaligus mengarah pada kelimpahan (kebahagiaan, keabadian). Berdasarkan persepektifnya, manusia mencintai karena merasa kurang. Cinta berusaha melampaui keterbatasan dengan meraih keindahan abadi. Inilah sifat transendental cinta, yaitu menarik manusia dari dunia fana ke dunia idea.

Meski lebih fokus pada eros, Plato juga memaparkan perbedaan antara tiga jenis cinta, yakni eros, philia, dan agape. Pertama,  eros sebagai wujud cinta dan hasrat, yang akhirnya dimurnikan menjadi cinta transenden. Kemudian philia sebagai ungkapan cinta persahabatan, solidaritas, dan keakraban. Dan yang terakhir adalah agape sebagai visualisasi cinta altruistik yang tanpa pamrih (lebih berkembang dalam tradisi Kristen). Plato meletakkan eros sebagai kekuatan filosofis yang menjembatani manusia dengan keabadian, sehingga cinta tidak berhenti pada relasi antarindividu, tetapi berujung pada relasi dengan Yang Abadi.

Cinta, Maut, dan Ambivalensi Fromm

Manusia selalu hidup dalam ambivalensi. Di satu sisi, ada kerinduan untuk bertahan, mencinta, dan merayakan hidup. Di sisi lain, ada bayang maut yang tak terelakkan, yang setiap saat bisa mengetuk pintu kesadaran. Tarik-menarik antara eros dan thanatos ini membuat jiwa sering kali goyah dan terjebak dalam kecemasan yang sunyi.

Erich Fromm mencoba untuk memberikan jawaban atas keresahan manusia terhadap kesepian, kecemasan, dan ketakutan akan kematian. Maut pasti datang dan ketakutan hanya akan merampas masa-masa kita yang berharga. Jalan keluar yang ia tawarkan sederhana, tetapi mendalam: belajar mencinta. Cinta yang benar. Bukan cinta yang sekadar hasrat atau pelarian, melainkan yang membebaskan, memerdekakan jiwa, dan menumbuhkan keberanian untuk hidup autentik.

Kematian memang tidak bisa dihindari. Ia akan selalu mengguncang kesadaran manusia. Namun, respons kita bisa berbeda: ada yang melarikan diri lewat gaya hidup konsumtif, mengejar kekuasaan, atau sibuk dengan hal-hal dangkal. Namun, ada pula yang memilih jalan lain, yakni mengolah hidup secara sadar, menemukan kebebasan batin, dan memaknai cinta sebagai kekuatan yang menuntun pada kehidupan yang lebih utuh.

Di samping itu, Fromm justru menggambarkan kecemasan terhadap maut sebagai ciri khas yang membedakan manusia dengan hewan ataupun makhluk lainnya. Heidegger mengunggapkan bahwa ”hidup tanpa memikirkan kematian adalah hidup yang palsu.” Dengan begitu, artinya manusia dituntut menyadari bahwa ada keterbatasan yang tidak dapat dimungkiri, yaitu bahwa dirinya pasti akan mengalami fase mati. Kesadaran inilah yang akhirnya mendorong manusia untuk mengisi kehidupan yang amat sangat singkat tersebut secara autentik. Bahkan, Fromm memaparkan bahwa eksistensi maut pada dasarnya adalah tantangan untuk mengisi hidup sebaik mungkin tanpa mencari pelarian. Dan salah satu jalan yang benar adalah dengan memahami konsep cinta yang matang, produktif, serta kreatif. Rasanya tidak berlebihan apabila Fromm menganggap kematian sebagai metode menghidupi nilai-nilai kemanusiaan, sebab dari hal ini manusia akan sadar untuk mengisi hidup yang sebentar dengan autentisitas sepenuh-penuhnya.

Problem manusia modern adalah rasa cemas, takut, dan kesepian jika harus menghadapi kematian yang bersifat rahasia. Baik kematian secara hakikat maupun metaforis. Padahal, sebagaimana pemaparan di atas, cinta adalah jawaban dari maut. Dengan memahami cinta secara tepat, manusia tidak perlu lagi merasa cemas. Salah satu poin penting yang Fromm paparkan adalah manusia perlu mencintai dan terhubung satu sama lain. Dan konsep mencintai yang dimaksud di sini adalah keterampilan untuk memberi dan selalu memberi. 

Adapun hal yang perlu untuk dipertanyakan lebih dalam menurut Fromm adalah apa sebenarnya yang dimaksud dengan hidup secara otentik? Dan bagaimana cara manusia untuk menghidupi nilai-nilai kemanusiaan melalui cinta, solidaritas, dan produktivitas? Apabila tidak menelisik lebih jauh terkait dua hal tersebut, maka akan sangat mudah bagi manusia untuk mencari pengalihan seperti halnya kecenderungan untuk bersikap FOMO, pick me, dll. Oleh sebab itu, problem solving utama yang perlu diprioritaskan adalah dengan memahami konsep cinta yang benar, berbaur dengan yang lain, serta membentuk ikatan dengan penuh tanggung jawab. Artinya, manusia juga perlu untuk tunduk terhadap norma yang berlaku di masyarakat, sebab hal itu akan melindungi dirinya dari kesalahan-kesalahan yang akan membuat diri merasa takut dan cemas. 

Inilah alasan mengapa Fromm menekankan bahwa cinta bukan sekadar emosi, melainkan juga tindakan. Tepatnya tindakan untuk bersedia menjadi subjek yang senantiasa berani untuk memberi. Justru, apabila manusia hanya menganggap cinta sebatas emosi, ia akan selamanya terombang-ambing dalam ketidakpastian. Lebih dari itu, cinta adalah seni dan keterampilan yang perlu diasah sepanjang hayat, sekaligus sebagai bekal dasar manusia agar rasa cemas akan maut teralihkan. Oleh sebab itu, manusia mestinya tidak hanya memikirkan untung rugi dalam urusan cinta, sebab yang seperti ini adalah cinta yang bersifat kenak-kanakan. Cinta yang matang dan dewasa justru berupa bakat dan perilaku yang menjadikan manusia sebagai subjek yang mampu mencintai. Bukan malah sebaliknya, dengan mengharap dan memposisikan diri sebagai objek yang harus dicintai lebih dulu, atau fokus mencari objek bagus untuk dicintai. Ibaratnya, seorang pelukis yang baik bukanlah pelukis yang fokus mencari objek bagus untuk digambar. Sebaliknya, ia adalah pelukis yang tak memandang objek tersebut baik atau buruk, tetapi mampu menghasilkan karya yang indah menggunakan keterampilannya.

Cinta yang disandingkan dengan perilaku reseptif, eksploitatif, gaya menimbun (kepemilikan), atau gaya pasar (transaksional) adalah wujud cinta yang tidak sehat dan hanya didasarkan kepada perasaan kekanak-kanakan semata. Perilaku demikian pada dasarnya dilakukan karena manusia atau individu yang bersangkutan hanya berorientasi pada cinta atas dirinya sendiri. Ia akan selalu mengedepankan kepemilikan dalam cinta. Padahal Fromm telah menekankan bahwa cinta tidak hanya sesempit urusan “aku milikmu dan kau milikku.” Apabila rasa kepemilikan dijadikan sebagai acuan utama dalam cinta, maka individu yang bersangkutan akan selalu menuntut apa yang menjadi miliknya untuk tidak berubah. Padahal, berbanding terbalik dengan itu, manusia akan selamanya berorientasi dan berubah. Fenomena semacam ini nantinya dapat menumbuhkan gejala stres dan depresi karena ia hanya melandaskan cintanya kepada objek tertentu. Maka, apabila objek tersebut berubah, cintanya juga akan berubah atau bahkan hilang.

Pemahaman cinta yang sempit dan tidak benar ini akhirnya menjadi dorongan Fromm untuk menulis buku The Art of Loving. Baginya, manusia harus paham bahwa cinta adalah watak atau akhlak masing-masing subjek. Oleh sebab itu, cinta yang demikian akan menghubungkan subjek dengan dunia secara keseluruhan, tidak hanya kepada satu individu atau objek tertentu. Sebab bisa dibilang, cinta terhadap satu individu memberi gambaran bahwa di dalam dirinya terdapat sikap egoisme yang diperluas.  

Lebih dari itu, yang manusia butuhkan adalah cinta yang sehat, yaitu penyatuan subjek dan objek secara utuh, tetapi di sisi lain juga mampu mempertahankan individualitasnya masing-masing. Di titik ini, kekuatan cinta yang sehat akan selalu mendorong individu untuk tetap tumbuh dan terhubung dan berelasi dengan orang lain. Sementara sebaliknya, cinta yang tidak sehat ialah peleburan subjek dan objek, yang salah satu atau keduanya menyerah demi menyenangkan pribadi yang lain. Inilah yang dimaksud kesatuan simbiotik. Dalam artian, individu tersebut akan selalu bergantung kepada individu lainnya, bahkan menyelaraskan cinta yang dimilikinya dengan konsep reseptif, eksploitatif, kepemilikan, atau gaya pasar demi menyenangkan individu yang lain. Ia akan menjual dan memasrahkan kediriannya seutuhnya hanya untuk mengejar cinta yang kekanak-kanakan dan tidak berdasar kepada hakikat cinta yang sehat. 

Ciri utama konsep cinta subyek yang sehat dan matang ialah kemampuan memberi atau menganungerahkan sesuatu. Maksudnya adalah kesadaran individu untuk memberikan cinta tanpa pamrih kepada siapa pun, berdasarkan konsepnya masing-masing. Hal itu dilakukan manusia sebab ia sadar bahwa dengan konsep memberi tersebut akan menjadikan dirinya lebih bahagia, lebih kaya, bahkan lebih unggul daripada orang yang mengharap cinta atau yang menganggap cinta sebagai transaksi belaka. Kemampuan ini merupakan karakter tertinggi dari manusia yang matang sebab ia telah berhasil menempatkan kehidupannya di posisi yang utuh dan autentik. Sementara apabila manusia masih mengharap kepada manusia lainnya, maka tindakan tersebut tentu didorong oleh perasaan kurang sehingga ia harus bergantung kepada orang lain.   

Erich Fromm membagi cinta ke dalam beberapa jenis. Di antaranya adalah brotherly love (cinta persaudaraan), romantic love (cinta romantis yang sering kali paling egois dan narsistik), motherly love (cinta keibuan yang penuh perlindungan dan kehangatan), self-love (cinta pada diri sendiri), dan love of God (cinta kepada Tuhan).
Self-love berarti kemampuan untuk mengenal, menerima, dan menghargai diri sendiri. Dari sinilah tumbuh perasaan matang dan cukup sehingga seseorang tidak bergantung pada orang lain untuk merasa utuh. Justru dengan mencintai diri secara sehat, kita bisa lebih mampu memberi cinta kepada orang lain. Adapun cinta kepada Tuhan merupakan puncak kerinduan manusia. Ia lahir dari kesadaran bahwa manusia terpisah dari Sang Pencipta, dan karena itu selalu merindukan penyatuan kembali dalam cinta ilahi.

Secara garis besar, seseorang dengan cinta yang matang akan menjadikan dirinya individu yang produktif. Ia akan mampu menggeser keinginan untuk “memiliki” pada keinginan untuk “menjadi.” Individu tersebut akan fokus menjadi subjek untuk mencintai, daripada keinginan untuk memiliki subjek/objek yang akan mencintai dirinya. Menjadi sama dengan memberi, memiliki sama dengan menerima. Pada akhirnya, orang yang mampu menjadi tidak akan merasa cemas, takut, atau bahkan bertindak FOMO dan pick me dalam memahami eksistensi maut dan mencari entitas yang kita sebut dengan cinta.

Paradoks Derrida tentang Maut dan Cinta 

Bagi Derrida, setiap konsep selalu dipikirkan secara paradoks, termasuk maut dan cinta. Ia menolak adanya pemahaman yang utuh dan final, sebab menurutnya tidak pernah ada sesuatu yang benar-benar selesai. Sebagai seorang pemikir bahasa, Derrida melihat bahwa maut dan bahasa memiliki hubungan yang istimewa. Kematian, baginya, adalah rahasia sekaligus pengalaman paling pribadi dan tak tergantikan. Ia merupakan momen intim yang tidak bisa dijangkau siapa pun, bahkan oleh bahasa. Maut selalu menjadi “nama” bagi rahasia terdalam manusia yang melampaui bahasa. Namun, begitu maut dibicarakan dengan bahasa, saat itu pula bahasa mengkhianatinya karena bahasa membatasi dan menyederhanakan sesuatu yang sebenarnya tak terungkapkan. Dengan kata lain, bahasa tidak pernah mampu menangkap sifat absolut dan keintiman kematian. Namun, justru karena ada kematian, bahasa menjadi penting—sekalipun ia tidak pernah bisa benar-benar mewakili pengalaman maut itu sendiri.

Sejalan dengan itu, Derrida merenungi mati melalui bahasa. Ia menganalogikan bahasa sebagai jejak sekaligus ruang hidup dan mati. Setiap yang kita tulis dan kita bicarakan adalah wujud nyata dari ketiadaan atau maut. Dan bahasa sendiri adalah prasasti dari sesuatu yang telah tiada. Oleh sebab itu, Ia menyebut bahasa sebagai rumah dari jejak sekaligus tanda dari kematian. Akan tetapi, sebaliknya, bagi kita selaku subjek, setiap kata dan bahasa justru merupakan jejak dari diri kita yang akan tetap ada. Intinya, di bagian ini kita belajar bahwa keberadaan bahasa merupakan bukti nyata dari suatu ketiadaan dan keberadaan bahasa itu pula yang menandakan bahwa kita pernah ada.

Bagi Derrida, maut dan cinta adalah dua rahasia yang saling berkelindan dalam paradoks. Cinta, sebagaimana maut, adalah sebuah aporia—jalan buntu yang tak pernah bisa ditembus hingga akhir. Ia senantiasa mengguncang manusia dengan pertanyaan yang tak pernah selesai: apakah kita benar-benar mencintai apa adanya, atau hanya terpikat pada sifat-sifat yang menempel pada yang kita kasihi? Dalam ruang antara dua kutub itulah cinta hadir—indah sekaligus rapuh, jernih sekaligus membingungkan, selalu menggoda namun tak pernah sepenuhnya dapat dimiliki.

Ketika manusia mencintai sifat yang melekat pada diri sesuatu yang dicintainya, maka itu adalah cinta yang paling rapuh. Sebab ketika sifat tersebut berubah atau hilang, maka demikian pula cintanya. Konsep ini bisa kita analogikan dalam suatu hubungan romantis, yang apabila manusia mencintai pasangan karena kecantikannya, maka saat ia keriput, bertambah gemuk atau kurus, cintanya juga akan menyusut. Namun tepat di samping teori ini, Derrida juga mempertanyakan, “Apakah manusia akan mampu mencintai sesuatu dengan apa adanya?” sebab cinta apa adanya tersebut adalah kemustahilan. Apabila manusia mengatakan bahwa dirinya dapat mencintai sesuatu dengan apa adanya, secara tidak langsung ia telah menyamakan semua orang atau semua makhluk. Dan hal itu juga menimbulkan pertanyaan besar, “Apakah manusia bisa mencintai siapa saja dalam satu waktu karena ke-apa-adaannya itu?” Padahal tidak demikian, sebab manusia pada dasarnya selalu juga mencintai sesuatu yang melekat dalam diri yang dicintainya.

Di titik inilah kita melihat alasan Derrida mengatakan cinta sebagai klaim yang rapuh, yakni karena cinta tidak pernah hadir penuh berdasarkan perspektifnya. Ia selalu membutuhkan penafsiran-penafsiran serta kajian ulang, dan hal itu bersifat terus-menerus. Justru yang dikatakan sebagai cinta sejati adalah pemberian yang tulus; yaitu pemberian tanpa harapan maupun balasan. Akan tetapi, di titik ini pula Derrida menganggap bahwa setiap pemberian pasti menuntut balasan, sekalipun hal tersebut hanya berupa harapan, perlindungan, pengakuan, dll. Jadi, sudah bisa dipastikan bahwa mustahil ada cinta sejati yang hadir secara utuh. 

Konsep paradoks Derrida tentang maut dan cinta inilah yang justru unik dan memiliki kekuatan yang khas. Baginya, bobot cinta justru semakin tampak dan berharga karena adanya kematian. Di sisi lain, cinta adalah hal yang paling tidak bisa dimiliki dan didefinisikan secara utuh. Cinta akan selalu berada di ambang kerentanan. Dan hal itu memosisikan cinta sebagai janji yang selamanya mustahil. Namun, dari kemustahilan tersebutlah cinta menjadi suatu hal yang indah. 

Bagi Derrida, cinta sejati bukan soal memiliki satu sama lain, melainkan soal keterbukaan pada yang lain. Cinta berarti berani menerima kerentanan dan ketidakpastian, sebab ia selalu berhadapan dengan kemungkinan akan kehilangan. Mencintai berarti merangkul sesuatu yang suatu saat akan tiada. Pertanyaannya, sanggupkah manusia benar-benar menerima cinta yang rapuh dan fana itu?

Epistemologi Cinta dalam Tasawuf 

Menurut Robert Froger, cinta adalah inti Tasawuf, dan wadah cinta adalah hati. Penyair Hafidz menggambarkan dengan indah kekuatan cinta dan keutamaan hati yang hidup. 

Suatu hari seorang wanita belia bertanya kepadaku:

“Bagaimana rasanya menjadi seorang pria?”

Dan aku menjawab, 

“Sayangku, aku tidak begitu paham.”

Kemudian ia berkata, “Bukankah anda seorang pria?”

Dan kali ini aku menjawab, 

“Aku melihat gander bagaikan binatang yang indah, yang kerap dibawa untuk berjalan-jalan dengan tali, dan memasuki beberapa kontes yang ganjil untuk mencoba memenangkan hadiah-hadiah yang tak lazim. 

Sayangku, pertanyaan yang lebih baik untuk seorang hafidz adalah, 

“Bagaimana rasanya menjadi hati?”

Karena yang kuketahui hanyalah cinta, dan kudapati hatiku maha luas dan berada di mana-mana!

Tasawuf adalah jalan spiritual yang dapat mengantar kita menuju persatuan dengan Yang Tak Terbatas, di manapun kini kita berada. Dikatakan, sesungguhnya ada banyak jalan menuju Tuhan, sebanyak jumlah manusia. Di antara jalan-jalan tersebut, ada jalan hati, akal, kelompok, dzikir, dan pelayanan. Jalan hati adalah jalan cinta, yang caranya adalah dengan pengabdian. Dikatakan, cinta mengangkat derajat kita di atas binatang–bahkan di atas malaikat. 

Ahli-ahli tasawuf juga percaya bahwa cinta merupakan asas dan dasar terpenting dari keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan. Tanpa cinta yang mendalam, ketakwaan dan keimanan seseorang akan rapuh. Hilangnya cinta dalam segala bentuknya dalam diri sebuah umat akan membuat peradaban dan kebudayaan umat tersebut rapuh dan mudah runtuh.

Di lain hal, dalam mencapai rahasia ketuhanan, jalan cinta melengkapi jalan ilmu atau pengetahuan. Peradaban dan kebudayaan umat manusia tidak akan berkembang subur apabila hanya didasarkan pada ilmu beserta metodologi yang dihasilkan dari ilmu. Cinta menyempurnakan jalan ilmu, sebab cinta merupakan dorongan terpendam dalam diri manusia untuk selalu mencari yang sempurna dalam hidupnya. Dorongan menimbulkan kehendak, hasrat, dan kerinduan mendalam, dan dengan demikian cinta menggerakkan manusia untuk berikhtiar sekuat tenaga dengan segala kemampuan yang ada pada dirinya. Jalan ilmu yang dilengkapi jalan cinta juga membuat seseorang mampu mencapai makrifat atau kebenaran tertinggi yang merupkan rahasia terdalam dari ajaran agama.

Rumi  mengingatkan kita pada kekuatan cinta melalui sajaknya: 

Sejak kudengar dunia cinta 

Kuserahkan hidupku, hatiku 

Dan mataku di jalan ini 

Mulanya, aku meyakini bahwa cinta 

Dan yang dicintai adalah berbeda 

Kini, kupahami mereka adalah sama 

Aku melihat keduanya dalam kesatuan

Rumi memahami cinta bukan sekadar emosi, melainkan energi kosmis yang menggerakkan seluruh wujud. Bagi Rumi, cinta adalah api yang membakar ego (nafs) sehingga manusia dapat melampaui dirinya. Tanpa “mati”, seseorang tidak bisa mengalami kelahiran rohani. Rumi sering memakai metafora: bulir gandum yang harus digiling, biji yang harus pecah, atau kupu-kupu yang terbakar cahaya. Semua menunjukkan bahwa cinta sejati menuntut transformasi radikal. 

Rumi adalah seorang guru agama yang memiliki banyak murid dan pengikut. Pada usia 36 tahun, dia sudah bosan mengajar ilmu-ilmu formal. Dia insaf bahwa pengetahuan formal tidak mudah mengubah jiwa murid-muridnya. Ketika itulah, yaitu pada tahun 1244–1245 M Rumi berjumpa seorang darwis agung dari Tabriz bernama Syamsuddin at-Tabrizi. Selama berada di Konya, khotbah-khotbah yang disampaikan Syamsi Tabriz dan kepribadian tokoh ini memberi kesan mendalam terhadap Rumi. Sejak saat itulah Rumi tidak pernah mau berpisah dari gurunya itu, hingga Syamsi Tabriz diusir oleh ratusan murid Rumi yang tidak menyukai kehadirannya di Konya. Rumi larut dalam kesedihan akibat perpisahan dengan gurunya itu. Ia meninggalkan Konya untuk mencari gurunya tersebut. Rumi berhasil menemukan gurunya dan membawanya pulang ke Konya, sebentar, sebelum akhirnya para pengikut Rumi yang berburuk sangka kepada Syamsi Tabriz membunuhnya secara diam-diam. 

Kesedihan Rumi akibat keterpisahannya dengan Syamsi Tabriz membuat bakatnya sebagai penyair muncul. Syamsi Tabriz pernah mengatakan, cinta dapat mentransformasikan jiwa seseorang. Cinta Rumi pada gurunya yang telah wafat, berubah menjadi cinta transendental, cinta ilahiah. Rumi bukan saja masyhur sebagai ahli tasawuf dan guru keruhanian, melainkan juga sebagai sastrawan agung dan budayawan terkemuka seantero dunia. 

Seorang sufi yang lain, Sumnun, yang oleh rekan-rekannya dijuluki si pencinta digambarkan oleh Fariduddin Attar dalam kitabnya Tadhkirat al-Auliya’ dalam kalimat-kalimat yang indah:  “Ia, yang tanpa takut dan sepenuhnya cinta; ia yang tanpa nalar dan sepenuhnya hati;  serangga di api keindahan; orang yang dibingungkan oleh fajar penyatuan”

Attar menceritakan kisah-kisah mengharukan mengenai sang Pencinta:  lampu-lampu di masjid hancur ketika Sumnun mulai berkhotbah tentang cinta yang tanpa pamrih dan tak mementingkan diri sendiri, dan burung-burung bunuh diri mendengarkan khotbah-khotbahnya yang mengoyak-ngoyak hati. Sebelum Attar, al-Hujwiri dalam kitabnya, Kasyful Mahjub telah mengatakan bahwa Sumnun “mengikuti mazhab istimewa dalam cinta dan beranggapan bahwa cinta merupakan akar dan landasan jalan menuju Tuhan.”

Lalu, lebih unggul mana, cinta atau pengetahuan?

 Menurut Sumnun cinta lebih unggul dibanding makrifat atau pengetahuan–suatu masalah yang banyak dibicarakan pada zaman itu di kalangan para sufi. Kesimpulannya tergantung pada sikap pribadi masing-masing kelana di jalan mistik. Sumnun mengetahui, seperti Dhun-Nun al Mishri dan mereka semua yang pernah mengalami cinta Ilahi, bahwa hal itu selalu ada kaitannya dengan derita. Ketika ditanya mengapa, ia menjawab “Agar tidak setiap orang biasa bisa mengatakan cinta,  sebab ia akan lari menjauh manakala melihat penderitaan.”

Dalam tasawuf, cinta sering kali tak bisa dipisahkan dari derita. Cinta kepada Tuhan atau sesama menuntut keterbukaan hati dan kerentanan sehingga rasa sakit dan kehilangan menjadi bagian tak terpisahkan dari pengalaman mencintai. Derita bukanlah sekadar penderitaan, melainkan jalan menuju pemurnian jiwa dan pengenalan diri yang lebih dalam. Semakin tulus cinta itu, semakin besar kemungkinan menghadapi kesedihan dan ketidakpastian. Namun, justru melalui pengalaman itulah jiwa menemukan kedekatan dengan Yang Maha Kasih. Dengan kata lain, dalam tasawuf, derita dan cinta berjalan beriringan, mengajarkan manusia untuk mencintai tanpa menuntut, dan menerima fana dalam setiap keindahan yang dirasakan.

Ketika Allah menciptakan umat manusia, semuanya mengatakan bahwa mereka mencintainya. Maka Dia kemudian menciptakan kesenangan-kesenangan duniawi dan sembilan persepuluh dari mereka segera meninggalkan-Nya. Kemudian Allah menciptakan kemegahan dan keindahan kenikmatan surga dan sembilan per sepuluh  dari sepersepuluh yang tersisa itu meninggalkan-Nya. Lalu Allah menimpakan bencana dan kesedihan kepada sepersepuluh yang tersisa itu dan sembilan persepuluh dari sepersepuluh yang tersisa itu juga melarikan diri dari-Nya. Manusia-manusia yang menjauh dari-Nya itu terombang-ambing antara kesenangan, harapan dan putus asa. Namun,  mereka yang tetap bertahan, yakni sepersepuluh dari sepersepuluh dari sepersepuluh yang tersisa, adalah manusia-manusia pilihan. Mereka tidak menginginkan dunia, tidak mengejar surga, dan tidak melarikan diri dari derita. Hanya Allah semata yang mereka inginkan, dan walaupun mereka menerima penderitaan dan cobaan yang bisa membuat gunung-gunung gemetar ketakutan, mereka tidak meninggalkan cinta dan kepasrahan kepada-Nya. Mereka adalah hamba Allah yang sejati, pencinta Allah yang sesungguhnya.

Menurut Annemarie Schimmel dalam bukunya Mystical Dimension of Islam, Cinta merupakan agama sebenarnya bagi elit rohani dan kehalusan karena kedalamannya tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.  Metafor-metafor yang digunakan oleh Sumnun si Pencinta untuk mengungkapkan pengalaman tak terperikan tentang cinta ini tidak diambil dari kosakata cinta duniawi. Justru, metafor-matafor itu sepenuhnya murni jernih hampir tanpa wujud:

“Aku telah memisahkan hatiku dari dunia ini-

Hatiku dan Kau tak terpisahkan

Dan ketika aku tidur menutupkan mataku, 

Kau kudapati diantara kelopak dan bola mataku”

Evolusi Kematian Rumi 

Barang siapa yang menjadi mangsa cinta;

Mana mungkin dia, menjadi mangsa kematian?

Menurut Rumi, evolusi alam dimulai dari “cinta alam” atas dasar cinta kepada Tuhan sebagai realitas sejati. Oleh karena motif Tuhan dalam menciptakan alam adalah cinta, cinta telah meresap ke seluruh bagian alam. Dan karena itulah, alam dipenuhi cinta kepada penciptanya. Cinta yang merupakan kekuatan universal sekaligus nilai yang menjadi tenaga penggerak alam–semacam élan vital-nya Bergson. Kata Rumi, “Alam bergerak karena pesona gelombang cinta. Seperti Zulaikha terhadap Yusuf, dan langit pun mulai berputar.”

Alam telah berkembang secara perlahan dari tingkat yang rendah, mineral, melewati tumbuhan, hewan, sampai tingkat tertinggi, manusia. Akan tetapi, berbeda dari teori Darwin, Rumi percaya bahwa evolusi akan terus berlangsung setelah tingkat manusia. Dalam puisinya Rumi menggambarkan perjalanan jiwa:

“Aku mati sebagai mineral dan hidup menjadi tumbuhan

Aku mati sebagai tumbuhan dan tumbuh menjadi hewan

Aku mati sebagai hewan dan menjelma manusia

Lalu, mengapa aku harus takut? 

Ketika maut menjemput?

Kapan aku pernah jadi berkurang karena mati?

Sekali lagi, nanti aku akan mati sebagai manusia

Agar aku bisa membentangkan sayapku 

dan mengangkat kepalaku di antara para malaikat 

Sekali lagi, aku akan mati dari alam malakuti

Dan menjadi sesuatu yang tak sanggup dibayangkan imajinasi

Sebab, “segala sesuatu akan binasa

Kecuali Wajah-Nya” (Qs 28: 88)

Melewati malaikat,

Aku akan menjadi ketiadaan 

Namun, dari ketiadaan itu akan kudengar 

Seruling berkata: “sesungguhntya kita semua akan kembali kepada-Nya.” 

Evolusi baru akan berakhir ketika alam telah mencapai persatuannya dengan Sang Kekasih, Tuhan pencipta alam. Bagi Rumi, tidak mungkin ada evolusi pada alam tanpa cinta sebagai penggeraknya. Dan kematian, hanyalah pertemuan kembali dengan sang kekasih. Maut adalah “malam pengantin”, yaitu saat jiwa bersatu kembali dengan asalnya. 

Menurut Sachiko Murata dalam bukunya The Tao of Islam,  puisi Rumi tersebut menuturkan ihwal kebangkitan dari benda mati menuju manusia sejati. Sementara kematian menurut Rumi adalah perjalanan dari keadaan rendah ke keadaan tinggi, dan kematian sesungguhnya merupakan kelahiran menuju alam eksistensi yang lebih tinggi. 

Manusia terus mengaktualisasikan berbagai potensi yang berbeda. Mereka yang ditakdirkan mencapai kesempurnaan bergerak melampaui kualitas-kualitas yang biasa disebut manusiawi. Mereka mengaktualisasikan sifat-sifat yang berkaitan dengan wujud-wujud malaikat, semisal intelegensi murni dan bertindak hanya sesuai dengan perintah Allah. Akhirnya, mereka naik menjulang tinggi melebihi malaikat-malaikat dan, sebagaimana Nabi selama menempuh mi’raj, dapat memasuki hadirat Ilahi.

Cinta dan Maut: Titik Temu Sufi dan Filsuf 

Apakah cinta menurut para filsuf memiliki titik temu dengan para sufi? Iya dan tidak. Iya dalam hal prinsip dasar bahwa cinta yang sehat selalu dimulai dengan upaya keluar dari egoisme.

Menurut Erich Fromm, cinta yang sehat adalah cinta yang produktif, yang menggeser modus “memiliki” menjadi modus “menjadi”. Subjek yang mencintai tetap menjadi dirinya sendiri, yang mandiri, bebas dan kritis. Bebas di sini artinya bebas mengaktualkan potensi-potensi kemanusiaan yang dimiliki secara optimal, bebas melakukan aktifitas dalam kesadaran akal budi. Fokus pada keinginan untuk memahami dan mendukung yang dicintai. Modus “menjadi” berarti menjadi subjek yang memiliki orientasi memberi, bukan menerima. Inilah cinta yang dewasa menurut Fromm. Sebaliknya, kita mesti menghindari modus “memiliki”, cinta yang berorientasi pada kepemilikan dan kontrol atas yang dicintai. Cinta seperti ini berpotensi menimbulkan sikap posesif dan kesewenang-wenangan, bahkan kediktatoran.

Untuk bisa menjadi pribadi pecinta, seseorang harus menjadikan cinta bukan sekadar emosi, melainkan seni atau keterampilan yang membutuhkan latihan. Seni mencintai dilatih dengan disiplin, kepekaan, dan kesabaran sehingga cinta menjadi watak bagi subjek yang menentukan hubungan pribadi dengan dunia keseluruhan, tidak menuju hanya pada satu objek cinta.

Konsep fana dalam Tasawuf adalah proses spiritual yang bertujuan menghilangkan ego melalui kesadaran akan kehadiran Allah. Fana dapat diartikan sebagai peleburan ego sehingga seseorang dapat mencapai kesadaran spiritual yang lebih tinggi. Justru cinta yang kuat kepada Tuhan itulah yang mengalahkan ego individu terhadap Sang Pencipta, pada tataran selanjutnya akan menjadikan individu sebagai subjek yang mencintai hal-hal selain Tuhan secara bebas tanpa kungkungan egoisme yang sempit. Cinta yang ditransenden melalui cinta Ilahi, kemudian menuju cinta imanen, cinta kepada makhluk-makhluk-Nya.

Titik temu antara filsafat dan tasawuf adalah proses manusia atau subyek untuk keluar dari ego dan ke-aku-an untuk menjadi pecinta yang benar. Ketika seseorang mencintai dengan benar, maka cintanya disebut cinta yang matang, yang dewasa, tidak lagi kekanak-kanakan. Baik filsafat ataupun tasawuf sama-sama menekankan cinta yang matang ini, yang berorientasi memberi, bukan menerima.

Titik temu selanjutnya adalah kedisiplinan dalam cinta yang berorientasi pada praktik. Menurut Fromm, belajar mencintai adalah praktik berkesinambungan yang membutuhkan disiplin, kepekaan dan kesabaran. Dalam Tasawuf ada metode riyadhah dan mujahadah. Dengan menjadikan Tuhan sebagai orientasi puncak, apa yang dicapai melalui tasawuf akan lebih ajeg dan stabil karena aman dari perubahan-perubahan akibat keterbatasan manusia. Orang yang orientasi cintanya karena Allah lebih aman ketika objek yang dicintainya justru memberinya rasa kecewa, perubahan, atau kehilangan. Ketika orientasi subjek bersifat horizontal, baik subjek maupun objek sama-sama rentan terhadap perubahan, rasa sakit, dan kehilangan.

Antara Mati Terpaksa dan Mati Sukarela 

Baik para filsuf atau sufi sama-sama menjadikan mati sebagai landasan refleksi mengenai cinta dan kehidupan. Bagi Fromm kematian yang bersifat pasti melahirkan kesadaran akan kefanaan. Justru karena tahu akan mati, manusia terdorong untuk hidup dengan penuh makna: mencintai, mencipta, dan membangun relasi yang matang. Maut menjadi pengingat agar cinta yang dijalani bukan cinta narsistik, melainkan cinta yang produktif–cinta yang memberi, merawat dan mengaktualkan potensi-potensi kemanusiaan.

Derrida memandang kematian sebagai misteri yang tak pernah bisa ditangkap sepenuhnya. Kematian tak bisa diwakili atau dialami orang lain, dan karenanya ia menyikapi keterbatasan bahasa dan etika atas maut. Berbeda dengan para filsuf yang menghadapi kematian dengan kecemasan, para sufi menghadapinya dengan ketenangan. Sekalipun menurut filsuf kecemasan eksistensial yang ditimbulkan maut melahirkan dorongan untuk hidup secara autentik, ketenangan menghadapi maut pun bisa mendorong manusia untuk hidup lebih autentik, seperti yang dikatakan para sufi. Sebab, dorongan untuk menjalani hidup yang penuh makna sebelum diputus oleh maut tetaplah sebuah upaya yang bersifat sementara–selagi maut belum menjemput.

Para sufi berupaya mengisi hidup dengan karya dan kebajikan secara optimal tanpa bayangan kesementaraan. Mereka bertindak dengan keyakinan akan keabadian: kebajikan yang mereka tanam di dunia ini, akan mereka panen nanti di dunia selanjutnya. Kematian bukanlah akhir, tetapi awal dari tahap berikutnya. Seperti yang dirumuskan Rumi dalam teori evolusinya. Untuk menghadapi mati terpaksa yang berarti berakhirnya kehidupan biologis, para sufi memakai konsep mati sukarela, yakni mati sebelum mati–mati terhadap keinginan rendah duniawi, mati terhadap nafsu dan kehendak pribadi, hingga benar-benar hidup dengan kepatuhan pada kehendak Tuhan. Jika seseorang berhasil dengan metode mati sebelum mati ini, ia akan menyambut kematiannya dengan gembira. Seperti Rumi, yang menganggap kematian sebagai perayaan hari pengantin, hari penyatuan kekasih dengan sang kekasih.

Lantas apa hubungan cinta dan maut dalam Tasawuf? 

Jawabannya disampaikan Attar dalam cerita mengenai Hallaj:

Ketika Hallaj di dalam penjara ia ditanya: “Cinta itu apa?”

Jawabnya: “Kau akan menyaksikannya hari ini, besok,  dan lusa.” 

Dan hari itu mereka memotong anggota badannya, dan keesokan harinya mereka menggantungnya di tiang gantungan, dan lusanya mereka menebarkan abunya ke angin ….

Epilog

Annemarie Schimmel dalam bukunya, The Triumphal Sun: a Study of the Works of Jalaluddin Rumi, mengungkapkan keheranannya pada situasi abad ke-13 yang menurutnya adalah periode yang penuh dengan bencana politik, tetapi pada saat yang bersamaan penuh dengan kegiatan keagamaan dan tasawuf. Gelapnya kehidupan duniawi dijawab dengan maraknya kegiatan spiritual. 

Di tengah suasana yang diliputi keputusasan yang mendalam itu para sufi, ulama dan cendekiawan muslim bangkit mengajarkan pentingnya cinta transendental, yang memiliki kekuatan dalam mengubah jiwa manusia dari negatif ke positif. Hampir di setiap pelosok dunia Islam, dijumpai wali-wali, juru keruhanian, penyair, dan pemimpin besar dalam ilmu tasawuf. Mereka tampil membimbing khalayak ramai di tengah gelapnya kehidupan politik dan ekonomi. Menyampaikan kepada mereka rahasia cinta yang memang harus dicapai melalui penderitaan dan juga mengajarkan bahwa kehendak Tuhan dan cinta-Nya dapat tersingkap melalui bencana dan kemalangan. 

Di tengah gelapnya situasi politik dan ekonomi akhir-akhir ini, saya juga berharap terjadinya kebangkitan spiritual dan intelektual yang serupa, di bumi Indonesia tercinta.

‎ 

Fadhilah Khunaini adalah dosen filsafat di Universitas Annuqayah, Sumenep.

Editor: Ikrar Izzul Haq

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Tentang Roh dan Seks

27 September 2025 - 11:52 WIB

Foto oleh Asief Abdi/Sivitas Kothèka

Mencari Surga dalam Peta

20 September 2025 - 13:00 WIB

Foto oleh Asief Abdi/Sivitas Kothèka

Perihal Puisi dan Gejala Kematian Sejarah

17 September 2025 - 12:00 WIB

Banyak dibaca di Esai Budaya