Menu

Mode Gelap
Festival Sastra-Sains 2025, Epistemologi Maut dan Cinta Tentang Roh dan Seks Park dan Roman Klise Mencari Surga dalam Peta Perihal Puisi dan Gejala Kematian Sejarah One Piece, Nika, dan Genderang Pembebasan

Esai Budaya

Embrio Tindakan


					Foto oleh Putri Tariza/Sivitas Kothèka Perbesar

Foto oleh Putri Tariza/Sivitas Kothèka

Dalam satu forum diskusi yang menyoal Nazi, para peserta silih berganti berusaha menera akarnya. Sebagai salah seorang dari mereka, aku berusaha mengikuti setiap argumentasi yang dilontarkan. Namun, alih-alih sampai pada akar yang ingin dicapai, aku malah terjebak dalam kebingungan. Lalu, seseorang menyatakan bahwa apa yang dilakukan Hitler beserta kroni-kroninya boleh jadi merupakan wujud ketakmampuan berpikir. Dalam hati aku berkata, Alias bodoh?

Mayoritas peserta tampak bersepakat dengan argumen itu. Masuk akal ketika seseorang tidak dapat berbuat baik karena tak pernah berpikir tentang caranya. Namun, hal itu sukar dibayangkan. Dalam konteks tindakan Nazi, bukankah hal itu berarti bahwa mereka berhasil memikirkan cara berbuat jahat? Dan tidakkah itu juga merupakan suatu tindakan berpikir? Lagipula, bukankah kita adalah sapiens?

Usai dari forum tersebut, aku berangkat menemui seorang kawan. Dalam pertemuan itu, kulemparkan ikhtisar diskusi beserta beberapa pertanyaan. Tanpa menjawab, ia membanting bungkus rokok sambil berkata, “Silakan rokoknya!” Aku tidak bisa tidak kaget. Ia mengulangi perbuatannya, tetapi dengan cara yang berbeda. Di hadapanku, ia menggeser pelan bungkus rokok itu sembari berkata, “Silakan rokoknya.” Nadanya lembut dan bibirnya mengulum senyum.

Malam itu, sesuatu di kepalaku terbongkar. Jauh sebelum ini, kupikir, segala sesuatu “yang baik” akan diikuti oleh “yang indah”. Etika mendahului estetika. Namun, tidakkah untuk mencapai sesuatu yang baik dibutuhkan keindahan? Apa yang dilakukan kawanku adalah tindakan yang baik: Ia membagikan rokoknya.

Kita tahu bahwa berbagi adalah tindakan terpuji. Akan tetapi, berbagi sesuatu dengan cara membentak tidak pula dapat dikatakan sebagai tindakan baik. Dibutuhkan kerendahan hati dan tindakan ketika berbagi. Sebab, hanya dengan begitu, kebaikan yang diniatkan niscaya akan sampai. Dengan kata lain, estetika mendahului etika. Namun, bukankah akan bias ketika ihwal estetis menjadi dasar suatu keputusan etis? Sebab, bisa jadi satu hal menurutku estetis, tapi menurutmu tidak. Oleh karena itu, satu perangkat lagi dibutuhkan: dialektika.

Melalui dialektika, takkan ada keputusan bias. Sebuah keberadaan harus lebih dulu dilihat sebagai “yang apa adanya” atau—meminjam istilah keren Kant—Das Ding an sich. Keberadaan tersebut akan selalu dialektis dengan ruang dan waktunya melalui peristiwa-peristiwa sampai akhirnya membentuk nilainya sebagai sesuatu.

Contohnya adalah seekor larva yang bermetamorfosis menjadi kupu-kupu dan memberikan manfaat atas penyerbukan tanaman (dialektis-estetis-etis). Contoh lainnya, yaitu tahi sapi. Dalam sebuah kerja dialektis tertentu, tahi sapi dapat dijadikan pupuk. Kupu-kupu dan tahi sapi, paling tidak, mewakili apa yang kita katakan sebagai “yang indah” dan “yang tidak indah”. Namun, melalui proses dialektisnya masing-masing, keduanya memiliki manfaat. Dengan demikian, keduanya etis dan dengan demikian pula keduanya estetis.

Lalu, bagaimana dengan lukisan Hindia molek? Dari sini, pokok bahasan akan diperluas. Lukisan merupakan produk kebudayaan. Dalam ekonomi politik Marx, sistem kebudayaan adalah bangunan-atas (superstruktur) yang keberadaannya bergantung pada model sistem ekonomi sebagai bangunan-bawah (basis). Lukisan Hindia adalah produk kebudayaan di atas sistem ekonomi kapital, di mana pada saat itu, kolonialisme masuk dengan seperangkat manufaktur untuk mengeruk sumber daya alam Hindia sebagai komoditas dagang. Apakah lukisan dengan embrio semacam itu dapat dikatakan estetis, lebih-lebih etis?

Sampai di sini, dapat disepakati bahwa segala yang estetis pasti etis. Sebab, yang estetis selalu berkelindan dalam suatu hubungan dialektis. Lalu, bagaimana dengan Nazi? Aku tidak perlu berpanjang-panjang membedah perkara ini. Alih-alih estetis-etis, Nazi justru merupakan wujud konkret esensialisme rasial. Segala bentuk esensialisme harus ditolak. Sebab, ia menihilkan proses dialektis. Atau, dengan kata lain, dogmatis. Namun, sebenarnya apa yang memungkin Nazi bertindak demikian?

Hannah Arendt dalam Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of Evil menawarkan ide bahwa kejahatan yang bersumber dari ketakmampuan berpikir tidak lain disebabkan oleh adanya sistem yang menekannya untuk bertindak demikian. Dalam laporan tersebut, Arendt meliput persidangan seorang jenderal Nazi, Adolf Eichmann, yang bertanggung jawab atas deportasi orang-orang Yahudi ke kamp konsentrasi. Arendt adalah salah seorang korban kebengisan Nazi. Abang-abangannya, Heidegger, bahkan bergabung dengan partai tersebut, sehingga gagasan Arendt saat itu cukup mengejutkan.

Aku sepakat bahwa yang Arendt katakan benar belaka. Sistem yang menekan seseorang untuk berlaku jahat merupakan sistem yang juga menihilkan proses dialektisnya. Penihilan yang dimaksud adalah bentangan jarak antara individu dengan ilmu pengetahuan. Dalam kasus Eichmann, ada dogma esensialisme rasial Nazi yang masuk dalam lintasan nalarnya. Dogma tersebut membentangkan jarak antara Eichmann dengan pengetahuan lain.

Apakah Eichmann berpikir? Tentu saja, Eichmann juga sapiens. Satu-satunya alasan Eichmann berlaku demikian karena ia berjarak dengan pengetahuan. Dengan kata lain, jenderal Nazi tersebut dialienasi dari pengetahuan sehingga tak memiliki proses dialektis dan pertimbangan estetis-etis dalam tindakannya.

Lebih lanjut, alienasi adalah akar penindasan. Siapa pun yang teralienasi akan mengalami penindasan atau bahkan menjadi penindas itu sendiri. Jika demikian, bukankah kita menjadi permisif atas tindakan jahat seseorang dan malah menyalahkan sistem?

Kupikir, menemukan akar dari kesalahan tidak berarti membenarkan perpanjangan tangannya. Setiap perilaku jahat tetaplah jahat, apa pun alasan di baliknya. Persoalannya, apakah ada cara untuk membebaskan diri dari sistem yang melanggengkan tindakan jahat? Jawabannya tidak lain ialah dengan mencapai akar.

Hanya dengan mencapai akar suatu persoalan, seseorang dapat membebaskan diri darinya. Memiliki kesadaran dialektis dan pertimbangan estetis-etis akan membongkar setiap dogma yang memungkinkan tindakan jahat. Katakanlah, jika tidak teralienasi dari pengetahuan, niscaya Eichmann dapat memikirkan hubungan dialektis atas perbuatannya, lalu mempertimbangkannya secara estetis-etis.

Lantas, ketika sudah memiliki pertimbangan dialektis-estetis, apakah seseorang dapat terjamin bebas dari setiap tindakan jahat? Jika iya, bagaimana kita menjawab kasus seorang guru agama yang melakukan pemerkosaan? Aktivis lingkungan yang melakukan pencemaran? Atau aktivis HAM yang melakukan kekerasan? Jawabannya bisa dua. Mereka teralienasi dari pengetahuan. Dengan kata lain, ada sistem yang memagarinya. Atau, mereka mengalienasi diri dari pengetahuan. Dengan kata lain: malas!

Muhammad Jibril menyelesaikan studi sastra di Universitas Airlangga. Saat ini sedang memenuhi fitrahnya sebagai seorang pekerja.

Editor: Putri Tariza

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Tentang Roh dan Seks

27 September 2025 - 11:52 WIB

Foto oleh Asief Abdi/Sivitas Kothèka

Mencari Surga dalam Peta

20 September 2025 - 13:00 WIB

Foto oleh Asief Abdi/Sivitas Kothèka

Perihal Puisi dan Gejala Kematian Sejarah

17 September 2025 - 12:00 WIB

Banyak dibaca di Esai Budaya