Menu

Mode Gelap
Pesantren, Sastra, Saya Dari Verbal ke Visual Diskursus Patah Hati Frau dan Sesudahnya Kawin Silang Ekonomi dan Politik Festival Sastra-Sains 2025, Epistemologi Maut dan Cinta

Esai Budaya

Diskursus Patah Hati


					Foto oleh Asief Abdi/Sivitas Kothèka Perbesar

Foto oleh Asief Abdi/Sivitas Kothèka

Tom Hansen merasa semestanya tak sama lagi tatkala hatinya patah. Jalan yang pernah dilewatinya bersama Summer, sang mantan kekasih, yang di masa silam seakan ditumpahi aneka warna cahaya, mendadak kusam dan muram. Begitu juga restoran tempat mereka bersantap serta lagu-lagu yang dahulu mereka perbincangkan dengan seru. Tokoh utama film 500 Days of Summer tersebut terperosok dalam palung depresi: mengurung diri di kamar, makan kudapan nirgizi, sembari mengasihani diri sendiri, seakan sakit hatinya adalah penderitaan tak terperi. Dan saya memaklumi. Mau tidak mau, harus diakui bahwa patah hati merupakan salah satu pengalaman paling pahit dalam hidup manusia.

Namun, apa yang sebenarnya terjadi dalam otak orang patah hati? Mengapa kondisi tersebut begitu menyakitkan? Sekarang bayangkan dirimu adalah Tom. Begitu bertemu Summer yang cerdas menawan dan berpikiran bebas, kamu sekonyong-konyong bucin.  Seperti yang pernah saya dedahkan di esai sebelumnya, saat jatuh cinta, otakmu, yang mendadak dungu itu, berada dalam kuasa trio neurotransmiter: dopamin, oksitosin, dan serotonin. Trio oplosan tersebut yang membikinmu tersambar geledek kebahagiaan, terbalut selimut kenyamanan, dan ingin selalu lekat pada ayang seperti kukang pada pepohonan berkanopi rindang.

Celakanya, ketika objek cintamu lenyap—mungkin karena doi menghantu atau mendadak memutus hubungan—kadar tiga senyawa itu dalam otakmu anjlok. Reseptor otak sekonyong-konyong tak mendapat asupan harian. Padahal, sebelumnya kamu kecanduan. Kaskade yang terjadi mirip reaksi lepas obat atau withdrawal syndrome. Maka, kamu pun sakau.

Sebagaimana sakau yang dialami para pemadat, defisit oplosan neurotransmiter tersebut bikin kamu cemas, depresi, dan merasa terisolasi. Apesnya lagi, kamu bakal merasa nyeri. Bukan nyeri emosional, melainkan fisik. Jadi, rasa sakit emosional itu diterjemahkan oleh tubuh sebagai rasa sesak di dada, mual, mulas, atau tenggorokan yang tercekat dan susah menelan meski tidak ada luka fisik yang terkonfirmasi. Pada sebagian orang, ngilunya bahkan bisa sekujur tubuh.

Mengapa begitu? Rupanya, di saat bersamaan, terdapat aktivasi di korteks insular dan korteks cingulate anterior yang memproses rasa sakit badaniah. Area ini juga teraktivasi bila seseorang sakit gigi. Saya curiga Meggy Z sesungguhnya seorang neurosaintis dari masa depan lantaran bisa memperkirakan bahwa nyeri akibat putus cinta tak ubahnya sakit gigi atau bahkan lebih parah. Tak seperti sakit gigi, patah hati dapat berlangsung lebih lama. Bahkan bisa menjelma impuls-impuls kenangan traumatis yang bersemayam di pusat memori. Alhasil, kamu bakal susah melupakannya.

Lalu apa yang bisa kamu lakukan untuk mengurangi rasa nyeri itu? Seperti kita ketahui, Freud telah berpostulat tentang ini dalam Pleasure Principle bahwa id selalu berupaya mencari kesenangan dan menghindari ketidaknyamanan. Karena itu, pada fase awal, sebagai penderita patah hati, kamu akan berupaya menghindari rasa sakit atau setidaknya mengurangi kesakitanmu. Apalagi, menurut penelitian Helen Fisher, penulis Anatomy of Love, penderita patah hati memikirkan kemalangannya selama 85% dari waktu terjaganya. Karena itu, demi meringankan nyeri, saya takkan heran bila kamu akhirnya melakukan tindakan-tindakan gila seperti mengirimi mantanmu puluhan atau bahkan ratusan pesan, meneleponnya berulang-ulang, sampai menangis tersedu-sedu untuk minta balikan. Bahkan beberapa pesakitan cinta lainnya bisa melakukan hal ekstrim untuk meredakan ngilu tak tertahankan tersebut. Misalnya dengan merokok terus-menerus, menenggak berbotol-botol alkohol, bahkan bunuh diri. Fun fact-nya, rasa nyeri itu sesungguhnya bisa diobati dengan … parasetamol. Sederhana.

Namun, bisa dipahami, fase kegilaan ini merupakan upaya bernegosiasi agar bisa kembali ke kondisi awal—saat masih bersama sang mantan. Karena dengan begitu, suplai dopamin dan oksitosin yang begitu didamba otak akan aman. Ya, kayak pecandu mengejar-ngejar bandar. Lantas, bagaimana bila mantanmu tetap kekeuh tak mau lagi merajut kasih? Padahal saat itu kamu masih dalam situasi sakau akut?

Kamu akan masuk fase selanjutnya: menyerah berjuang, baik terhadap mantan atau kehidupan. Ini identik dengan tikus-tikus padang rumput dalam percobaan Zoe Donaldson, ahli neurosains Amerika. Tikus-tikus yang dipisahkan dari pasangannya, ketika ditempatkan dalam situasi konflik (misalnya dijatuhkan dalam gelas kimia berisi air dingin untuk melihat respons si hewan coba), mereka bersikap pasif. Benar-benar mengangkat tangan—atau kaki?—mereka dan menolak berjuang. Eksperimen ini juga direplikasi di salah satu laboratorium di Tiongkok dengan perlakuan yang sedikit berbeda. Hasilnya, tikus-tikus lajang baru lebih senang menghabiskan waktu di kotak gelap daripada menjelajah ruang lain. Perilaku-perilaku tersebut dianggap mirip keadaan depresi. Macam kamu yang memilih rebahan, malas bertemu orang, dan mengurung diri di kamar tanpa menyalakan lampu, kan?

Sembari itu, kamu bisa jadi akan mengais-ngais sisa citra doi yang bisa kamu akses demi menggenapi kebutuhan oplosan neurotransmiter. Lihat saja Tom yang mengurung diri di kamar dan menonton film-film lama yang pernah ia nikmati bersama Summer, atau ketika ia mengenang kembali masa-masa indah bersama Summer—yang tak lebih dari imajinasi ideal dirinya akan Summer—yang berupa gambar acak, tak kronologis, yang begitu tepat menggambarkan cara kerja pusat memori manusia. Apa yang ia lakukan tak ubahnya pecandu heroin yang mengiris kulitnya sendiri demi menjilati tiap tetes darah yang masih mengandung zat adiktif itu. Tak ada bedanya dengan kamu yang scrolling media sosial mantan, memandangi foto-fotonya, dan mendengarkan lagu-lagu yang pernah ia nyanyikan untukmu. 

Perilaku itu pernah diteliti oleh Helen Fisher dan koleganya, sebagaimana ia catat dalam Journal of Neurophysiology 2010 melalui sebuah eksperimen unik. Mereka meneliti hasil MRI otak lima belas orang yang mengalami putus cinta. Dalam kuasa medan magnet pemindaian, mereka diminta melihat dua foto: satu, orang yang memutus cintanya, dan foto orang lain yang netral secara emosional bagi subjek uji. Hasilnya? Ternyata, hasil pemindaian orang yang patah hati identik dengan gambaran orang yang merasakan cinta romantis yang intens.

Fisher pun menyimpulkan, bahwa putus cinta bukan berarti seseorang berhenti mencintai objek cinta. Bahkan tembok besar itu membuat ia lebih menggilainya. Hasil pindai menunjukkan aktivasi area otak yang mengatur hasrat dan regulasi emosi, termasuk ventral tegmental area, striatum ventrale, dan girus cingulate. Seperti diketahui, area otak tengah itu berperan dalam cinta romantis.

Maka, saat ia menatap lagi sang pujaan hati—meski hanya dalam bentuk gambar—otaknya menghasilkan kembali oplosan neurotransmiter. Meski dopamin yang dihasilkan tak sebanyak kalau benar-benar mendekap ayang, sepercik kadar dopamin yang dihasilkan bisa sedikit meringankan nyeri dan mengeksitasi setitik kebahagiaan. Begitu juga perkara oksitosin. Otak yang lapar akan zat itu seakan menjilati lelehan cinta yang hilang. Namun, itu semua sesungguhnya kabar buruk. Mekanisme demikian malah akan memperpanjang derita cinta, seperti yang diucap Chu Pat Kay dari serial Journey to the West: begitulah cinta, deritanya tiada akhir.

Petaka putus cinta ternyata tak hanya hanya mengubah perilaku, tapi juga zat-zat kimia dalam sistem saraf sentralmu. Bila pada tikus putus cinta kelenjar adrenal menghasilkan kortikosteron, kelenjar adrenal Homo sapiens mengeluarkan kortisol yang efeknya sama: hormon stres. Buktinya, ketika para ahli menonaktifkan Corticotropin-releasing factor (CRF), pemicu produksi hormon stres, tikus-tikus uji yang patah hati bersikap aktif layaknya tikus-tikus kontrol. Akan tetapi, bukan berarti ini pembenaran bagimu untuk menonaktifkan faktor tersebut—andai saja bisa. Sebab, produksi hormon itu sebetulnya berguna sebagai sarana adaptif. Karena, dengan kesengsaraan dan rasa nyeri, kamu akan terdorong untuk kembali ke mantan pasangan demi akhirnya meneruskan informasi genetik di masa depan. Yah, lagi-lagi bisa dibilang, gen-lah yang memanipulasi kita semua.

Masalahnya, kamu tak boleh terendam hormon-hormon stres itu terlalu lama. Tubuh kita tak didesain untuk membedakan distress lantaran luka fisik atau emosional. Pokoknya, begitu ada sinyal bahwa kamu sedang “diserang”, sumsum tulang mengubah prioritasnya. Ia akan menghasilkan lebih banyak monosit dan lebih sedikit sel B. Pusat otak kita juga akan menghasilkan senyawa yang bertanggung jawab pada reaksi fight and flight, yaitu norepinefrin. Padahal, monosit punya reseptor yang merespons norepinefrin, sehingga memicu produksi RNA yang menghasilkan protein inflamasi sekaligus menghentikan produksi RNA yang melindungi kita dari serangan virus. Karenanya, kamu jadi gampang sakit. Itu baru satu jalur. Ada jalur lain, semisal ketika peningkatan hormon stres tersebut memicu lonjakan gula darah yang berujung diabetes melitus atau melemahnya otot jantung secara tiba-tiba yang dikenal sebagai Kardiomiopati Takotsubo.

Bersebab itu, kamu harus segera keluar dari kubangan patah hati. Ada banyak cara yang bisa kamu tempuh—akan saya sampaikan di esai berikutnya. Akan tetapi, perlu direnungkan, bukankah tidak ada manusia yang terbebas dari patah hati? Maka, kesialan itu bisa menjadi sarana bagimu untuk mengail makna hidup. Sebagaimana Tom yang di akhir film bertumbuh secara emosional. Ia belajar bahwa cinta bukan perihal menemukan orang yang tepat, melainkan memahami diri sendiri. Patah hati menjadi sebuah perjalanan eksistensial, atau kata penyair David Whyte: karena patah hati, kita menjadi dewasa.


Sasti Gotama adalah dokter dan penulis. Ia menerima penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa, Hadiah Sastra Rasa, dan Anugerah Sabda Budaya.

Editor: Asief Abdi

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Pesantren, Sastra, Saya

18 Oktober 2025 - 17:06 WIB

Kawin Silang Ekonomi dan Politik

4 Oktober 2025 - 13:00 WIB

Tentang Roh dan Seks

27 September 2025 - 11:52 WIB

Foto oleh Asief Abdi/Sivitas Kothèka
Banyak dibaca di Esai Budaya