Menu

Mode Gelap
Kawin Silang Ekonomi Politik Festival Sastra-Sains 2025, Epistemologi Maut dan Cinta Tentang Roh dan Seks Park dan Roman Klise Mencari Surga dalam Peta Perihal Puisi dan Gejala Kematian Sejarah

Esai Budaya

Dilema Kuliah di Bidang Pendidikan


					Foto oleh Putri Tariza/Sivitas Kothèka Perbesar

Foto oleh Putri Tariza/Sivitas Kothèka

Pada dasarnya, tidak ada jurusan yang tidak penting untuk dipelajari. Catatan ini saya buat secara khusus untuk membahas program studi dalam rumpun pendidikan yang konon tidak cerah di masa depan; peluang kerja sempit, gaji sedikit, tak bergengsi, biasa saja, bahkan kurang menantang.

 

Masa Depan Suram

Mereka yang hendak mengambil jurusan pendidikan, kerap kali mendapat respons bahwa profesi guru bukanlah pekerjaan yang menjanjikan. Pertama, peluang kerja yang minim. Ya, kalau membandingkan rasio antara lulusan dan peluang kerja jadi guru, memang terbilang sangat timpang. Terlebih mengingat kampus-kampus kecil pasti punya program studi ini sehingga menghasilkan banyak alumnus. Sementara populasi guru yang diperlukan, tak sebanyak jumlah alumni. 

Yang perlu digarisbawahi, antrean panjang menjadi guru tidak semata-mata disebabkan faktor ini, tetapi karena banyaknya lulusan pendidikan yang memiliki kompetensi rata-rata membuat persaingan yang ketat. Oleh karenanya, kita bisa menduga, semakin bagus kompetensi calon guru, semakin ringan pula tingkat persaingannya.

Secara barbar, saya mau katakan, jangan salahkan masa depan suram kalau kita sendiri yang gelap. Logikanya, kalau kita punya kemampuan bagus, sekolah akan berebut untuk merekrut kita. Sebaliknya, kalau saat kuliah kita “biasa saja”, jangan heran kalau sekolah tak mencari kita, bukan kita yang mencari sekolah. Lebih baik fokus pada perbaikan diri sendiri daripada berharap pada di luar kita, tentu selain Tuhan.

Kedua, gaji sedikit. Faktanya, memang kebanyakan demikian. Namun, pernahkah kita lebih jauh memikirkannya? Apakah benar semua guru dibayar Rp200.000 per bulan? Jangan salah, ada guru yang dibayar pemerintah dengan gaji sangat layak atau jauh di atas UMR. Di sekolah swasta pun, pastinya yang sehat—umumnya di kota besar—guru bisa dapat uang lebih banyak ketimbang guru pegawai negeri.

Artinya, kalau kemampuan mengajar kita bagus, bisa bekerja di sekolah yang ideal, bukan tak mungkin pendapatan kita sangat cukup untuk menyambung hidup, bahkan membeli rumah baru, kredit dong. Di sisi lain, sebenarnya upah guru yang kecil ini berkaitan dengan banyak aspek kompleks, yang akan sedikit saya singgung di paragraf berikutnya.

 

Enggak Keren

Ketiga, dianggap biasa saja atau kurang menantang. Bagian ini yang paling membuat saya gemas. Bisa-bisanya, profesi paling mulia dipandang demikian. Sepintar apa kita, kok berani bilang jadi guru mudah? Mari kita renungkan, bukankah banyak lulusan pendidikan yang tak mulus dalam persaingan memikat hati sekolah-sekolah? Bukankah kita seringkali menemukan guru yang tidak cakap dalam mengajar? Misalnya, untuk sekadar membuat salindia bagus saja  tak bisa. Atau betapa banyak guru yang cara menjelaskan materi pelajaran tidak mudah dipahami muridnya? Bukankah kita juga sering mendapati guru yang cara mengajarnya monoton? Masih mau berkata gampang? Pandangan meremehkan seperti ini, saya pikir memang selaras dengan betapa sedikit orang yang menyadari pentingnya pendidikan. Padahal, kalau gurunya bagus, muridnya pun berpeluang menjadi lulusan yang bagus. Kalau gurunya pandai, murid akan terbantu untuk diterima di kampus dengan iklim suportif.

Selain itu, pemikiran menjadi guru tidak mewah, terlebih bagi anak SMA kelas akhir yang tentu dengan keterbatasannya, bisa berbahaya. Mari bayangkan, mereka yang sebenarnya punya potensi bagus tetapi terjebak gengsi, akhirnya memilih kuliah selain jurusan pendidikan. Sementara itu, dengan motivasi rendah karena menganggap menjadi guru cukup mudah dan bisa bersantai ria, akhirnya mereka yang pas-pasan memilih kuliah di fakultas pendidikan. Apa yang terjadi? Stok calon guru kita kebanyakan diisi mereka yang biasa saja, kurang progresif, dan wajar saja pendidikan kita masih menyisakan pekerjaan rumah yang menggunung.

Saya yakin betul, salah satu alasan kuat upah guru kecil, ya, karena pandangan enteng tadi. Tak banyak di antara kita yang sadar betapa krusialnya pendidikan. Coba kita hitung, betapa mudahnya kita mengeluarkan rupiah untuk perawatan wajah dan kulit, atau kulineran dengan harga lumayan. Di sisi lain, betapa sulitnya kita membeli bahan bacaan atau berinvestasi dalam pendidikan untuk masa depan. Maka, pertanyaannya, mau sampai kapan rantai kekeliruan ini kita biarkan terus berputar?

Keadaan pendidikan kita memang sulit. Namun, apakah kita akan menyerah begitu saja? Benar kita dipengaruhi lingkungan, tapi bukankah lingkungan juga dipengaruhi oleh kita?

Pesan saya untuk adik-adik yang sedang berjuang mendapatkan kampus idaman, bijaklah melihat sesuatu. Jangan hanya karena gengsi, tapi juga perlu melihat hal yang lebih penting. Tak ada program studi yang tidak menjanjikan, tak ada ilmu yang tak luas. Menentukan pilihan disiplin ilmu yang akan dijalani selama empat tahun, bukan urusan main-main. Hal ini besar pengaruhnya dalam karier yang kelak dijalani seumur hidup. Pilihlah yang paling bisa membuat semangat kamu terus berkobar! Pilih dengan hati nuranimu! Bicaralah baik-baik dengan semua orang yang mendukungmu! Jangan terburu-buru!

Tulisan ini tak bermaksud merendahkan guru. Justru niat hati mengajak kita menghormati pekerjaan yang paling dimuliakan dalam agama, menjadi guru.

 

Afnan Rahmaturrahman adalah seorang musisi dan Ketua Sivitas Kothèka.

Editor: Putri Tariza

 

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Kawin Silang Ekonomi Politik

4 Oktober 2025 - 13:00 WIB

Tentang Roh dan Seks

27 September 2025 - 11:52 WIB

Foto oleh Asief Abdi/Sivitas Kothèka

Mencari Surga dalam Peta

20 September 2025 - 13:00 WIB

Foto oleh Asief Abdi/Sivitas Kothèka
Banyak dibaca di Esai Budaya