Menu

Mode Gelap
Festival Sastra-Sains 2025, Epistemologi Maut dan Cinta Tentang Roh dan Seks Park dan Roman Klise Mencari Surga dalam Peta Perihal Puisi dan Gejala Kematian Sejarah One Piece, Nika, dan Genderang Pembebasan

Kritik Seni

Betapa Hidup Begitu Horor


					Foto oleh Ikrar Izzul Haq/Sivitas Kothèka Perbesar

Foto oleh Ikrar Izzul Haq/Sivitas Kothèka

Teror gadungan membikin orang memekik lantang, terkencing-kencing. Kalau kebetulan penonton fasih misuh, ia bakal bangkit dari kursi nyamannya, mengundang satu resimen handai tolan untuk menyemarakkan makian. Teror gadungan membikin dara rebah di pundak kekasihnya, menjerit bertameng pelukan. ‘Angel porn’, sebagaimana bocah-bocah The Midnight Club menggibah, adalah genre gadungan tersebut. Sekumpulan bocah gabut ini menggibah setiap tengah malam; memasak kisah horor yang terinspirasi dari kehidupan kelam mereka sendiri. 

Pada dua puluh menit pertama, saya, dengan ini, sepenuhnya ternodai oleh serial The Midnight Club. Selamat, saya sudah menjadi banci pengecut yang naik kelas, sebab terlalu sering jadi santapan objek teror. Jadi, begini singkatnya. The Midnight Club adalah semacam perkumpulan anak-anak penderita penyakit kronis. Mereka bakal berkumpul pada tengah malam untuk mendengarkan kisah-kisah horor dan teror. Masing-masing dapat bagian bercerita. Satu sesi satu orang. Awalnya saya berpikir, mereka yang menggubah kisah kehidupan pribadi jadi semacam bahan gosip mending bubar saja. 

Ilonka. Entahlah, mengapa pelahap buku-buku klasik dan sastra yahud selalu digambarkan sebagai tokoh yang banyak bikin ulah. Dialah biang kerok yang memulai serial The Midnight Club. Bukan lagi konon-katanya jika pengobatan penyakit mematikan sering kali memiliki jalur alternatif. Salah satunya adalah menggandrungi ritual pagan yang secara sadar bisa menumbangkan nyawa beberapa hamba. Di titik tertentu, orang waras bisa aja serong. Begitupun Ilonka. Demi kesembuhan, akhirnya ia percaya hal begituan.

Nuansa Asrama Brightcliffe yang berbedak halimun mirip dengan penggambaran asrama paling najis se-Kuba kalau Guillermo Rosales mau bangkit dari kubur untuk meminta Mike Flanagan menggarap Penampungan Orang-Orang Terbuang. Alih-alih ke Singapura buat berobat, misalnya, Ilonka malah memilih tempat semacam ini. Ia berangkat berbekal segepok informasi soal Julia Jayne, mantan penghuni asrama yang sembuh secara ajaib. Di Brightcliffe, 6 penghuni asrama; Sandra, Amesh, Cheri, Anya, Spense, dan Kevin, yang sama kronisnya dengan Ilonka sudah menetap di sana berbulan-bulan. Enam orang itu berjamur bersama dewa kematian, dan bersimbiosis mutualisme dengan setan-setan yang bersarang di sana. 

Saya akui saya orang lebay, tapi untuk ini saya betulan tak pakai penyedap. Wallahi, saya tidak ambil pusing dengan serial ini. Sebagai pekerja jompo yang bobok setelah isya berkumandang dan nyenyak hingga sembilan jam kemudian, saya baru tahu bahwa alam bawah sadar saya disetir Mike Flanagan setelah menuntaskan 2 episode.

Malam itu, saya tidak berhenti memandangi lubang kunci. Saya bangkit untuk mengokang kunci ganda dan mengekang gagang pintu beberapa kali, kemudian  rebah. Beberapa detik berikutnya, saya bangkit buat merapikan gorden. Saat menoleh, tiba-tiba jantung saya berdebar. Saya melihat diri saya sedang tidur, tapi saya juga sedang berdiri menutup gorden. Lama saya terpancang memandangi saya yang sedang tidur. Lalu yang tidur itu bergerak, ia mengucek mata, duduk tegak, lalu menoleh ke arah saya. Saya yang tadinya tidur mengatakan pada diri saya sendiri, “Oh sudah bangun kau rupanya.” 

Saya bangun digertak realitas. Buset, keringat dingin berleleran. Kembali saya bangun untuk mengokang kunci dan pintu yang sudah terkunci, merapikan gorden lagi. Lalu balik badan, kali ini lebih awas. Lagi-lagi saya melihat saya sendiri sedang tidur. Begitu terus hal itu terulang, sampai saya tidak berani balik badan. Sampai saya bertanya-tanya, “Apakah saya perlu dirukiah?”

Esoknya, saya sigap order garam rukiah yang dijual kiloan di toko daring. Lalu beberapa jam kemudian saya menertawakan diri sendiri. Saya menyadur umpatan Madeline Usher lengkap dengan cara dia ngomong pakai tanwin dan tasydid di episode 6 “Goldbug”, demi bisa menampar diri sendiri di serial The Fall of The House of Usher, “Get your shit together, what the fuck is wrong with you?” 

Saya tidak seperti ini. Tidak pernah seperti ini. Saya dan beberapa kawan adalah pecundang kelas kakap yang sok memicu adrenalin dengan berlangganan menonton horor. Kadang kami menonton horor cuma untuk mencari alasan memekik di situasi yang tepat. Tapi ketakutan pascanonton selalu beres hanya dengan menyalakan lampu saat tidur. Atau, kadang pakai respons templat, “Waduh, alamat gak berani ke toilet malam ini, kamu nginap di tempatku, ya!” Setelah itu hari-hari berjalan seperti biasa.  

Bayangkan, gara-gara episode 2 “The Two Danas”, saya memutuskan mandek nonton The Midnight Club laiknya suami mabuk yang menalak istri salihah. Hari itu saya mantap mengundurkan diri dari mazhab Flanaverse, mengira ini tindakan patriotik dari seorang nasionalis kacangan. 

Yakinlah, karena saya sudah membuktikannya. Mandek bukan berarti selesai. Tidak semua hal bisa beres hanya dengan cara mengambil pilihan berhenti. Mike Flanagan pasti memasang santet di serialnya itu. Kepo, akhirnya saya ganti melabrak Christopher Pike, otak di balik terciptanya The Midnight Club yang terbit di tahun yang sama ketika saya dilahirkan, 1994. Ternyata, setelah saya bedah tanpa anestesia, Mike Flanagan mendekonstruksi plot konservatif The Midnight Club yang membuat serialnya tidak hanya semakin sedap tapi juga menimbulkan efek paranoia. Ini bukan satu-satunya, Mike Flanagan juga sama lancangnya mendedel 7 karya Edgar Allan Poe dalam The Fall of the House of Usher

Sialannya lagi, teror pascanonton The Midnight Club tak bakal keok hanya dengan merangkul kekasih, menyalakan lampu, mandi besar sebelum tidur. Waduh, mau pakai jurus apa lagi? Jangan-jangan, ini menjadi dasar jawaban Mike Flanagan yang runcing dalam wawancara Netflix bareng Guillermo del Toro (sutradara mini serial apik Cabinet of Curiosities), kira-kira begini soal dan jawabannya:

“Kalau kamu, apa yang paling kamu takuti?” Guillermo del Toro tanya balik.

“Waktu aku masih kanak, aku paling takut kalau lagi sendirian bersama diriku sendiri,” jawab Mike Flanagan dengan wajah polos dan haha hihi-nya.

Siap, sekarang saya takut dengan diri saya sendiri. Episode 2 “The Two Danas” bersimbah tema William Wilson (Edgar Allan Poe) banget. Dana adalah penari balet salihah yang pada suatu hari bosan setengah mampus. Ia berharap bisa hidup normal seperti anak pada umumnya, bikin dosa dan hura-hura. Pakai metode cerita Faustian, anak ini bikin pakta dengan setan lalu muncullah kembarannya, Dana 2. Dana melakoni dua kehidupan: Dana 1 jadi anak penurut, Dana 2 jadi anak durhaka. 

Alur ini tidak tergiur dualisme Dr. Jekyll dan Mr. Hyde, tidak terlena dengan yang-sekadar-biner. Dana 1 dan Dana 2 juga tidak lebur menjadi satu individu yang susah dipisahkan baik-buruknya. Tidak ada yang dikalahkan dalam pertempuran Dana 1 dan Dana 2 sebagaimana novela garapan Stevenson meregang tamat. Seseorang tidak bisa menjalani dua kehidupan sekaligus. Apabila dua kehidupan ini dilakoni, identitas 1 hanya akan melukai identitas 2. Ini bisa sesederhana omelan Ibu saya di suatu pagi yang basah dan berserak laron tewas:

“Kamu ini mau apa? Pilih satu, jangan isuk tempe bengi dele (pagi tempe, malam kedelai, artinya plin-plan).”

“Lho, Buk, kalau sudah jadi tempe ya gak bisa balik kedelai lagi.”

“Ya memang itu maksudnya. Pagi keputusan sudah tanak, malam keputusanmu berubah jadi kedelai lagi!”

Kehidupan tak merelakan dua pilihan, apalagi dua kehidupan untuk dilakoni serentak. Kehidupan tak kasih ampun dengan cara memberi seseorang kesempatan kedua. Kalau dipikir-pikir memang kesempatan kedua tidak pernah ada. Kesempatan kedua itu lebih fiktif dari naga-naga. “The Two Danas” mendobrak ilusi perkara kesempatan kedua juga dalam tafsiran lain yang memungkinkan ‘dua kesempatan’. Ilusi ini kerap diburu manusia putus asa. Anya mendalangi cerita “The Two Danas”, berkaca dari kondisi kakinya yang buntung dan menderita kanker. 

Saya melayangkan surat rujuk demi melanjutkan episode 3 dan seterusnya. Pertobatan ini didasari oleh teror mimpi yang tak berujung. Satu-satunya cara adalah dengan menuntaskan serial. Tentu solusi semacam ini adalah pengobatan serampangan, tapi ini lebih logis daripada memesan garam rukiah betulan di toko daring. 

Kevin menyodorkan cerita bertajuk “The Wicked Heart” di episode 3. Ada tokoh bernama Dusty yang punya hasrat gila untuk membantai cewek-cewek manis tak tercela. Dari semua episode, menurut saya kisah Kevin ini yang paling kurang bumbu. Saya bertahan karena pemeran Kevin, Igby Rigney, ganteng. Berikut kalau mau direntangkan seperti daftar isi; Sandra mengusung “The Last Rites of Dorothy”, Spence membawa judul agak panas, meskipun si cerita tak sepanas judulnya, “Give Me a Kiss”. Amesh agak sangar dengan cerita futuristik “See You Later”. Ilonka menyumbang kisah nyata Julia Jayne, “The Witch”. Lalu Natsuki, karena ia kasmaran, ia hanya spill kisahnya pada Amesh, “Road to Nowhere”.

Dari setengah lusin cerita tersebut, “The Two Danas” dan “Road to Nowhere” cukup mengguncang pertahanan saya yang awalnya ogah menonton The Midnight Club. “Road to Nowhere” mengangkat kisah seorang tokoh perempuan tak bernama. Pada suatu petang yang penuh nestapa, ia menyetir dengan tujuan entah ke mana. Dalam perjalanan ia bertemu pelancong yang meminta tumpangan. Jalanan terus berputar, tak berujung, pom bensin yang sama menjadi tempat tujuan berkali-kali, sampai si perempuan lepas kendali kesabaran. 

Natsuki, sang dalang “Road to Nowhere”, selain sakit parah ia juga dapat bonus tambahan diagnosis depresi tingkat klinis. Ia hanya bisa terbuka pada Amesh, itu pun pada saat-saat tertentu ketika tubuhnya seolah kosong,  tidak bisa merasakan apa pun, berpikir apa pun, apalagi memiliki harapan. Tanpa arah. 

“Road to Nowhere” bagi saya telah merevolusi motivasi yang kerap digaungkan salah satu kanal di televisi setiap pukul enam pagi; anjuran agar paling tidak, orang memiliki harapan supaya tidak hilang arah. Tapi dari kisah yang diusung Natsuki, orang harus menyadari bahwa melakoni hidup yang tanpa harapan, yang terus ribut mendebatkan ini-itu, juga disebut kehidupan. Mengapa hidup ini hanya bisa bermakna hanya karena yang indah-indah saja? Kehidupan tidak bisa disederhanakan dengan membungkam oposisi dari perdebatan biner positif-negatif. 

Bisakah seseorang menuai harapan setelah matinya dipastikan kurang dari tiga bulan? Bisakah seseorang membungkam salah satu dari yang bersitegang ketika batin berdebat? Egoiskah jika Natsuki jatuh cinta lalu mau tak mau meninggalkan kekasihnya? Tidak cukupkah kematian membinasakannya? Dan mengapa kekasihnya harus terluka ketika nanti ia mati?

Kehidupan, kita mesti insaf, sering tidak memberkahi orang-orang tertentu dengan harapan. Maka, mengapa menjalani kehidupan yang tak tertolong ini dengan apa adanya, menjalin persahabatan yang hangat dan sederhana, tidaklah cukup? 

The Midnight Club tidak sesederhana membeberkan kondisi krisis eksistensial, nihil, apalagi menyerah pada absurditas. Serial ini khusyuk menampar takdir yang niscaya. Ilonka, kurang cerdas apa, tiba-tiba percaya dengan klenik. Tapi ini bukanlah ironi sama sekali. Memangnya medis cukup membantu? Tidak. 

Untuk sintas, seseorang sah melakukan apa saja dan mengimani apa pun, sebagaimana Ilonka. Karena, Zeus sebagai Tuhan justru telah memastikan beban Sisyphus akan menggelinding bahkan sebelum mencapai puncak. Zeus juga mengusili Tantalus dengan memastikan makanan dan minuman tak terjangkau olehnya. Menyuruh sekawanan The Midnight Club untuk punya harapan sama saja dengan melawan Zeus yang menentukan takdir. Tidakkah, ini sama saja dengan menyuruh Tantalus untuk menunda lapar dengan makan angin, atau memotivasi Sisyphus dengan menyuruhnya membayangkan beban seperti sebuntal bantal. Bagaimana, answer me, kita menerbitkan harapan Sisyphus dan Tantalus?

Lebih parah dari Sisyphus dan Tantalus yang memang menyalahi aturan Tuhan, anak-anak yang mengidap penyakit kronis ini, apa salah mereka? 

Sandra dan Spense bukan Nakula dan Sadewa yang meskipun berbeda mereka masih satu jalur, Sandra adalah sosok beriman dan Spense membenci Tuhan. Gelegak Spense, kalau biasanya di film-film ia akan banyak kena fitnah dan hujatan sebab membenci Tuhan, saya malah memaklumi perasaan itu. Begitulah adanya. 

“Kematian, akhir-akhir ini, terdengar akrab,” begitu kata Sandra dengan ekspresi iseng.

Pupusnya harapan, perlawanan terhadap realitas yang tidak bisa dimenangkan, mengundang hantu-hantu yang tercipta di alam bawah sadar. Kejutan ala Mike Flanagan tak kenal ampun. Hantu-hantu yang ia ciptakan bukan sosok yang bangkit dari kubur, ruh tersesat, dan semacamnya. Hantu-hantu tersebut tentu tak sehoror hantu-hantu yang diciptakan seseorang itu sendiri, dari apa yang menyesakkan dadanya dan menusuki kepalanya. Kalau Tuhan sedekat nadi, hantu juga bisa sedekat itu. 

Kehidupan ini … ah screw it

Bersama dengan tuntasnya seluruh episode The Midnight Club, mimpi aneh saya tak terulang kembali. Kadang hidup ini hanya perlu dipahami, mungkin perlu akrab juga dengan malaikat maut, sebagaimana omongan Sandra yang asal nyala itu. Bukannya nekat, tapi pascanonton, saya bisa tidur damai dengan lampu mati. Tak lupa salah satu lagu pengiring pilihan Mike Flanagan di The Midnight Club, kini menggeser lagu wajib nasional yang berputar di kepala saya tanpa jeda, Love Potion No. 9:

Terry Jacks:  Seasons in the SunThe Midnight Club

Goodbye my friend, it’s hard to die

When all the birds are singing in the sky

Now that the spring is in the air

Pretty girls are everywhere

Think of me and I’ll be there

We had joy, we had fun

We had seasons in the sun

But the hills that we climbed

Were just seasons out of time

 

Putriyana Asmarani adalah penulis cerpen dan esai.

 

Editor: Ikrar Izzul Haq 

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Park dan Roman Klise

24 September 2025 - 20:31 WIB

Anastomosis Maut dan Cinta

6 September 2025 - 13:00 WIB

Memandang Cinta dari Jauh

3 September 2025 - 16:00 WIB

Banyak dibaca di Kritik Seni