Ketika Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyebut bahwa kekerasaan terhadap perempuan pada Kerusuhan Mei 1998 adalah rumor belaka, saya bayangkan tubuh para korban, perempuan-perempuan, sebagian besar dari etnis Tionghoa, itu dibungkam untuk kedua kalinya—atau bahkan lebih? Pembungkaman yang pertama dilakukan oleh si pelaku dan yang kedua oleh sejarah. Dalam kekejian yang absolut itu, kita tahu, mereka sejatinya tak hanya diperkosa secara fisik, tetapi juga simbolik. Dan pembungkaman simbolik itu, sesungguhnya merupakan kekerasan yang tampil dalam paras sebengis-bengisnya. Kita menyaksikan bahwa yang dibunuh bukan hanya tubuh, tetapi juga kemungkinan tubuh itu untuk menjadi narasi.
Dalam ketidakdisediakannya akses kepada bahasa, tubuh yang terluka menjadi bangkai ingatan yang dibiarkan membusuk dalam halaman-halaman kosong sejarah nasional, sejarah yang resmi, sejarah yang narasinya ditatah oleh tangan para pemenang. Dan mereka tak pernah benar-benar mati, tetapi pada saat yang sama, juga tak pernah diberi ruang untuk benar-benar hidup. Sejenak saya lalu membayangkan: sejarah yang ditulis oleh tangan para pemenang, barangkali adalah sejarah yang dibacakan sebagaimana sebuah maklumat. Ia dibacakan dengan suara lantang oleh mereka yang berkuasa. Ia dituliskan dalam buku-buku pelajaran yang lebih mirip litani kekuasaan.
Sementara itu, mereka yang menderita, mereka yang kalah, mereka yang menjadi korban dari sejarah itu, akhirnya tersuruk ke tepi narasi, terpendam di jurang trauma. Mereka bisu karena tak pernah diberi akses kepada bahasa. Tahun-tahun terus berlalu dan luka yang disangkal itu tak pernah sembuh. Abad-abad telah lewat, tetapi trauma mereka—meminjam ungkapan Goenawan Mohamad—terus tegak menghancur seribu kiamat. Luka itu, hanya berpindah dari wujud satu ke wujud yang lain, yang sama menyedihkannya. Dari darah ke bisu, dari tangis ke kabut. Trauma korban kejahatan kemanusiaan itu, walhasil, menjadi bagian dari apa yang disebut oleh Paul Ricoeur sebagai l’oubli, lupa yang dipaksakan.
Kita hidup di sebuah negara yang agaknya, gemar menulis sejarah dengan garis tebal di sekitar yang berkuasa, dan menghapus halus segala yang tak muat dalam narasi kemenangannya. Narasi resmi, saya kira, selalu menegaskan satu hal yang ajek, bahwa juru kisah selalu menjadi milik mereka yang menang. Kita sendiri barangkali juga cenderung terlalu percaya pada kertas-kertas yang distempel oleh negara itu sendiri. Kita agaknya terlalu yakin pada dokumen-dokumen resmi. Seolah-olah, di dalam dokumen-dokumen berkop, yang diukir dengan paragraf dingin itu, kebenaran duduk dengan tenangnya. Padahal, dokumen-dokumen itu—seperti halnya manusia—pun bisa berdusta. Ia bisa menyembunyikan. Ia bisa membesar-besarkan. Ia bahkan juga bisa memilih untuk lupa. Ironisnya, di zaman yang katanya rasional ini, rupanya kita masih lebih percaya pada tinta negara daripada jerit tangis mereka yang pernah menyaksikan langsung sejarah di ambang tubuhnya. Ini mungkin terjadi sebagai konsekuensi dari beralihnya zaman kelisanan menuju keberaksaraan, sehingga membuat “pengakuan”, “kesaksian”, tidak pernah dinilai sebagai bukti yang cukup mustahak— atau malah tak pernah sama sekali.
Orde Baru, seperti halnya otoritarianisme pada umumnya, menulis sejarah dengan tinta hitam di atas kertas yang juga hitam. Ia menciptakan kebisuan struktural yang di dalamnya, hanya ada dua jenis suara: suara negara dan gema dari suara negara. Maka, yang tak cocok dengan keduanya, dilenyapkan dari arsip, bahkan dari bahasa. Saya—yang bukan sejarawan dan bukan pula orang yang pernah mengenyam pendidikan di jurusan sejarah—tidak tahu persis apakah sejarah bisa dimulai penyusunannya bukan dengan bertumpu pada kronologi yang dirumuskan dari data-dokumen tertulis, tetapi dari kesaksian yang menguar dari suara-suara para korban. Suara itu, saya bayangkan datang dari seorang ibu yang berkata, “Saya tidak ingin balas dendam. Saya hanya ingin anak saya dikenang sebagai manusia.” Suara itu mungkin saja bisa berasal dari seorang perempuan yang berkata, “Saya tidak ingin disucikan. Saya hanya ingin pengalaman saya tidak dibungkam dan ingatan saya diakui.” Atau bahkan, ia jatuh seperti jerit-sunyi seorang yang tak bisa berkata-kata lagi, tetapi tubuhnya—dengan luka yang tak pernah hilang itu—menjadi arsip paling jujur yang kita miliki.
Meski saya tak sepenuhnya tahu, bolehkah penulisan sejarah dilakukan dengan cara semacam itu? Namun, saya meyakini bahwa dokumen tertulis—atau banyak-sedikitnya kesaksian korban—sama sekali bukanlah ukuran dari sebuah kejahatan. Nyawa tidak dapat direduksi ke dalam angka-angka, sehingga kalau toh hanya satu orang yang menjadi korban pemerkosaan dari katakanlah, Kerusuhan Mei 1998, apa pun alasannya, ia tetaplah bernama “kejahatan”. Paul Ricoeur, dalam Memory, History, Forgetting satu kali menyebut bahwa yang terpenting dari sejarah bukan sekadar fakta, tetapi juga refiguration, yakni penafsiran ulang pengalaman melalui narasi. Apa yang disebut sebagai penyembuhan, baginya, bukanlah penghapusan, melainkan rekonsiliasi naratif antara yang pernah terjadi dan bagaimana kita ingin mengingatnya. Dengan demikian, mengingat juga bentuk dari tanggung jawab. Mengingat luka para korban dari kejahatan sejarah itu, singkatnya, merupakan tindakan etis. Maka, ketika negara amnesia—atau berlagak amnesia—tugas mengingat itu pun jatuh ke tampuk pundak kita, siapa pun itu.
Adapun, dalam usaha merefigurasi atau menafsirkan ulang pengalaman trauma korban, yang kita perlukan tidak cukup hanya kesaksian sebagai factus, tetapi juga imajinasi sebagai sensous. “Adalah imajinasi,” tukas Ignas Kleden dalam risalah panjangnya, “yang membawa kita kepada kesadaran bahwa kematian itu bukanlah semata-mata suatu kriminalitas individual yang terlepas, berdiri sendiri, atau bersifat kecelakaan kebetulan, tetapi menjadi gejala dari keadaan dan perkembangan masyarakat Indonesia dewasa ini.” Sejalan dengan itu, Ricoeur pun menegaskan bahwa imajinasi merupakan jalan menuju, alih-alih menjauh dari, kebenaran keberadaan. Maka, mengimajinasikan peristiwa sejarah menyangkut trauma korban kejahatan kemanusiaan tersebut, patut dicatat, sama sekali bukan dalam rangka mengaburkan atau menghapus sederet fakta. Ia memberi kita yang berada di masa kini semacam rekonstruksi figuratif masa lalu. Dan, dalam ikhtiar merekonstruksi figuratif masa lalu kelam para korban itu, seseorang sejarawan atau siapa pun itu, dengan sendirinya tertuntut untuk melibatkan anasir fiksi seperti alur, karakter, sudut pandang, latar, dan lain sebagainya. Sejarah, dalam hal ini, menjadi sejenis “seni”.
Tujuan di balik pembacaan, penafsiran, dan perawian ulang sejarah yang melibatkan imajinasi sebagaimana narasi dalam fiksi sedemikian rupa itu—sebagaimana juga dikatakan oleh Ricoeur—berguna untuk menunjukkan dengan cara yang unik bagaimana imajinasi dimasukkan ke dalam “yang pernah ada”, tanpa lantas melemahkan aspek “realis” di dalam “yang pernah ada”. Dengan begitu, kita tidak saja mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu, tetapi pada saat yang sama, narasi-narasi alternatif itu membuat kita melihat, merasakan, dan menghayati masa lalu seolah kita berada di sana. Kita mengingat ulang utang kita kepada mereka yang telah hidup, menderita, dan pada akhirnya binasa—atau dibinasakan. Melalui narasi, narator menyegarkan ingatan kita bahwa segala kesaksian korban adalah fakta, bahwa kejahatan politik dan ketidakadilan telah ditimpakan kepada orang-orang tidak berdosa selama berabad-abad. Si Penulis Sejarah, pada posisi yang demikian, tidak lagi menjadi sekadar “Sejarawan” yang sekadar melaporkan, karena ia—jika kita pinjam istilah Cathy Caruth—tidak lagi sekadar “menuliskan tentang trauma” korban, tetapi lebih dari itu, ia (turut serta) “di tengah-tengah trauma” korban itu sendiri. “Melihat-Sebagai-Korban”, dengan demikian, menjadi posisi yang tidak hanya mengimplikasikan “Mengatakan-Sebagai-Korban”, tetapi lebih dari itu, sekaligus juga “Menjadi-Sebagai-Korban”.
Dengan jalan penarasian sedemikian rupa itulah, suara luka yang diuraikan ulang ke dalam cara penarasian yang dihidupkan melalui imajinasi, sekaligus menjadi—saya pinjam kembali Cathy Caruth—“alamat suara”, dalam arti: bukan sebagai kisah individu dalam kaitannya dengan peristiwa masa lalunya, tetapi sebagai kisah tentang bagaimana “trauma seseorang” terkait dengan “trauma orang lain”, cara di mana trauma dapat mengarah pada perjumpaan dengan orang lain, melalui kemungkinan dan kejutan mendengarkan luka orang lain. Saya ingin pungkasi tulisan ini dengan mengajak Anda sekalian untuk bersama membayangkan sebuah buku sejarah Indonesia, yang dimulai bukan dengan bertumpu pada factus, tetapi bertolak dari kebisuan. Buku sejarah itu, dibuka, pertama-tama dengan sebuah halaman kosong. Hanya selembar halaman kosong! Tanpa tajuk. Tanpa sepatah kata, atau sebutir pun angka romawi. Tanpa apa pun kecuali hanya kekosongan itu sendiri. Lalu perlahan, satu kalimat di halaman selanjutnya: Yang saya ingat, malam itu, tubuh saya dibuang di segarit parit, tapi suara saya tertinggal, mengambang di udara.
Yohan Fikri adalah penyair dan kritikus sastra.
Editor: Putri Tariza