Menu

Mode Gelap
Kawin Silang Ekonomi Politik Festival Sastra-Sains 2025, Epistemologi Maut dan Cinta Tentang Roh dan Seks Park dan Roman Klise Mencari Surga dalam Peta Perihal Puisi dan Gejala Kematian Sejarah

Kritik Seni

Bagaimana Kita Memandang Foto(grafi)?


					Foto oleh Putri Tariza/Sivitas Kothèka Perbesar

Foto oleh Putri Tariza/Sivitas Kothèka

Saya masih ingat ramai-ramai di media sosial X ketika juara lomba fotografi yang diselenggarakan Kementerian Desa dianggap tidak memuaskan. Tema dari lomba tersebut sudah jelas dalam ketentuan yang telah ditetapkan, yakni aktivitas warga desa. Yang menjadi sorotan, yaitu foto juara pertama. Foto itu menampilkan dua orang pria berpakaian adat lengkap dengan senjatanya. Mereka berada di genangan air dengan pose seolah sedang bertarung. Seorang pria dibidik dalam keadaan melompat dan siap menebas; seorang yang lain mengambil posisi defensif seraya tetap mengacungkan senjata. Mantap dan heboh. Sementara itu, juara kedua dan ketiga lebih serupa hasil dokumentasi aktivitas warga.

Namun, yang tak kalah menarik perhatian warganet dalam komentar mereka, yaitu perkara teknis; bagaimana foto itu diambil dan disunting. Bagi saya, ini yang lebih menarik. Bukan perkara teknis itu sendiri, melainkan bagaimana orang-orang lebih tertarik untuk membicarakan perkara teknis ketika suatu hal—jika bukan masalah—bersinggungan dengan fotografi.

Melihat dari sisi historisnya, terdapat dua babak besar yang membangun diskursus terkait fotografi. Babak pertama adalah fotografi modern, yang sepenuhnya berfokus pada sifat alami fotografi, seperti objek di hadapan lensa, detail yang membentuk cerita, pembingkaian, durasi eksposur, dan pemilihan sudut pandang. Sementara itu, babak selanjutnya adalah fotografi pascamodern, yang memperluas bingkai foto hingga ke ranah politis. Pada babak ini, unsur-unsur estetis dikesampingkan dan konteks kultural foto mendapat perhatian lebih.

Lebih jauh ke belakang, mulanya, fungsi kamera adalah alat dokumentasi. Kamera menjadi alat pembekuan ruang-waktu. Maka, lembar foto adalah patahan peristiwa dalam ruang-waktu, dan hanya di ruang-waktu itu. Namun, foto berfungsi sebagai dokumentasi terbatas pada garis bingkai gambar. Di luar itu, di luar bingkai, itulah yang kita sebut fotografi, obrolan tentang relasi gambar dan kondisi kulturalnya.

Lalu, saya melihat paradoks dalam wacana fotografi di sekitar (media sosial) saya. Idealnya, diskursus perihal apa yang ada dalam bingkai foto ditarik sejauh mungkin yang bisa kita jangkau pada ranah sosial budaya. Namun yang terjadi, justru pembicaraan tentang foto berputar balik pada hal-hal yang ada di dalam bingkai, seperti rekomendasi pose, penempatan objek, atau yang paling sering dijumpai, setelan filter di VSCO atau Lightroom.

Saya jenuh dan merasa harus beranjak pada satu hal “baru”. Bukan berarti saya bersikap anti terhadap hal-hal teknis. Saya bukan seorang fotografer—jika untuk dikatakan fotografer harus memiliki kamera DSLR atau paling tidak mirrorless. Dari itu, saya harus sering mempelajari perkara teknis macam pengaturan komposisi dan penyuntingan dasar supaya hasil bidikan tidak mencederai mata orang banyak, paling tidak mata pengikut di Instagram. 

Yang coba saya ketengahkan adalah fokus diskursus fotografi. Alih-alih hanya berkutat pada perkara teknis yang cenderung terbatas dan ketinggalan zaman, bolehlah kita coba membangun jembatan antara foto dan konteks wacana di sekitarnya.

Pertanyaan yang barangkali muncul adalah, apakah karya foto yang kita jumpai memang tidak sedang membawa wacana kultural apa pun? Atau, justru karena kita “malas” mengulik wacana di balik gambar-gambar itu? 

Baru-baru ini sedang ramai pembicaraan tentang sastra kontekstual. Ini menarik jika kita tarik term “kontekstual” ke ranah fotografi. Apakah setiap foto bersifat kontekstual? Saya pikir iya, mengingat fungsi utamanya sebagai dokumentasi. Paling tidak, foto bersentuhan langsung dengan objeknya; ia adalah penggandaan realitas. Tidak seperti sastra yang bisa saja murni muncul dari imajinasi pengarang—meski pada akhirnya bisa kita hubung-kaitkan dengan konteks di sekitarnya. Ini juga merupakan salah satu pembeda antara fotografi dan sastra. Ia menangkap hal yang nyata, setidaknya di depan lensa. 

Dari fungsi pragmatik saja, bingkai itu bisa kita kembangkan lebih jauh. Apa, siapa, dan sedang apa mereka yang berada dalam foto, menarik untuk dibicarakan. Tentu juga terkait dengan komposisi, warna, serta hal-hal teknis lain yang membangun foto. Alih-alih hanya mengagumi yang gamblang dari tampilan foto, kita bisa mulai mencermati yang subtil dan menyusun makna di balik sebuah foto. Ditambah dengan fakta foto-foto yang muncul di sekitar kita seringkali bertakarir, yang barangkali menjadi semacam bahan bakar pemaknaan. Atau kita dapat mengambil cakupan lebih luas. Katakanlah, wacana apa yang sedang Kementerian Desa bangun dengan menyelenggarakan lomba fotografi? Turisme atau eksploitasi?

Itulah yang saya bayangkan sebagai tawaran dari sudut pandang pembaca foto. Dari perspektif pembidik foto, saya tak bisa bicara banyak, sebab sekali lagi, saya bukanlah seorang fotografer. Saya hanya bisa memberi contoh karya seperti apa yang memancing diskursus yang menembus batas bingkai foto: Blind Spot karya Teju Cole. Foto-foto dalam buku itu tampak bersahaja, apa adanya, dan karib. Selain jauh dari kata menor, masing-masing foto hadir dengan “takarir” yang tak mesti berhubungan secara langsung dengan hasil bidikan kamera. Antara foto dan teks kadang merentang jarak yang cukup jauh, dari risalah sejarah, kondisi sosial politik, hingga mitos kultural. Dan tugas pembaca adalah untuk menempuh perjalanan itu. 

Sekali lagi, saya hanya jenuh, tapi siapalah saya jika harus menggoncang skena fotografi di gelanggang media sosial?

 

Ikrar Izzul Haq adalah pembaca sastra.

 

Editor: Putri Tariza

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Park dan Roman Klise

24 September 2025 - 20:31 WIB

Anastomosis Maut dan Cinta

6 September 2025 - 13:00 WIB

Memandang Cinta dari Jauh

3 September 2025 - 16:00 WIB

Banyak dibaca di Kritik Seni