“Tak ada satu pun pengetahuan yang tidak menggambarkan relasi kekuasaan.”
Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison
Sejak kemunculannya, Balai Pustaka dikenal sebagai perintis kesusastraan Indonesia dan menjadi media bagi penulis lokal agar karya-karyanya dapat diterbitkan dan menjangkau banyak pembaca. Fenomena Balai Pustaka dianggap memiliki dampak signifikan terhadap dinamika kesusastraan di Indonesia, termasuk di dalamnya kajian-kajian eksploratif karya-karya sastra Indonesia. Namun, di sisi lain, pandangan ini juga mengalihkan urgensi dan kedudukan Balai Pustaka sebagai lembaga kolonial yang berhadapan langsung dengan masyarakat pribumi kita.
Babad Songennep adalah salah satu karya sastra berbahasa daerah yang pernah diterbitkan Balai Pustaka zaman kolonial Belanda. Babad merupakan karya penulisan sejarah (historiografi) tradisional yang mulai muncul pada abad XVI-XX, yang fokus pada pelbagai cerita sejarah dari berbagai masyarakat tradisional setelah tahun 1500-an. Menurut Teeuw (1984: 342-343), babad merupakan teks-teks historis dan genealogis yang mengandung unsur-unsur kesusastraan dengan metode dan pendekatan yang sesuai dengan sifat utamanya.
Babad Songennep dikarang oleh R. Werdisastra dan diterbitkan Balai Pustaka pada Februari 1914 dengan menggunakan aksara Jawa berbahasa Madura. Buku ini ditransliterasikan ke tulisan latin oleh R. Muh. Wadji Susastranegara pada 1971. Buku ini berkisah tentang raja-raja Sumenep dari zaman Pangeran Mandaraga (abad ke-13) sampai masa Pangeran Ario Mangkudiningrat. Di satu sisi kita bisa melihat Babad Songennep sebagai karya sastra yang menarasikan unsur-unsur sejarah dan genealogi raja Sumenep. Ia adalah karya sastra yang melibatkan historisitas di dalam mode naratifnya.
Sebagai teks yang ditulis oleh seorang pribumi Madura (Sumenep), Babad Songennep juga dijadikan salah satu referensi standardisasi bahasa sekaligus sastra Madura. Manuskrip Babad Songennep saat ini dimiliki oleh segelintir kolektor serta mungkin orang-orang tertentu dan sangat terbatas. Pemerintah Kabupaten Sumenep juga pernah menerbitkan Babad Songennep versi alih aksara dan hanya diperuntukkan bagi kalangan keluarga.
Jika dicermati dari corak produksi dan distribusi penerbitannya, manuskrip Babad Songennep lebih memiliki fungsi sosial politik daripada sejarah, sebab kemunculan Babad Songennep di tengah masyarakat Madura—pada waktu itu masyarakat Kadipaten Songennep—tidak terlepas dari peran Belanda sebagai pemegang sistem yang berupaya mengedukasi atau mengobjekkan “Timur” berdasarkan paham mereka.
Babad Songenep dan Corak Produksi Kolonial
Pemerintah kolonial pernah mendirikan Commissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur (Komisi Bacaan Rakyat) pada 14 September 1908. Salah satu gejala unik dari para pemegang jabatan organisasi ini adalah sikap mereka yang relatif lunak terhadap rakyat Hindia. Umumnya, tokoh yang menduduki jabatan ini memiliki pendidikan tinggi dalam bidang sastra atau kebudayaan Timur, salah satunya yakni G.A.J Hazeu, ketuanya. Hazeu adalah seorang doktor dalam bidang bahasa dan sastra Nusantara dari Universitas Leiden.
Anggota Komisi Bacaan Rakyat berperan dalam memilih atau mengurasi bahan-bahan bacaan yang sesuai untuk rakyat Hindia dan bertugas memberi pertimbangan kepada Direktur Pendidikan. Dalam hubungannya dengan Babad Songennep, kita bisa melihat legitimasi ini pada sampul depan manuskrip Babad Songennep, di mana di situ tertulis secara gamblang, Uitgave Van de Commissie Voor de Volkslectuur, kalowaran Balai Poestaka, yang artinya “Publikasi Komisi Sastra Rakyat, terbitan Balai Pustaka”.
Balai Pustaka memang menerbitkan naskah-naskah dari berbagai bahasa daerah. Tema yang paling sering muncul adalah karya-karya seperti cerita Panji, hikayat dan cerita lainnya. Sayangnya, itu semua harus ditulis sejajar dengan kepentingan dan di bawah pendisiplinan pihak Belanda. Dalam Ikhtisar Kesusastraan Indonesia Modern, Pamusuk Eneste (1988:6) menyebut bahwa ada tiga lini produk Balai Pustaka, yakni buku untuk anak-anak, buku hiburan dan referensi dalam bahasa daerah, serta buku hiburan dan referensi dalam bahasa Melayu. Bacaan tentang politik dan dunia internasional tentu tidak termasuk kategori bacaan baik menurut Balai Pustaka.
Babad Songennep sebagai referensi berbahasa daerah tentulah tidak lepas dari kepentingan politik kolonial dalam membentuk citra Timur masyarakat Sumenep (Madura). Hal ini dapat kita lihat dari relasi tokoh-tokoh raja dan pemerintah Belanda di dalam cerita. Karena keberadaan Balai Pustaka berhubungan langsung dengan kolonialisme, maka saya kira perlu meletakkan Balai Pustaka dalam konteks relasi penguasa kolonial dengan tanah jajahannya.
Dalam hubungannya dengan kolonialisme, Balai Pustaka jelas memiliki jangkauan yang lebih luas terhadap berbagai aspek, khususnya kekuasaan dan pendisiplinan terhadap Timur, dalam hal ini Indonesia sebagai wilayah jajahan Belanda. Adanya kredo bahwa karya sastra milik bersama—yang mencerminkan kedekatan antara karya sastra dengan masyarakat—semakin menegaskan identitas masyarakat Sumenep sebagai masyarakat yang romantis, namun primitif, sehingga membutuhkan pencerahan dari kaum Belanda.
Said dalam Orientalisme-nya menunjukkan bagaimana cara pandang Barat terhadap Timur disusun secara sistematis lalu berkembang secara masif melalui lembaga-lembaga pendidikan di Eropa. Usaha pemahaman ini sama sekali bukan hanya karena minat atau keingintahuan (curiosity) bangsa Barat terhadap dunia Timur, tapi juga berkaitan erat dengan penguasaan mereka di wilayah jajahan. Orientalisme berkembang pesat terutama di Prancis dan Inggris, serta beberapa negara Eropa Atlantik lainnya.
Sebagai produk yang khas, teks bukan sekadar hasil kreativitas seorang pengarang atau sastrawan. Keadaan atau kondisi “di luar” teks, seperti penulisan, penyuntingan, penyebaran, dan seterusnya sangat berpengaruh dalam membentuk citra teks secara utuh. Tentu, semua kondisi tersebut harus dipahami sebagai sesuatu yang terbentuk secara historis. Teks harus ditempatkan ke dalam konteks di mana semua elemen yang turut membentuknya—mulai dari kondisi umum masyarakat sampai ke corak produksinya yang sangat khusus—berarti layak diperhitungkan.
Madura (Timur) yang Mistis, Belanda (Barat) yang Logis
Babad Songennep sebagai karya sastra yang dipublikasikan ke masyarakat melalui akses produksi atau penerbitan bercorak kolonial sudah pasti pernah melalui proses kurasi dan penyuntingan terhadap keseluruhan teks yang ditulis pengarangnya. Proses kurasi yang disiplin ini jelas memiliki pengaruh pada orisinalitas atau keotentikan pengarang dalam menuliskan Babad Songennep.
Apa yang dinarasikan dalam teks Babad Songennep sejak zaman kerajaan hingga masa kolonial dapat dilihat sebagai sesuatu yang problematis, sebab terdapat perbedaan vokalisasi antara jaman kerajaan (prakolonial) dan kedatangan Belanda (kolonial) itu sendiri. Terminologi antara negara penjajah (colonizer) dan yang dijajah (the colonized) dapat dilihat dari bagaimana Barat dicitrakan sebagai yang intelektual dan logis, sementara Timur adalah pihak yang lemah, penuh mitos, dan irasional. Di Babad Songennep, kita bisa melihat bagaimana inferioritas itu dicitrakan lewat tokoh Pa’na Lèsap (Ke’Lèsap), tokoh Madura yang merupakan keturunan Pangeran Cakraningrat III (1707-1718):
Pa’ na Lèsap laju moja polè. Sakâjjhâ’ pas dâteng manossa apolowan èbu, robâna ana-bârna. Orèng sè dâteng bhuru padâ bhângsa ejjhin kabbhi.
Pangèran Cakraningrat dhuli ngebâ’aghi Sè Nanggala bân Sè Talagura. Ta’ abit oreng sè apoloan èbu bhuru èlang kakabbhi.
Dâri sabâb jâreya Pa’na Lèsap lajhu ngamok kalabân kodi’na; kodi’na pas èocol, kongse bhala Bhangkalan bânnya’ matè, lantaran obat beddhilla tadâ’. Anangèng Pangeran Cakranèngrat ta’ nginjek. Ta’ abit kodi’na nyandher ka Pangèran Cakraningrat. Kodi’ dhuli è–èba’ bi’ Sè Nanggala, kodi’ bhuru ghâgghâr ka tana, kongsè potong pas gâncang ètolong ban mantrè, èatoraghi ka Pangèran Cakraningrat, sârta bhâla Bhangkalan pada mamaju, ngolok ka tengnga, sambi asorak so-kosowan, kongsè bhâlâna Pa’na Lèsap karè sakone’. (Halaman 113)
Narasi di atas menceritakan bahwa para jin yang dipanggil oleh Pa’na Lèsap datang dengan menyerupai manusia untuk membantunya menumpas bala tentara Pangeran Cakraningrat. Datangnya makhluk gaib tersebut ke dunia nyata, tepatnya dalam sebuah peperangan merupakan sebuah pertemuan antara “yang magis” dan “yang riil”. Terlebih saat terjadi peperangan antara pasukan demit Pa’na Lèsap dan pasukan Pangeran Cakraningrat. Bangsa lelembut yang magis ini menampakkan tubuhnya di dunia dan berinteraksi dengan manusia. Peristiwa semacam ini juga banyak kita jumpai dalam cerita-cerita rakyat di Indonesia, seperti Jaka Tarub, Sangkuriang, Putri Sekar Arum, dan lain-lain.
Kita bisa melihat bahwa jin-jin yang turun ke bumi atas titah Pa’na Lèsap akhirnya musnah terkena tombak Sè Nanggala dan Sè Talagura milik Pangeran Cakraningrat. Tanpa bantuan para jin, pasukan Pa’na Lèsap menjadi lemah dan tidak berdaya. Pa’na Lèsap sebagai representasi pemberontak harus kalah dari Pangeran Cakraningrat yang memiliki kuasa dan kedudukan tinggi di kerajaan. Diceritakan juga bahwa Pa’na Lèsap muda memiliki kebiasaan bertapa di gunung-gunung dan di kuburan-kuburan keramat. Mistisisme dipakai sebagai mode naratif untuk menjelaskan bahwa “Timur” dalam konteks ini adalah orang-orang eksotik yang mendewakan mistik dan metafisik.
Selain itu, diceritakan juga bahwa Pa’na Lèsap pernah mengeluarkan keris ampuhnya, sehingga peluru-peluru meriam kompeni tidak bisa meletus. Pa’na Lèsap lalu mengambil kesempatan untuk menyerang para kompeni itu. Walaupun pada akhirnya, dengan kasaktiannya, ia dan seluruh bala tentara gaibnya tetap kalah melawan pasukan kompeni.
Anangèng saellana è èba’ bi’ Se Nanggala, pas serdang. Bhâlana Pa’na Lèsap sè pa’ polo nyandher pas ngamok ka Kompanne, kongsè Kompanne bânnya’ matè. Tapè dâri kakowaddhânna Kompanne, ta’ abit bhala sè pa’ polo nyorot, pas ètampanè bi’ kapetteng, kongsè bânnya’ matè, sakarèna buru ka Pa’na Lèsap.
Narasi di atas tidak sekadar menguatkan identitas Madura sebagai “yang inferior”. Lebih jauh lagi, kehadiran tokoh Pa’na Lesap juga mengonstruk sifat-sifat “Timur” itu sendiri sebagai identitas yang agresif dan bermental pemberontak, sehingga ia tidak pandang bulu dalam menyerang dan mencari lawannya. Pa’na Lesap diceritakan memiliki sebuah golok bernama Kodhi’ Crancang yang dapat diperintah untuk mengamuk dengan sendirinya tanpa disentuh. Lebih dari itu, Pa’na Lèsap sebagai tokoh yang kontroversial dalam cerita rakyat Madura, selain sebagai dukun/mantri yang sakti dalam menyembuhkan berbagai penyakit, juga dikenal sebagai pemberontak yang tidak tahu terima kasih. Sebab, Meskipun sudah mendapat penghormatan dari Pangeran Cakraningrat IV, ia masih tidak puas dan tetap berambisi menguasai pemerintahan di seluruh Madura.
Di samping narasi-narasi mistis tersebut, Babad Songennep juga menceritakan kehadiran Belanda sebagai identitas yang lebih realistis dan progresif. Progresif dalam hal ini berarti mampu mengelola sistem dengan baik melalui pemetaan wilayah secara administratif, melakukan berbagai macam pembangunan yang signifikan dan tercatat sebagai jejak yang faktual di masyarakat Madura, serta menunjukkan historisitas yang lebih netral dan cenderung monoton secara naratif.
Towan Rèsidèn: “Rassa bula dhika korang parlo mèjara trè-mantrè bân pongghâbâ talèbât bânnja’. Bâli’ andâddhiaghi karogiân ka dhika. Sabâb dhika sanonto pangkaddhâ ghi’ Pangèran, mangka mèjara mantrè talèbat bânnja’. Maddhâna, mon dhâddhi kasokanna dhika, tjettot bhâi, dhika ngala’ saparlona. Ghu’-lagghu’ mon dhika pon djenneng Panemba’an, sae nampai pole. Mèla bulâ mator mara nèko ka dhika, sabâb bulâ asobhât bân dhika, sârta bulâ ta’ kellar sè malessa ka kabettjè’anna dhika, kadja bulâ mateppa’aghi atoranna naghârana dhika. Pangèran Pakunataningrat atoro’ ka dhâbuna towan Rèsidèn. Molana trè-mantrè bân pongghâbâna bânnja’ èambuâghi, sârta dhisana otaba sabâna padâ ètjabut. (Halaman 132)
Kutipan di atas menceritakan bahwa kedatangan Tuan Krenor ke kediaman Pangeran Pakunataningrat II adalah bentuk silaturahmi sekaligus upaya untuk membantu Pangeran Pakunataningrat II mengatur regulasi wilayah kekuasaannya, yaitu Sumenep. Dalam kutipan tersebut, Tuan Krenor menasihati Pangeran Pakunataningrat II supaya memberhentikan sebagian menteri dan pegawainya karena dinilai terlalu banyak untuk seorang Panembahan.
Nasihat Tuan Krenor dalam kutipan di atas bisa dianggap sebagai bentuk solidaritas antarkolega, dan itu menandakan relasi yang baik antara pemerintahan Belanda dengan bangsawan kerajaan Sumenep. Terbukti, nasihat tersebut disetujui dan diterapkan langsung oleh Pangeran Pakunataningrat II, yang sebelumnya bernama Pangeran Ario Mangkudiningrat dan merupakan pengganti dari Panembahan Natakusuma II dalam sejarah pemerintahan Sumenep. Ia mendapat pangkat Kolonel Titaler, namun menjabat Dinas Korps Komandan Barisan dan mendapat bintang jasa Willems Orde dari pemerintah kolonial Belanda.
Pembacaan terhadap Manuskrip Babad Songennep memberi kita suatu gambaran tentang dikotomi Timur dan Barat yang tidak pernah setara. Oposisi biner yang dikenalkan oleh Edward W. Said antara Barat dan Timur menunjukkan satu sifat negatif, yakni ada yang lebih unggul (superior) dan lebih rendah (inferior). Atas dasar inilah, Said mengatakan, bahwa kaum orientalis telah mengonstruksi dan menghegemoni Timur. Mereka melanggengkan hegemoninya lewat distribusi teks-teks sastra yang lahir dari rahim penerbit kolonial. Kita merasakan dampaknya—bahkan mengamininya sebagai bagian penting dalam kanonisasi dan perkembangan kesusastraan Indonesia, baik dalam skala regional maupun nasional—hingga sekarang.
Senarai Pustaka
Eneste, Pamusuk. 1988. Ikhtisar Kesusastraan Indonesia Modern: Untuk SMA dan SMTA yang Sederajat. Jakarta: Djambatan.
Said, Edward W. 2010. Orientalisme: Menggugat Hegemoni Barat dan Mendudukkan Timur sebagai Subjek. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sastranegara, Muh Wadji. 1971. Babad Songennep Karangan Radin Werdisastro, Basa Madura Tolesan Laten. Khusus untuk Famili.
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.
Werdisastra, R. 1914. Babad Songennep. Jakarta: Balai Pustaka.
Tulisan ini merupakan pemenang I Lomba Esai Bulan Bahasa Universitas Gadjah Mada.
Ajun Nimbara adalah alumnus magister sastra Universitas Gadjah Mada kelahiran Sumenep. Saat ini mengajar sastra Indonesia di Universitas Negeri Malang.
Editor: Asief Abdi