Menu

Mode Gelap
Kawin Silang Ekonomi Politik Festival Sastra-Sains 2025, Epistemologi Maut dan Cinta Tentang Roh dan Seks Park dan Roman Klise Mencari Surga dalam Peta Perihal Puisi dan Gejala Kematian Sejarah

Esai Budaya

Ayat-Ayat Queer


					Foto oleh Asief Abdi/Sivitas Kothèka Perbesar

Foto oleh Asief Abdi/Sivitas Kothèka

Meski wacana homoseksualitas telah berkembang di berbagai belahan dunia, perkara tersebut masih dipahami secara terbatas di Indonesia. Masyarakat cenderung punya pandangan benar-salah, halal-haram, kafir-nonkafir, dan alkitabiah-nonalkitabiah saat berhadapan dengan isu-isu macam itu. Akibatnya, diskriminasi menghantui kaum lesbian, gay, biseksual, transeksual, dan queer (LGBTQ). 

Homoseksualitas merupakan perkara kompleks. Terlebih saat dibenturkan dengan agama. Kisah Sodom pada Kejadian 19:1—29, misalnya, acap digunakan golongan agamis-konservatif untuk melegitimasi laku homoseksual sebagai “tindakan fasik” yang mengundang azab Langit. 

Tak heran, orang homo kerap dipandang aneh, menyimpang, dan sakit. Padahal, jika kita berani menelaah dan merenungkan kembali dengan nalar spiritualisme kritis, banyak teks-teks Alkitab (saya membatasinya pada tinjauan menurut pemahaman Kristen) yang bisa dianggap sebagai ayat-ayat pro-LGBTQ. 

 

Cinta Daud dan Yonatan

Kisah Daud dan Yonatan yang tertulis dalam kitab 1 Samuel 18:1—3 kerap digambarkan kalangan hetero-normatif sebagai pertemanan biasa. Akan tetapi, haramkah bila kita menafsir bahwa relasi keduanya lebih dari itu? 

Kitab 1 Samuel 20 menyingkap signifikasi perjanjian Daud dan Yonatan ketika mereka bersumpah setia satu sama lain. Bahkan, ketika ayah Yonatan, Saul, berniat mencelakakan Daud, Yonatan bersumpah bakal melindungi Daud dengan segenap jiwa-raga. Demikian pula sebaliknya, perhatian Daud terhadap Yonatan melebihi perhatiannya akan istri-istrinya (2 Samuel 1:26b, 1 Samuel 20:17). 

Tak cukup di situ, dalam 2 Samuel 1, Daud meratapi kematian Yonatan dan Saul saat keduanya berperang melawan Bangsa Filistin. Ratapan tersebut menjadi titik tolak saya untuk membuka kemungkinan homoseksualitas yang terletak pada ayat 26b: “Merasa susah aku karena engkau, saudaraku Yonatan, engkau sangat ramah kepadaku, bagiku cintamu lebih ajaib daripada cinta perempuan.”

Kacamata heteroseksual menganggap perkataan tersebut hanya kebiasaan hiperbola dan konteksnya adalah kidung ratapan Daud. Orang yang berduka cenderung melebih-lebihkan. Namun, bukankah tak menutup kemungkinan kalau seseorang yang dirundung lara bakal bicara apa adanya tentang orang terkasih yang telah pergi? Lebih-lebih, usai menggantikan takhta Saul, Daud rela merawat anak Yonatan, yakni Mefibozet yang cacat dalam istananya (2 Samuel 1:19—27). Padahal, dalam konteks Israel kala itu, kecacatan adalah aib (Imamat 21:1—24). 

 

Kaum Sodom Bukan Pemburit

Rujukan lain di luar kitab Kejadian 19 rupanya menandai bahwa “dosa besar” yang dilakukan warga Sodom dan Gomorah tidaklah terletak pada laku homoseks penduduknya, tapi pada ketidakadilan atau penindasan warga kota terhadap para tamu Lot yang notabene adalah dua malaikat Allah (ayat 1).

Dikisahkan, penduduk Sodom (dalam Alkitab tidak ditulis bahwa mereka homo) berniat melakukan gang rape terhadap para tamu Lot. Menjelang tidur, seluruh laki-laki Sodom mengepung rumah Lot dan menuntutnya untuk menyerahkan dua tamunya untuk “dipakai” (Kejadian 19:5).

Kali pertama membaca bagian tersebut, saya juga heran mengapa dalam menanggapi tuntutan penduduk kota, Lot malah menawarkan dua putrinya yang masih perawan (ayat 8)? Rupanya, kalau merujuk pada konteks Israel masa itu, status perempuan dianggap seperti barang (King dan Stager, 2001). 

Dengan nalar masa kini, tentu tawaran Lot jauh dari kata patut. Namun, jika mengacu pada norma keramahtamahan masyarakat Israel kuno, seorang tamu harus dilindungi dari ancaman walau mesti “mengorbankan” anak-anak perempuan sang tuan rumah. Maka, lewat pilihan yang diberikan Lot, menjadi jelas bahwa penduduk Sodom bukanlah orang-orang homo, atau katakanlah tidak semuanya begitu, meski mereka berniat melakukan tindak homoseks.

Lalu, jika bukan sodomi atau laku “menyimpang” (baca: homoseksual) seperti yang dituduhkan selama ini, lantas apa dosa kaum Sodom? Kalau sebatas membaca kitab Kejadian 19, tentu kita cuma tahu bahwa dosa orang Sodom ialah gang rape, “memakai” kedua malaikat Tuhan beramai-ramai. Akan tetapi, bila mengecek teks-teks lain dalam Perjanjian Lama, barangkali kita akan menemukan jawabannya.

Dalam Yehezkiel 16:46-56, melalui konteks Yerusalem yang digambarkan seperti perempuan sundal, kita bisa tahu dosa macam apa yang diperbuat kaum Sodom. Fragmen tersebut menceritakan bahwa Yerusalem mempunyai kakak, yang tertua adalah Samaria, sedangkan yang termuda adalah Sodom (ayat 46). “Lihat, inilah kesalahan Sodom, kakakmu yang termuda itu: kecongkakan, makanan yang berlimpah-limpah dan kesenangan hidup ada padanya dan pada anak-anaknya perempuan, tetapi ia tidak menolong orang yang sengsara dan miskin” (Yehezkiel 16:49—50). Dosa penduduk Sodom dalam ayat tersebut bukanlah perbuatan homoseks seperti yang kerap dituduhkan, melainkan absennya rasa solidaritas kepada mereka yang berkekurangan. 

Maka, perikop Kejadian 19:1—29 (Sodom dan Gomora dimusnahkan, Lot diselamatkan) yang seakan menjadi metafor untuk mengganjar para pemburit, dapat kita reinterpretasikan secara bertanggung jawab sebagai sanksi terhadap mereka yang zalim.

 

Alternatif yang Menjadi Janggal

Agama Abrahamik sepakat bahwa Daud merupakan orang suci. Sebagai insan pilihan Tuhan, ia kudus. Oleh karena itu, baik Islam, Kristen, maupun Yahudi bakal sulit percaya bahwa sang nabi mungkin saja “jatuh ke dalam dosa” homoseksual.

John Boswell dalam Christianity, Social Tolerance, and Homosexuality (1980) menyampaikan bahwa tindakan homo yang dilakukan manusia pada zaman itu (sebelum abad Pertengahan) dipandang sebagai alternatif hubungan romantis tanpa meninggalkan relasi prokreatif dengan lawan jenis. Kita tahu, Daud yang hidup di era ketauhidan Israel (1040—970 SM), menurut Alkitab, punya delapan istri (sebagai raja, Daud disinyalir memiliki lebih banyak istri serta gundik yang tak tertulis dalam Alkitab), yakni: Ahinoam, Abigail, Maakha, Hagit, Abital, Egla, Mikhal, dan Batsyeba. 

Daud tentu bukan penganut Kristen atau Islam, sebab ia hidup sebelum era Yesus (4—30 SM) atau Muhammad (570—532 SM). Dalam tulisan ini, saya bukan sedang membahas agama sang nabi, melainkan perihal konteks bahwa terdapat orientasi di luar heteroseksual yang dipraktikkan sosok yang selama ini kita anggap suci.

Alkitab, sebagaimana teks sastra, jelas tak mencatat secara eksplisit perkara relasi seksual antara Daud dan Yonatan. Kendati begitu, kitab tersebut menyebut adanya cinta yang begitu kuat antara keduanya. Yonatan sangat tertarik dan mengasihi Daud seperti dirinya sendiri (1 Samuel 18:3). Dikisahkan pula bahwa Yonatan rela menanggalkan jubah yang ia kenakan, berikut zirah dan pedangnya demi diserahkan kepada Daud (ayat 4).

Acuan lain untuk melihat wujud “kasih” antara dua tokoh Alkitab tersebut tampak di kitab 1 Samuel 20:30—34. Ayat tersebut mengisahkan luapan amarah Saul kepada Yonatan, sebab ia selalu menyelamatkan Daud dari upaya pembunuhan oleh Saul. Saul menyebut putranya sebagai “anak sundal” yang telah menodai diri sendiri dan rahim ibunya lantaran lebih memihak Daud. Ketika Saul tak segan melempar tombak ke arahnya, Yonatan masih teguh mencintai Daud dengan segenap jiwa-raga. Lebih lanjut, dalam 1 Samuel 20:40, keduanya dikisahkan berciuman dan bertangis-tangisan.

Di tengah santernya debat perkara romansa Daud-Yonatan, dan meski banyak karya-karya queer yang dibuat berdasarkan pernyataan Daud terhadap Yonatan, sejauh pembacaan saya, para penulis condong memilih untuk tidak mengonfirmasi soal seksualitas Daud. Namun, ada artikel menarik berjudul “David and Jonathan: Same-sex Love between Men in the Bible” yang ditulis Kittredge Cherry. Dalam tulisan singkatnya, Cherry mengulas karya billboard seniman kontemporer LGBTQ Kristen yang disponsori Metropolitan Community Churches. Dengan gambar Yesus dibuat sedemikian besar, sang seniman menambahkan papan iklan raksasa bertuliskan, “Would Jesus Discriminate when David Loved Jonathan More than Woman?”

 

Israel di Masa Raja Daud

Wacana homoseksualitas sejatinya telah muncul—tanpa disadari—sejak lama dan dimaknai sebagaimana kini (Boswell, 1980). Bagi Boswell, tindakan penetrasi terhadap anak laki-laki merupakan simbol kuasa pria dewasa terhadap anggota masyarakat dengan kelas sosial yang lebih rendah, seperti perempuan dan orang asing. Banyak naskah agama kuno yang merekam sikap penundukan melalui hubungan seksual sesama jenis. 

Alkitab menjelaskan bahwa sebelum masuk istana, Daud “hanyalah” seorang anak gembala. Daud merupakan anak bungsu dari delapan putra Isai yang dimasukkan Saul ke dalam istananya lantaran keahliannya memetik kecapi. (1 Samuel 16:21). Bukankah wajar ketika pertama kali melihat Daud, baik Saul maupun Yonatan sama-sama ingin “menundukkan” Daud? 

Wacana homoseksualitas lantas menjadi tabu (bahkan terlarang) ketika memasuki abad Pertengahan. Kala itu, hubungan sesama jenis mendapatkan tantangan politis dan sosial. Sejak sekitar abad ke-3, pelacur pria secara resmi dilarang oleh Kekasisaran Romawi Barat. Seabad berikutnya, Kaisar Justinian mengategorikan segala jenis hubungan homoseks sebagai zina yang bisa diganjar hukuman mati (Spencer, 2011). 

Berselang dua abad, ketika stoikisme bangkit, pandangan terhadap homoseksualitas mulai bergeser secara radikal. Dalam pandangan Kekaisaran Roma kala itu, ada perubahan anggapan bahwa nilai “kejantanan” bukan lagi terletak pada cara mengumbar kesenangan (termasuk seks), melainkan terlihat dalam teknik pengekangan diri. 

Pria yang bermartabat dan dipandang “ningrat” adalah mereka yang mampu menekan libido serta setia pada konsep pernikahan dan keluarga (Spencer, 2011). Waktu itu, seks sesama jenis dianggap sebagai dosa yang harus dihindari agar tak mengundang bencana dan kemarahan Langit. Para lelaki yang terlibat dan terbukti homo bisa dikebiri di depan publik.

Hingga pengujung zaman Pertengahan, label zina tetap melekat pada homoseksualitas. Berbagai naskah dari abad ke-8 menunjukkan tindakan tersebut sebagai dosa tanpa mempertimbangkan pengalaman serta kompleksitas manusia. Akibatnya, norma agama menjadi satu-satunya ukuran yang dipertimbangkan dan nilai kemanusiaan dikesampingkan. Eksklusi dan eksekusi pada masa itu memicu rasa takut luar biasa bagi para kaum homo yang bermuara pada nalar homophobic.

Dahulu, saya termasuk orang yang memegang aras bahwa agama adalah segalanya. Ia mesti berada di atas ilmu pengetahuan. Saya dengan mudah menghujat segala perbuatan menyimpang sebagai tidak alkitabiah sekaligus mati-matian mengutuk diri ketika akhirnya sadar bahwa saya juga “menyimpang”. Kini, setelah memperdalam pengetahuan soal agama, khususnya selama belajar kajian gender dan menganyamnya bersama ilmu pengetahuan, saya memahami kalau agama dan ilmu pengetahuan merupakan dua unsur dunia yang mestinya berdialog di posisi setara. 

Zaman pramodern telah membuktikan betapa konyol manusia tatkala penemuan-penemuan di bidang sains tidak boleh berlawanan dengan ketentuan-ketentuan agama (misal, Bumi itu bulat, atau matahari sebagai pusat tata surya). Dengan kata lain, jika ada temuan yang dianggap menentang, otoritas religius tak segan memberangus gagasan tersebut dan mengeksekusi sang pemikir.

Bicara soal homoseksualitas, saat ini preferensi tersebut memang tidak lagi dianggap penyakit atau kelainan jiwa, tapi sebagai pertimbangan seberapa jauh faktor nature dan nurture berperan dalam memengaruhi orientasi seksual seseorang. Daud, seorang yang diurapi, nyatanya bukan sosok yang serbasempurna. Bagaimanapun,  ia lahir pada zaman kuno yang memandang cinta sesama jenis bukanlah aib, melainkan wujud alternatif hubungan romantis.

Homoseksual, sebagaimana heteroseksual, merupakan satu dari sekian banyak ekspresi dan orientasi seksual manusia. Jadi, ketika kita mengimani Daud sebagai orang urapan Tuhan, kenapa kita enggan mengamini orientasi seksual sang nabi sebagai sebuah bentuk keragaman dan kewajaran?

 

Senarai Pustaka

Alkitab Terjemahan Baru. (1974). Lembaga Alkitab Indonesia: Jakarta

Boswell, John. (1980). Christianity, Social Tolerance, and Homosexuality: Day People in Western Europe form the Beginning of the Christian Era to the Fourteenth Century. University of Chicago Press.

Cherry, Kittredge. (2020). David and Jonathan: Same-sex Love Between Men in the Bible. (Akses melalui: https://qspirit.net/david-jonathan-same-sex-love/ )

Spencer, Colin. (2011). Sejarah Homoseksualitas: dari Zaman Kuno hingga Sekarang. Cetakan Kedua. Kreasi Wacana: Bantul.

 

Stebby Julionatan adalah penulis, pengajar, dan bergiat di Alinea.

 

Editor: Asief Abdi

 

 

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Kawin Silang Ekonomi Politik

4 Oktober 2025 - 13:00 WIB

Tentang Roh dan Seks

27 September 2025 - 11:52 WIB

Foto oleh Asief Abdi/Sivitas Kothèka

Mencari Surga dalam Peta

20 September 2025 - 13:00 WIB

Foto oleh Asief Abdi/Sivitas Kothèka
Banyak dibaca di Esai Budaya