Menu

Mode Gelap
Festival Sastra-Sains 2025, Epistemologi Maut dan Cinta Tentang Roh dan Seks Park dan Roman Klise Mencari Surga dalam Peta Perihal Puisi dan Gejala Kematian Sejarah One Piece, Nika, dan Genderang Pembebasan

Esai Budaya

Awas!


					Foto oleh Ikrar Izzul Haq/Sivitas Kothèka Perbesar

Foto oleh Ikrar Izzul Haq/Sivitas Kothèka

Bicara bahasa, berarti juga bicara paradigma. Dan paradigma itu sungguh erat kaitannya dengan pengetahuan. Secara dominan pengetahuan akan menjadi kompas dalam setiap keputusan benar dan salah. Dengan kata lain, menguasai bahasa berarti menguasai alam pikir dan seturut kemudian penilaian atas benar dan salah.

Kita tak bisa sangsi bahwa bahasa adalah alat propaganda paling ideal yang kita miliki. Bahasa bisa menyaru banyak bentuk. Dalam produk budaya turunannya terdapat sebuah pengetahuan, sebuah nilai, sebuah wacana. Pada satu titik ekstrem, wacana-wacana yang tercecer tidak hadir dengan sendirinya, tetapi disengaja. Ketika sebuah wacana dilempar, pada saat yang sama sejatinya terdapat satu misi pengondisian. Pengondisian di sini adalah upaya untuk mengukuhkan sesuatu. Selalu ada alasan atas suatu pengondisian dan yang paling sering adalah karena sesuatu itu beragam. Sederhananya, ada satu kondisi heterogen yang berusaha diseragamkan. Di sini, kita sedang bicara modus pengondisian melalui bahasa, melalui produk budaya. Gramsci menyebut pengondisian berbasiskan produk budaya tersebut dengan istilah “hegemoni”.

Lebih jelas, Gramsci mendefinisikan hegemoni sebagai dominasi suatu kelas tertentu atas kelas yang lain. Ambil contoh, kelas penguasa (ruler class) atas masyarakat sipil (civil society). Kelas penguasa hampir pasti menggunakan apa yang kita sebut sebagai hegemoni dalam rangka mempertahankan status quo-nya. Mereka didukung oleh penguasaannya atas berbagai media. 

Untuk melemparkan wacana, media memegang peranan penting, katakanlah koran, televisi, radio, film, dan bahkan institusi pendidikan. Dari produk-produk budaya tersebutlah modus-modus hegemoni merangsek sampai pada taraf ketaksadaran manusia, menyaru konsensus (consent) kemudian mengutuh sebagai hal yang benar dan berterima (common sense). 

Sebagai contoh, bangsa ini punya ingatan historis alergi Orde Baru (Orba) pada Orde Lama (Orla). Joss Wibisono dalam Maksud Politik Jahat: Benedict Anderson tentang Bahasa dan Kuasa menjelaskan upaya hegemoni yang dilakukan Orde Bau—tanpa r—lewat penggantian Ejaan Suwandi ke Ejaan yang Disempurnakan (EYD). Ada suatu sistem bahasa yang sedang dikondisikan (lingua franca). Narasi penting dalam pengondisian tersebut ialah wacana kebaruan, Indonesia yang lebih modern. Imbasnya, jarak bahasa kemudian membentang di sejumlah literatur yang terbit pada zaman Orde Lama. Dengan kata lain, generasi muda akan kesusahan membaca arsip sejarah. 

Tak berhenti di situ, kita juga tahu susahnya mengakses literatur sastrawan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), sebab Orde Bau mengafiliasikannya dengan PKI—padahal Lekra sama sekali tak pernah bergabung dengan PKI—dan memberangus habis segala yang berkenaan dengannya; “bahaya laten komunisme”. Alergi itu masih diprogandakan sampai sekarang lewat pemutaran dan nobar film Pengkhianatan G30S/PKI setiap 30 September (ckckck, Arifin C. Noer). 

Orba juga membentuk organisasi-organisasi lain sebagai tandingan Orla, seperti Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) yang menggantikan Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI). Mengganti kata “buruh” dengan “pekerja” karena “buruh” dianggap terlalu kiri. Hal yang sama juga pada eufemisme lainnya, mereka bilang “relokasi” untuk tidak bilang “penggusuran”, “ganti untung” untuk tidak bilang “ganti rugi”, “diamankan” untuk tidak bilang “diculik” atau “ditangkap”. Eufemisme semacam ini yang wajib ditentang karena ia menyembunyikan kebusukan-kebusukan kelas penguasa! Hari ini, sudah berapa titik terpancang spanduk “Polri untuk Masyarakat”? Hati-hati, karena boleh jadi tanpa sadar kelak kita benar-benar mengamini slogan konyol itu. Kalau memang diperuntukkan bagi masyarakat, kata “masyarakat” di situ pastilah para cukong, kita mah dipukuli. 

Inilah contoh konkret hegemoni, sebuah wacana yang akan terus-menerus diperbarui guna melanggengkan ideologi kelas penguasa. Ketika suatu wacana dilempar, maka ia akan menyebar seperti virus. Melahirkan wabah. Dari atas ke bawah dan dari bawah ke samping. Penyebarannya halus dan tak disadari. Maka, ia tak tampak sebagai sebuah manipulasi atau pun doktrin (padahal iya). Dengan karakteristiknya yang demikian, Gramsci menawarkan sebuah siasat untuk mengentaskan hegemoni kelas penguasa; “kontrahegemoni”.

Berbeda dengan hegemoni yang dari atas ke bawah. Kontrahegemoni berangkat dari bawah untuk menghalau wacana dari atas. Di sinilah pertarungan wacana digelar. Gramsci menerangkan bahwa dalam pertarungan wacana, kaum intelektual memegang peranan penting. Intelektual dalam hal ini bukanlah melulu yang lahir dari institusi pendidikan, melainkan bisa dari mana saja, entah buruh pabrik, tani, nelayan, dan kelompok lain selama jelas keberpihakannya. Hari ini, kelompok ini kerap kita temui entah di wilayah tapak maupun di lini masa media sosial. Mereka adalah apa yang dikatakan Gramsci sebagai “intelektual organik”. Kelompok yang memiliki kapasitas untuk membangun narasi tanding sekaligus menghapus hegemoni ideologi kelas penguasa. Bukan intelektual menara gading yang kerap mengambil posisi netral, sedangkan kita tahu bahwa posisi itu tak pernah ada. Jika seseorang tak berpihak pada rakyat, jelas ia memihak penguasa. Tak ada dalih bagi mereka yang diam ketika penindasan jelas terjadi tepat di depan matanya. Kalau kata Emma Goldman, “The most violent element in society is ignorance.

Dengan demikian, saya menolak untuk menggunakan kata “siap”, “laksanakan”, “mohon izin”, “mohon arahannya” atau kata-kata lainnya yang berbau militer. Saya akan pakai “iya”, “baik”, dan “oke” saja. Menolak militer masuk sipil, berarti juga menolak bahasa mereka dalam alam pikir. Toh, seharusnya militer di barak saja. Kalau gabut, saya sarankan ngelap mortir. Tidak perlu sampai masuk jabatan sipil.

 

Muhammad Jibril atau Jai menamatkan studi Sastra Indonesia di Universitas Airlangga. Saat ini bergiat di komunitas Titik Nol.

 

Editor: Ikrar Izzul Haq

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Tentang Roh dan Seks

27 September 2025 - 11:52 WIB

Foto oleh Asief Abdi/Sivitas Kothèka

Mencari Surga dalam Peta

20 September 2025 - 13:00 WIB

Foto oleh Asief Abdi/Sivitas Kothèka

Perihal Puisi dan Gejala Kematian Sejarah

17 September 2025 - 12:00 WIB

Banyak dibaca di Esai Budaya